Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintahan boleh berganti, tapi status Arifin Panigoro sebagai tersangka nyaris tak berubah. Uniknya, status tersangka Arifin berganti-ganti dan kasusnya tak pernah sampai ke pengadilan. Pada zaman Soeharto, ia dituduh merencanakan makar gara-gara hadir dalam diskusi yang diadakan Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan pimpinan Amien Rais, pada Februari 1998. Di zaman Habibie, Arifin dianggap salah satu orang yang berbahaya, meskipun tak sampai jadi tersangka. Ketika itu Arifin dianggap sebagai orang yang berada di belakang demonstrasi menentang Habibie.
Setelah itu, pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Arifin mendapat tuduhan yang lain. Anggota MPR/DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini dituding menggangsir uang negara senilai US$ 75 juta (Rp 640 miliar, kurs Rp 8.500) dari PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. Sudah lebih dari dua tahun sejak status tersangka itu resmi disandang Arifin pada Juli 2001, kasus ini tak pernah masuk ke pengadilan. Kini, penantian Arifin tampaknya akan segera berakhir. Tapi bukan karena status tersangka Arifin bakal dicopot. Kasus Arifin akan ke pengadilan justru ketika bosnya di PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, jadi presiden.
Selasa pekan lalu, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rachman, mengumumkan bahwa berkas perkara Komisaris Utama PT Meta Epsi Duta Corporation (Medco) ini sudah selesai. Kejaksaan Agung akan menyerahkan berkas perkara korupsi pinjaman dana Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, yang merugikan negara US$ 52 juta (Rp 450 miliar), ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Tapi, sidang baru bisa dilaksanakan jika Kejaksaan Agung sudah menyerahkan terdakwa berikut barang buktinya. "Setelah itu beres, akan kita limpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Sudhono Iswahyudi.
Pernyataan Kemas Yahya yang tiba-tiba itu disambut rasa heran Arifin Panigoro. "Ini kasus yang dulu-dulu juga. Pada zaman Gus Dur sudah diangkat, saya dipanggil pulang, bikin berita acara, Jaksa Agung-nya ganti, presidennya diganti, tapi ceritanya ya ini saja," kata kakek dari dua cucu itu. Dia kaget kasus ini diteruskan, karena Medco sudah melunasi utang tersebut Agustus 2002. Pada saat itu Medco membayar US$ 13 juta sebagai pembayaran terakhir utangnya yang secara keseluruhan berjumlah US$ 97 juta. Karena itu, kata Arifin, sangat aneh kalau Kejaksaan Agung tetap saja menyebut-nyebut tentang kerugian negara. "Kerugian negara yang mana kalau duitnya sudah balik semua?" kata Arifin lagi.
Timbulnya kasus ini berawal pada tahun 1996. Ketika itu PT Medco Duta hendak mengakuisisi PT Dragon Oil Overseas, sebuah perusahaan yang memiliki sumur minyak di Turkmenistan, Asia Tengah. Namun, Medco lagi bokek untuk memborong 46 persen saham Dragon Oil yang nilainya US$ 57,4 juta. Lalu, Arifin Panigoro, bos Medco, meminjam dana dari Bahana sebesar US$ 63 juta. Seharusnya, utang tersebut lunas pada Oktober 1998. Karena mesin usaha Medco sedang seret, perusahaan minyak ini hanya mampu membayar US$ 22 juta. Hitung punya hitung, total utang plus bunga yang masih harus dibereskan Medco mencapai US$ 75 juta. Pada pertengahan tahun 2001, Medco dan Bahana berembuk agar persoalan utang-piutang bisa segera diatasi.
Namun, Kejaksaan Agung punya pandangan lain. Kasus ini melibatkan Direktur Utama Bahana, Sujiono Timan; Direktur Bahana, Haryo Suprobo; dan mantan Direktur Satelite Overseas Limited (anak perusahan PT Medco), Darmoyo Doyoatmojo. Keempatnya akan disidang bersama-sama. Dalam penelusuran Kejaksaan, ada kongkalikong antara Arifin dan Sujiono karena surat perjanjian utang diteken setelah pinjaman dikucurkan. Selain itu, Sujiono, yang bisa dipanggil Yujin, juga menjadi komisaris di Dragon Oil. Posisi itu memungkinkan Yujin mengeduk keuntungan dari pinjaman tersebut karena Yujin memiliki opsi untuk membeli saham Dragon Oil. Opsi yang sama dimiliki Arifin Panigoro.
Kejaksaan Agung juga menemukan kejanggalan-kejanggalan lain dari pengucuran pinjaman ini. Selain untuk membeli saham Dragon Oil, sebagian pinjaman juga digunakan untuk mengakuisisi Satelite Overseas Limited. Sebagian lagi dana pinjaman itu juga dipakai membeli saham PT Jasindo dan PDFCI. Padahal, kata Kemas, dalam perjanjian tertera jelas pinjaman itu hanya untuk pengembangan bisnis Medco, bukan untuk memborong saham perusahaan yang belum jelas potensi bisnisnya. "Padahal, Bahana seharusnya hanya bisa memberikan pinjaman kepada perusahaan nasional skala kecil dan menengah. Dragon Oil bukan perusahaan Indonesia," kata Kemas.
Arifin menolak dalil Kejaksaan Agung. Arifin menegaskan bahwa kedudukan Sujiono Timan hanyalah sebagai komisaris yang mengawasi kucuran dana tersebut. "Wajarlah ia tahu dana milik Bahana itu digunakan untuk apa," katanya. Lagi pula, Sujiono tak digaji dan juga tak punya saham, cuma punya opsi. Dia juga tidak terlibat langsung dalam penentuan harga saham. Arifin juga mempertanyakan utang Bahana ke perusahaan lain yang sampai sekarang belum dibayar. Jumlahnya juga jauh lebih besar, sampai US$ 398 juta (Rp 3,4 triliun). "Coba you tanya ke Bahana, apa benar utang Medco masih belum lunas. Nanti saya dikira omong gede," kata Arifin, gemas.
Berdasarkan penjelasan juru bicara Bahana, Steve Kosasih, utang Medco memang sudah lunas. Utang Arifin memang sempat macet pada 1998, tapi setahun kemudian utang tersebut direstrukturisasi. Ketika itu posisi utang pokok Medco dan bunganya mencapai US$ 75 juta. Tapi Medco kemudian mulai mencicilnya pada tahun 2001 dengan membayar US$ 37 juta. Setelah itu, Medco kembali membayar utangnya sebesar US$ 25 juta pada Januari 2002 dan kemudian melunasinya pada Agustus 2002, lebih cepat dari jadwal semula pada Oktober 2002. "Kami sudah mengeluarkan surat pelunasan utang pada 27 Agustus 2002," kata Steve kepada Ucok Ritonga dari Tempo News Room.
Kendati demikian, Sudhono Iswahyudi tetap pada pendiriannya. Meskipun utang Arifin Panigoro kepada PT Bahana sudah beres, kasusnya tak berarti harus dihentikan. Berdasarkan peraturan yang ada, pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan kewenangan jaksa untuk menuntut. Pada kasus Arifin, katanya, ke-rugian negara pada tahun 1996 sebesar US$ 52 juta. "Yang penting, pada waktu kejadian diperiksa masih ada yang harus diselesaikan dan saat itu memang belum selesai," ujar Sudhono. Kemas menambahkan bahwa lamanya pemeriksaan kasus Arifin karena kejaksaan ingin matang mencari alat bukti. "Lebih baik prosesnya lama daripada kalah di pengadilan," ujarnya.
Arifin Panigoro sendiri menduga kasusnya kembali dinaikkan karena sikapnya yang kritis terhadap kepemimpinan Megawati Soekarnoputri belakangan ini. Bahkan, Rabu pekan lalu di rumahnya di Jalan Jenggala, Jakarta Selatan, bekas Ketua Fraksi PDIP di MPR ini mengumpulkan politikus berbagai partai untuk menghambat Megawati berkuasa kembali. "Mungkin karena saya terlalu kritis, kasus ini kembali dilanjutkan," ujarnya. Arifin kini sedang mencari tahu siapa yang mendesak-desakkan kasus ini. "Saya butuh dua minggu. Kayak filmlah, masih ada to be continued ," ujar Arifin. Pernyataan Arifin dibantah Kemas. "Enggak ada pertimbangan hukum seperti itu," katanya. Hal yang sama diungkapkan Wakil Sekjen PDI Perjuangan, Pramono Anung.
Meskipun sidang sudah di depan mata, Arifin mengaku siap menghadapinya. "Siapa takut," tuturnya serius. Dia mengharapkan semuanya menjadi jelas dan terang-benderang pada persidangan nanti. Siapa tahu, persidangan nanti malah akan mengakhiri status "abadi" Arifin sebagai tersangka.
Ahmad Taufik, Endri Kurniawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo