Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Status hukum inkonstitusional bersyarat dan Undang-Undang Cipta Kerja.
Sebagai frasa ataupun klausa, kelompok kata inkonstitusional bersyarat mengandung makna kontradiktif.
Inkonstitusional bersyarat bergaya bahasa kontradiksi internimis, yakni dua pernyataan bertentangan secara maknawi.
KELOMPOK kata dapat berbentuk satuan kebahasaan frasa dan klausa. Hal ini erat berhubungan dengan bagaimana kita menandai hubungan antarkata. Contohnya, kelompok kata sampul bergambar dalam pernyataan Budi (Subyek) mendesain (Predikat) sampul bergambar (Obyek) dan Pada buku-buku itu (Keterangan) sampul (Subyek) bergambar (Predikat) masing-masing (Keterangan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita dapat menandai dua kata tersebut sebagai frasa dalam hubungan inti-pelengkap makna. Dengannya, kata sampul menempati inti makna atau kata yang diterangkan (D) dan kata bergambar menempati pelengkap makna atau kata yang menerangkan (M), seperti dalam pernyataan kesatu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal berbeda ditemukan dalam pernyataan kedua. Kelompok kata sampul bergambar yang menandai hubungan D-M dalam satuan kebahasaan frasa telah berubah fungsi menjadi subyek-predikat dalam satuan kebahasaan klausa. Dari bahasan seperti ini, kita dapat mulai menimbang kelompok kata inkonstitusional bersyarat.
Kelompok kata ini populer menjadi perhatian publik setelah Mahkamah Konstitusi memutus status hukum Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (2 Desember 2021). Undang-undang tersebut sejak awal disahkan memang menuai kontroversi di masyarakat karena cara pembuatannya yang mengintegrasikan tata hukum yang sedang berlaku dalam sebuah tematis (omnibus law).
Sebagai fakta kebahasaan, inkonstitusional bersyarat dapat dianggap sebuah frasa atau klausa. Yang menarik, baik sebagai frasa maupun klausa, kelompok kata ini mengandung makna kontradiktif. Kata inkonstitusional bermakna tidak sesuai dengan konstitusi atau aturan perundang-undangan sehingga pasal dan ayat yang menyatakan ketidakkonstitusionalan sudah merupakan syarat yang menyertai.
Sementara itu, kata bersyarat bermakna memiliki syarat. Logika makna bersyarat berimplikasi pada ayat dan pasal tambahan yang dapat menafikan kata inkonstitusional. Logika pengecualian yang terkandung dalam kata bersyarat dapat meluaskan makna kata konstitusi dan inkonstitusional. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kelompok kata inkonstitusional bersyarat bergaya bahasa kontradiksi internimis, yakni dua pernyataan bertentangan secara maknawi.
Jika demikian adanya, kepastian sebuah hukum dapat berlaku relatif sesuai dengan kebutuhan. Sementara itu, salah satu prinsip bahasa hukum menyasar pada keajekan makna lugas tanpa memberi celah penafsiran yang menimbulkan ketaksaan makna. Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa kontradiksi hubungan makna kedua kata tersebut menimbulkan ambiguitas makna.
Dari fakta kebahasaan tersebut, kita menemukan bahwa inkonstitusional bersyarat dapat menimbulkan ambivalensi hukum. Sebagai fakta hukum, kelompok kata ini memiliki hubungan makna yang tentu akan berimplikasi pada status hukum berbagai peraturan dalam tata kelola perundang-undangan yang terintegrasi dalam tema cipta kerja.
Sekarang mari kita bandingkan dengan antonimnya. Bagaimana kalau ada kelompok kata konstitusional bersyarat? Putusan konstitusional bersyarat yang pertama kali dimuat pada bagian amar putusan, yakni dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 bertanggal 1 Juli 2008 tentang pengujian Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD). Jadi undang-undang, ketetapan, peraturan, dan sebagainya dapat pula dikatakan konstitusional bersyarat.
Lebih lanjut, dalam penanganan kasus terorisme, pelecehan dan kekerasan seksual, pencemaran nama, dan sebagainya dapat saja terjadi status hukum sebuah perkara konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat. Apalagi yang menentukannya adalah sebuah lembaga penjaga marwah kedaulatan hukum dan perundang-undangan di Indonesia, yakni Mahkamah Konstitusi.
Bahkan perbuatan kita yang berimplikasi sosial dapat dan hanya dapat dikatakan konstitusional atau inkonstitusional di hadapan hukum tanpa perlu pelekatan kata bersyarat. Jika ada produk hukum dilekati kata bersyarat, kepastian hukum menjadi tidak ajek. Kita tidak dalam ranah bernalar jika dan maka alias berandai-andai. Kita sedang bermain peran masing-masing dalam berbangsa dan bernegara yang diatur hukum.
Bahkan kita tidak sedang bermain gaya bahasa eufemisme. Pernyataan seorang terduga teroris diamankan petugas menghaluskan sebuah peristiwa bahwa seseorang ditangkap karena terjerat kasus terorisme. Pernyataan pemerintah sedang menyesuaikan tarif listrik menghaluskan sebuah kenyataan bahwa harga listrik naik.
Pernyataan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat pun sekaligus memiliki makna implisit konstitusional bersyarat. Mungkin kelompok kata inkonstitusional bersyarat sebagai bahasa hukum ini merupakan gaya bahasa eufemisme bahwa ada ketakajekan bangunan hukum di dalamnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo