SALAH satu penyebab kejatuhan Hu Yaobang dari posisi nomor dua di Cina adalah faksionalisme dalam partai komunis negeri itu. Ini tak dapat dipisahkan dari ciri khusus politik di RRC baik masa kini, masa lalu, maupun masa depan. Pada awal 1950-an, ketika negeri satu milyar manusia itu baru saja berdiri, para pengamat umumnya percaya: RRC dipimpin olek suatu tim yang berdedikasi tinggi dan terkonsolidasikan baik, di bawah pimpinan "Ketua Mao". Revolusi Kebudayaan di pertengahan 1960-an memporak-perandakan pendapat itu. Pimpinan partai dan negara ternyata tak kompak seperti yang disangka. Sebuah studi yang dibuat sinolog Inggris, Roderick MacFarquhar, menemukan bahwa bibit konflik Mao dengan rival-rivalnya sebenarnya sudah ada sejak 1956-1957, ketika Mao melancarkan Gerakan Seratus Bunga. Tapi, berbeda pendapat dengan para penulis lain MacFarquhar menyatakan bahwa pertentangan itu tidak konsisten hitam-putih: Mao dan para saingan utamanya, seperti Liu Shaoqi tidak berbeda paham dalam setiap soal. Konflik pertama di antara para pembesar Cina itu timbul dari ketidaksabaran Mao atas makin terpisahnya "massa rakyat" dari partai. Golongan elite partai, pada pendapat sang ketua, telah menjadi "kelas baru" yang lupa cita-cita revolusi. Untuk memperbaikinya perlu kritik. Dan kritik harus datang dari luar partai. Para organisator partai bukan tak setuju dengan pendapat Mao tentang perlunya kritik. Namun, sesuai dengan peraturan, proses itu mesti dilakukan secara intern, dengan metode "kritik dan kritik diri" (piping he ziwo piping). Mengundang orang luar, kata Liu, hanya berarti mengundang ekses. Mao berkeras dengan pendiriannya dan, sebagai biasanya, kemauannya harus terlaksana. Ekses lalu terjadi, dan partai terpaksa bertindak lewat jalan pintas: menghancurkan para pengritik dengan Gerakan Anti-Kanan. Sejak saat itu dimulailah polarisasi antara dua pendapat, yang dalam kamus komunisme Cina dikenal sebagai "pertentangan dua garis". Para pengamat Barat lebih senang menyebutnya pergumulan antara golongan radikal (Mao) dan golongan moderat (Liu Shaoqi, Deng Xiaoping, dan penyokong yang lain). Pertentangan perdana itu ternyata tak hanya sampai di situ. Menjelang akhir 50-an, mendadak Mao tiba pada pandangan: "Tahap sosialisme di Cina telah dapat dilalui. Tiba saatnya kita memasuki tahap komunisme." Dengan mengesampingkan keberatan golongan yang kemudian dicapnya sebagai "revisionis" dan "pejalan kapitalis", Mao mengumumkan program "Lompatan Jauh ke Muka" (da yuejin). Dengan program itu Mao pada dasarnya memaksakan kolektivisasi di bidang pertanian sembari "memasyarakatkan" industri. Kemudian terbukti, program Lompatan Jauh mengalami kegagalan total. Mao kecewa besar. Untuk memperbaiki keadaan, Liu tampil. Ia memberlakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian. Dan Mao membayar kegagalan cara radikal ini dengan menyerahkan kedudukan ketua RRC (presiden) kepada Liu. Ia mundur untuk merenungkan kembali gagasan-gagasannya, tapi dalam pada itu kebenciannya terhadap para birokrat terus membara. Dendam itu meledak dalam bentuk Revolusi Kebudayaan (1966--1969). Meninggalnya Mao pada 1976, disusul dengan rehabilitasi kader-kader partai yang terganyang selama Revolusi Kebudayaan, tak melenyapkan faksionalisme lama di antara pimpinan Cina. Menjelang kejatuhan Hua Gaofeng (pengganti Mao), di dalam Politbiro PKC saja paling tidak terdapat empat faksi. Pertama, sisa-sisa golongan radikal yang berteduh di sekitar Hua. Di Cina mereka ini dijuluki "golongan apa saja" (fanshi pai), lantaran ingin meneruskan segala hal warisan Mao. Menyusul "faksi minyak" yang ditokohi Li Ziannian (sekarang presiden RRC). Kelompok ini menonjol dalam bidang ekonomi dan pembangunan, ingin mempertahankan sentralisme perencanaan, dan memberi tekanan pada industri berat. Di samping itu, ada faksi modernis pimpinan Deng Xiaoping yang gandrung pada Empat Modernisasi, politik pintu terbuka terhadap Barat, dan peninjauan kembali ajaran-ajaran Mao. Faksi keempat adalah kelompok konservatif di bawah Chen Yun dan Peng Chen setuju dengan modernisasi, tapi ingin mempertahankan kemurnian ideologi. Terjungkalnya Hua melahirkan pengelompokan baru -- yang pada dasarnya kembali berkisar pada pola pertentangan dua garis. Cuma, sekarang, polarisasi terjadi antara faksi radikal dan faksi fundamentalis dalam masalah program modernisasi. Kedua kubu setuju bahwa modernisasi perlu. Hanya, dalam pelaksanaan, mereka berbeda. Golongan modernis di bawah Deng ingin memacu modernisasi secara cepat. Sebaliknya, kaum konservatif yang diotaki Chen Yun dan Peng Zhen berkehendak agar proyek itu dijalankan dengan berhati-hati dan bertahap. Terjadinya serangkaian demonstrasi mahasiswa belum lama ini tampaknya membuktikan tepatnya argumentasi Chen dkk. akan perlunya suatu batasan jelas berapa jauh modernisasi dan liberalisasi bisa ditoleransikan. Pemecatan beberapa tokoh intelektual, yang diikuti kejatuhan Hu dan berlangsungnya gelombang antikanan di Daratan Cina dewasa ini, harus dilihat sebagai klimaks pertentangan dua garis tersebut. Tergesernya Hu Yaobang membuktikan bahwa Deng telah terpaksa mengambil jalan kompromi lantaran oposisi terhadapnya cukup kuat. Deng memang sedang keteter. Tapi tak berarti kalah. Melihat komposisi dalam Politbiro, faksi modernis masih memegang mayoritas. Masih dipertahankannya Hu dalam badan itu, dan pengambilalihan jabatan ketua partai oleh Zhao Ziyang menunjukkan, Deng masih berada di atas angin. Program-program modernisasi, naga-naganya, masih tetap akan berjalan. Seorang tokoh yang tak mau disebut namanya baru-baru ini mengatakan kepada seorang wartawan asing bahwa keterbukaan ke dunia Barat, liberalisasi ekonomi, dan modernisasi akan berlanjut terus. Liberalisasi politik gaya Barat-lah yang sedang digebuk. Apa pun yang terjadi, dalam usahanya memodernisasikan diri, Cina tampaknya hampir tiba pada titik tempat ia tak bisa kembali. Dilihat dari sudut ini, bisa disimpulkan bahwa kompromi Deng sekarang ini hanya sekadar jurus "mundur selangkah ke belakang untuk maju dua langkah ke depan" - jurus yang dulu diperkenalkan Lenin di awal sejarah Soviet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini