Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pemberontakan Musik Tiga Jurus

2 November 2003 | 00.00 WIB

Pemberontakan Musik Tiga Jurus
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Jejak punk di jagat musik bukanlah hal baru. Anginnya mulai bertiup di tahun 1960-an, saat dunia musik dikuasai para jawara yang bernaung di bawah label perusahaan rekaman raksasa. Tersebutlah ketika itu The Doors, Rolling Stones, sampai The Beatles, yang menguasai belantara musik dunia.

Jim Morrison dari The Doors, pada tahun 1969, sudah mulai merasa gerah dan menuding musik rock telah kehilangan nyawa. Para musisi terlalu mengabdi pada kemauan pasar. "Energi musik telah hilang. Tak lagi ada kekuatan di dalamnya," kata Morrison seperti ditulis dalam situs www.punk77.com.

Akhir 1960-an, datang anak-anak muda dengan semangat perlawanan atas cengkeraman industri rekaman. Grup The Velvet Underground (VU), misalnya, muncul dengan format musik yang sama sekali berbeda. Mereka menyajikan irama yang begitu ribut, dissonant alias jauh dari harmonis, dengan lagu yang dilatari suara gelas, pelat logam, dan kursi yang saling beradu.

Tema-tema liriknya serba provokatif, seperti seks oral, pemberontakan, dan ketagihan heroin. Vokalisnya, Nico, cewek blonde dari Jerman, bahkan disebut tidak becus menyanyi. Debut albumnya, disokong total oleh seniman pop art kondang Andy Warhol, berjudul The Velvet Underground & Nico, dirilis pada 1967. Banyak bereksperimen, belakangan VU juga mengilhami berbagai band yang masuk dalam kategori glam rock.

Energi punk—unsur utamanya adalah pemberontakan—yang diusung VU segera menular ke segala penjuru. Anak-anak muda, yang sering tak paham A-B-C-nya main musik, terbangkit gairahnya untuk berekspresi. Mereka bermusik tanpa beban harus bermain bagus. Pokoknya, ada kristal kemarahan yang ingin diteriakkan. Pada saat inilah muncul istilah "musik tiga jurus", yang hanya berbekal olah chord melodi ala kadarnya.

Resep utama para punker ini adalah DOY atau "do it yourself". Lakukan segalanya tanpa didikte duit pemilik modal. Dan berkembanglah slogan "no god, no master", yang menjadi lambang kebebasan yang mereka damba. Tawaran kebebasan berekspresi inilah yang membuat aliran punk mampu menginfeksi anak-anak muda sejagat yang ingin mencelat dari pakem dan aturan yang lazim.

Memasuki tahun 1970-an, lahirlah dewa-dewa kelompok musik punk. Dari Amerika muncul The Ramones, sementara dari Inggris melesat The Sex Pistols dan The Clash. Mereka mempopulerkan gaya rambut landak (mohawk), baju kulit ketat, sepatu bot, serta pernak-pernik yang aneh dan jauh berbeda dibanding gaya glamor bintang rock dekade 1960.

Tiap-tiap band juga punya agenda pemberontakan yang khas. The Clash, misalnya, mengemukakan isu global seperti ketimpangan ekonomi antara negara kaya dan miskin. Sementara itu, The Sex Pistols lebih suka membawa suramnya ekonomi Inggris ke dalam lagu-lagu mereka. Kelompok ini dimotori oleh sang vokalis, Johnny Rotten (nama aslinya Johnny Lydon). Salah satu hit-nya adalah Anarchy in the U.K.

Kelompok ini memang menyerukan asyiknya memprotes dengan gaya sedikit anarkis. Slogan protes "no future", yang diluncurkan The Sex Pistols ketika itu, pun mendapat sambutan di kalangan punker. Memasuki era 1980-an, Malcolm Mac Laren, produser musik rock kenamaan dari Inggris, tersadar bahwa anak-anak muda pendamba kebebasan ini adalah pasar yang bagus.

Kemarahan, dimotori ketulusan dan kepedulian sosial, menjadikan punk daya tarik yang unik. Mac Laren dengan jitu menggarap dan mempromosikan The Sex Pistols hingga kelompok ini menjadi tersohor. Walhasil, pada pertengahan 1980-an, punk bisa lebih diterima publik. Musik punk juga lebih leluasa berkembang dengan banyak varian. Yang paling ekstrem adalah hardcore punk, yang diwakili Nirvana dan Green Day. Hardcore punk sejatinya membawa punk "tradisional" (yang sebetulnya sudah kencang untuk ukuran-ukuran di akhir tahun 1970-an) menjadi lebih cepat, lebih berisik, dan penuh teriakan.

Nah, Nirvana pada akhirnya—setelah masuk ke mainstream—bukan lagi tergolong hardcore punk, melainkan grunge. Subgenre ini, yang lahir dan berkembang di Seattle, pada dasarnya tetap mengambil semangat punk, hanya lebih melodius. Adapun Green Day (bisa ditambah Rancid) termasuk punk revivalis, yang muncul dari latar underground di Amerika (Bay Area, San Francisco, California).

Kian ngetopnya berbagai kelompok musik punk—sebagian dari mereka bergabung dengan perusahaan rekaman besar—juga membawa konsekuensi. Semboyan DOY, do it yourself, bukan lagi ideologi kaku, melainkan sebuah pilihan bebas bagi kelompok punk. Fakta ini membuat musik punk tak sepenuhnya sama dengan sebelumnya. Steve Jones, awak The Sex Pistols, mengakui hal ini dengan nada pahit: "Awalnya, semua adalah soal bermusik. Kini semua semata-mata urusan media."

Patut dicatat, adalah keliru besar jika industri rekaman beranggapan telah sukses menaklukkan kemarahan dan kebebasan para punker. "Usaha memenjarakan semangat anak muda itu tidak saja mustahil, tetapi juga bodoh," tulis kritikus musik Bryn Chamberlain dalam sebuah esai. Buktinya, berbagai kelompok punk sampai kini tetap menyuarakan kemarahan khas anak muda dengan formula beragam.

Superman Is Dead (SID), band dari Kuta, Bali, membagi pengalaman. Sejak delapan tahun silam, grup yang diawaki Eka Arsana (vokal), Budi Sartika (gitar), dan Ari Astina (drum) ini menggumuli musik secara independen. Tiga album, yakni Case 15 (1995), Superman Is Dead (1999), dan Bad Bad Bad (2002), sudah diproduksi dan semuanya laku di pasaran kaum punker. "Tapi, enggak tahu, duitnya lari ke mana," kata Dethu, Manajer SID.

Lama-kelamaan, Dethu menjelaskan, hidup bermusik dengan independen terasa melelahkan, juga berat di ongkos. "Kita enggak bisa hidup kalau dibayar thank you terus," ujarnya. Itulah sebabnya awak SID kemudian mempertimbangkan tawaran bergabung dengan perusahaan rekaman besar.

Tapi, SID punya aturan main. "Kami enggak mau kirim kaset demo, karena ini menunjukkan posisi yang jomplang sejak awal, atasan dan bawahan," katanya. Akhirnya, tahun lalu Sony Music Indonesia setuju dengan persyaratan SID dan perusahaan ini menjadi produser album SID bertajuk Kuta Rock City. Album ini mengantarkan SID meraih penghargaan dari MTV Trax 2003 sebagai band paling potensial di Indonesia.

Langkah SID bergabung dengan Sony memang disambut kecewa banyak fans mereka. Pentas SID di Medan dan Yogyakarta, misalnya, disambut dengan umpatan dan lemparan botol Aqua. Bagi awak SID, kemarahan fans ini tak bisa dimengerti. Dethu bertanya: "Bukankah mereka punya sejuta maaf untuk The Sex Pistols?"

Mardiyah Chamim, Nunuy Nurhayati (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus