Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMBARAN sutra merah itu menerawang dari atas panggung. Diusung oleh belasan peraga, 80 meter helai sutra ini ibarat tirai pendek yang membatasi kedua tepi panggung dengan penonton. Dari balik tirai, muncul Josephine "Obin" Komara. Menenteng untaian raksasa melati yang menyaputi kain merah putih, pemilik Bin House itu menjura ke arah tamu-tamu lalu menyerahkan untaian melati kepada tamu kehormatan pada malam itu: Presiden Megawati. Sesaat kemudian, belasan buket bunga segar mengalir dari arah penonton ke dalam pelukan Obinyang masih tegak di atas panggung. Sembari, Sarah Brightman, lewat vokalnya yang sensual dan silky, menembangkan Amigos Para Siempre, ditingkahi suara tenor Jose Carrera. Tepuk tangan membahana. Lampu meredup. Dan pertunjukan usai.
Itulah adegan penutup dari Matahati, sebuah acara gelar kain dari Bin House. Dilangsungkan pada Jumat, 24 Oktober silam, pergelaran ini menyajikan sekitar 350 potong kain dan baju di Ruang Cenderawasih Jakarta Convention Center, Jakarta Selatan. Dan untuk pertama kaliselama hampir dua dekade sejarahnyarumah kain Bin House memberikan tempat secara khusus kepada anak-anak. Tema itu bisa disaksikan pada sekuens keempatpertunjukan ini terdiri dari tujuh sekuensyang "dipandu" oleh bintang cilik serba bisa: Tina Toon.
Bak "bola karet" yang lentur tak terkira, Tina Toon mengoyak lantai catwalk dengan gerakan luwes, energetik, dan kocak dalam iringan Soul Bossa Nova (dari Austin Power Theme Song). Beberapa bocah berlari di belakang Tina sambil memperagakan busana anak-anak yang kasual dalam warna-warna cerah. Belasan peraga dewasa lantas berbaur memenuhi latar. Mereka menari, mengibing, lepas dan bebas. Mereka berdansa. Dan setiap lembar kain dan baju yang melekat di tubuh seakan menjadi pasangan dansanya.
Ruang pertunjukan pecah oleh sorak-sorai saat Tina Toon menghadiahi penonton satu liukan bahu sebelum lenyap ke balik pintu. Tapi Obin tampaknya tak menggelindingkan Tina Toon di atas catwalk untuk sekadar memamerkan selembar batik atau sehelai kebaya merah menyala. Dengan subtil, Obin sejatinya melemparkan satu pesan dari atas panggung: "Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, silakan perkenalkan kain-kain Tanah Air ini kepada anak-anak sedini mungkin...."
Mengapa Obin memerlukan bicara dalam bahasa visual kepada anak-anak setelah 18 tahun menggauli dunia kain orang dewasa? Tersebutlah pada suatu saat. Seorang gadis berumur sembilan tahun datang ke Bin House di kawasan Teluk Betung, Jakarta Pusat. Menemani ibunya yang berbelanja, gadis kecil itu mendongak di depan helai-helai kain yang bergelantungan dalam butik tersebut. Nona kecil itu bertanya, siapa pembuat kain-kain itu. Ibunya menunjuk ke arah Obin.
Dan Obin Komara, "tukang kain" dengan karya-karya yang sudah berkelebat jauh ke mancanegara, tiba-tiba tergagap. "Bagaimana saya harus menjelaskan perjalanan panjang selembar kain kepada bocah sembilan tahun?" ujarnya kepada TEMPO. Dia mencekau selembar kertas putih, membuat coretan motif dan garis. Inilah awal kelahiran sehelai kain. Lalu ceritera pun mengalir: rancangan motif kain bisa dikerjakannya di mana saja. Di ruang kerja. Dalam perjalanan. Tengah merokok. Di dapur saat memasak.
Rancangan ini kemudian dikirimkan ke para perajin yang akan menuangkan motif itu di atas lembaran-lembaran sutra, organdi, katun, linen, wol. Mereka bertebaran di Pekalongan, Cikarang, Cirebon, Solo. Di sanalah, setiap lembar kain mulai diproses dan menemukan wujud akhirnya. Kadang-kadang para perajin dan Obin saling menghardikentah soal campuran warna atau sebuah motifsaat mereka mencoba eksperimen baru. Dibantu seribu lebih perajin di berbagai kota, Obin, bersama Ronny Siswandhi, mitra dan suaminya, serta tim kreatifnya menghasilkan hampir 20 ribu kain tunggal per tahun. Unsur batik hampir selalu ada dalam setiap kain Bin House. "Tapi tidak selalu secara harfiah. Unsur batik bisa saja hadir melalui, misalnya, teknik penggarapannya," Ronny menjelaskan.
Berbulan, bahkan bisa masuk hitungan tahun, lembar-lembar kain baru selesai digarap. Setiap lembar kain yang lahir dari Bin House diperlakukan sebagai "pribadi". Ada nama dan ceritera di baliknya. Dalam Matahati, misalnya. Silakan berkenalan dengan Kulit Jeruk, Daun Ngintip, Guntingan Kertas, atau Tirtonadi Kotak. Kain-kain itu dililitkan ke pinggang, tangan, kepala, dada. Dan bisa peraga mana saja: entah Dessy Mulasari, Ira Duaty, Cha Cha, Donny Damara, atau Nicolas Saputra, mengantarkannya ke atas panggung.
Bukan rahasia lagi di kalangan para model bahwa peragaan Bin House sama artinya dengan kerja spartan selama berpekan-pekan. Setiap peraga yang lolos seleksi mula-mula diajak ngobrol panjang lebar nyonya rumah. Meresapkan kisah dan filosofi dari setiap lembar kain adalah bagian wajib dari "menu latihan". Dibantu para koreograferPanca Makmum dan Tara Makmum menggarap koreografi MatahatiObin melatih setiap peraga meluweskan gerak tubuh, memakai kain, menyatukan diri dengan lembar-lembar berharga yang akan dipergelarkan. "Amat diperlukan interaksi yang intim antara setiap peraga dan kainnya," ujar Airlangga Komara, produser Matahati.
Pada masa-masa latihan ini, Obin bisa menjerit, memaki, berteriak. Juga menghibur, dan memeluk setiap peragawatinya dengan sayang. Dessy Mulasari, peragawati yang paling lama terlibat dengan Bin House, mengakui spartannya latihan-latihan itu. Kendati sudah sebelas tahun di atas catwalk , Dessy masih memerlukan, misalnya, lima jam nonstop berlatih pada setiap kali latihan bersama Obin. "Hal ini amat saya perlukan untuk menjiwai setiap helai kain atau baju yang saya bawakan," ujarnya kepada TEMPO.
Mereka juga diminta mencerna musik pengiring gerak. Mereka dianjurkan memahami mengapa, umpamanya, track yang mengiringi sekuens pembuka Matahatiberjudul Merah Putihadalah musik swing dan hip-hop dari era akhir 60-an dan awal 70-an. "Shout baby, let's shout baby, move your hips...." Irama swing yang rancak itu mengocok panggung berganti dengan nada-nada jazz kontemporer.
Elemen musik tampaknya amat ditekankan untuk menjaga "napas panggung" dalam aneka nuansa. Dari nada-nada Latin, alunan gamelan, Kazebitosebuah nomor dangdut dalam interpretasi Jepanghingga Russian Folk Song serta vokal soprano muda Hayley Westenra. Ada juga Keroncong Sapu Lidi. Mengutip Obin: "Ini lagu masa silam yang mengembalikan 'wanita-wanita kita' ke atas panggung."
Dalam iringan musik inilah satu per satu helai sutra, linen, katun, organdi yang digarap dengan aneka teknik: batik, bordir, tritik, tambal, hingga lipat melayang ke hadapan penonton selama 55 menit pementasan. Suasana fiesta tak hanya mengalir di ruang pertunjukan. Dalam sebuah dapur besar di Jalan Teluk Betung, pesta gelar kain ini juga amat kental terasa. Puluhan jenis penganan tempo doeloe disiapkan untuk menyambut perhelatan, dari ketupat sayur, martabak terang bulan, hingga kue moci. Semua makanan ini seakan menjadi entreehidangan pembuka sebelum penonton mengecap main course pergelaran kain.
Pada akhir pertunjukan, rasanya menarik mendengarkan komentar para penonton yang jauh dari dunia kain dan fashion. Ahli kuliner William Wongso, yang baru pertama kali menyaksikan pergelaran Bin House, mengaku begini: "Ibarat makanan, aneka rasasedap, manis, gurih, renyah, pedasbisa saya nikmati di sini tanpa harus mencicip." Adapun Kaila Hasan, seorang wanita setengah umur yang menghabiskan hampir separuh usianya di luar negeri untuk mengajar bahasa, mengatakan, "Sulit saya menerangkannya. Kain-kain itu seperti percampuran berbagai musim dan cuaca."
Barangkali juga tak terlalu sulit. Dalam sebuah percakapan bertahun-tahun lalu Obin mengatakan, selembar kain dilahirkan untuk membedung setiap musim kehidupan manusia: lahir, tumbuh, mati, dan lahir kembali.
Hermien Y. Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo