Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AVAN Fathurrahman harus berkeliling ke 19 rumah anak didiknya setiap hari. Keterbatasan jaringan Internet dan gawai menjadi kendala pembelajaran jarak jauh atau dalam jaringan (online). “Sehingga mau tidak mau saya harus keliling untuk menemani satu per satu siswa saya belajar di rumah masing-masing,” kata guru sekolah dasar asal Sumenep, Jawa Timur, itu dalam dialog virtual Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bertajuk “Hari Guru Nasional: Garda Guru Perangi Covid-19”, Rabu, 25 November 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tantangan mengajar bertambah pada musim hujan. Avan hanya bisa menjangkau empat sampai enam rumah siswa. Hal itu terjadi karena jalan yang licin dan becek. Bahkan ada beberapa rumah siswa yang tak bisa dijangkau dengan sepeda motor saat hujan turun. “Sepeda motor harus dititip pada tetangga yang jauh dari rumah siswa. Saya melanjutkan dengan berjalan kaki untuk menemui siswa,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain kendala jarak dan akses jalan yang belum memadai, banyak siswanya yang jenuh menerima pembelajaran selama masa pandemi. Avan pun mencari akal untuk membangkitkan semangat murid-muridnya kembali belajar. “Saya sering membawa boneka untuk menemani siswa belajar,” ujarnya.
Avan juga kerap membawa media pembelajaran lain seperti ular tangga raksasa. Berbagai alat peraga dan permainan untuk menemani siswa belajar dibeli dengan kocek sendiri. “Kalau media-media seperti itu dari pribadi dari saya sendiri. Jadi, saya buat, terus kebetulan juga ada yang beli,” ucapnya.
Cerita yang sama diungkapkan Wifidus Kado, guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 Ende, Nusa Tenggara Timur. Selama masa pandemi dia tetap memberikan pembelajaran kepada siswanya dengan memadukan pembelajaran daring dan tatap muka. Kado memanfaatkan Facebook secara gratis dan bertemu dengan siswa dengan berkeliling ke rumah-rumah siswa atau siswa menemui dia di rumahnya.
Kendala dalam memberikan pelajaran tatap muka adalah ketika Kado mendatangi rumah siswanya dan siswa tidak berada di rumah. “Mereka harus kerja di kebun untuk membantu orang tuanya,” ujarnya.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu, menurut Kado, satu per satu beban pembelajaran bisa diselesaikan. Penilaian capaian belajar tetap bisa dilaksanakan, meski tak semaksimal pembelajaran di sekolah.
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan pandemi Covid-19 mengubah pola belajar-mengajar. Pengajar dan murid dipaksa beradaptasi dengan kebiasaan baru. “Begitu juga dengan mengajarnya ditetapkan dengan belajar daring,” ucapnya.
Tantangan dalam proses belajar-mengajar lebih berat bagi pengajar dan siswa di wilayah yang tidak terjangkau jaringan Internet. Para guru di wilayah ini harus berjuang menemui murid untuk menjalankan tugas mengajar tapi dengan menerapkan protokol kesehatan.
Menurut Satriwan, kebijakan pemerintah membuka sekolah mulai awal 2021 perlu disikapi dengan bijaksana. Sebab, tidak semua wilayah siap memenuhi protokol kesehatan kegiatan belajar tatap muka. Dia berharap pemerintah daerah tidak tergesa-gesa memberikan izin pembukaan sekolah.
Berdasarkan survei pembelajaran pada Oktober 2020 terhadap 532 ribu satuan pendidikan, dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah, sebanyak 226 ribu atau sekitar 42,5 persen merespons positif pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hanya 13 persen yang kembali melakukan tatap muka sekolah.
Survei juga menemukan PJJ berdampak negatif terhadap tumbuh-kembang anak. Hal itu di antaranya putus sekolah karena harus membantu orang tua serta kesenjangan capaian belajar karena perbedaan akses dan kualitas pendidikan. Selain itu, tekanan psikososial akibat minimnya interaksi dengan guru dan temannya hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan kebijakan sekolah tatap muka harus mengutamakan kesehatan siswa. Menurut dia, sekolah atau institusi pendidikan yang boleh dibuka harus memenuhi daftar periksa. Hal itu adalah ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, seperti toilet bersih dan layak serta sarana cuci tangan pakai sabun pakai air mengalir atau hand sanitizer dan disinfektan. Sekolah juga harus mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, siap menerapkan wajib masker, dan memiliki alat pengukur suhu badan atau thermo gun.
“Kegiatan belajar-mengajar tatap muka yang akan dimulai tahun depan tidak berarti membuat kegiatan belajar-mengajar akan berlangsung seperti sediakala secara instan,” ujar Wiku. Dia menambahkan, “perlu diingat, instansi pendidikan dapat menjadi salah satu kluster penularan Covid-19 apabila tidak berpedoman pada protokol kesehatan.”
Ahli epidemiologi, Tifauzia Tyassuma, menolak kebijakan pemerintah yang mengizinkan kembali sekolah melakukan pembelajaran tatap muka. Alasannya, tren angka kasus Covid-19 sedang mengalami lonjakan signifikan. “Sekolah tidak dibuka saja kasus hariannya sudah tinggi, yakni sekitar 4.000-5.000 per hari. Apabila sekolah dan kampus dibuka akan terjadi ledakan,” ucapnya.
Adapun data jumlah kasus terinfeksi Covid-19 pada 27 November 2020 telah menembus 522 ribu. Untuk jumlah kasus harian terkonfirmasi positif Covid-19 adalah 5.828 dan yang sembuh 3.807.
Menurut Tifauzia, angka kasus Covid-19 akan mencapai puncaknya pada Mei-Juli 2021. Dia menyarankan agar tidak memaksakan membuka sekolah tatap muka pada awal 2021. Keselamatan nyawa merupakan yang paling terpenting dalam penanganan pandemi ini. “Jangan memaksakan diri dengan keselamatan. Anak-anak terancam karena pemaksaan pembukaan sekolah pada saat grafik meningkat,” ujarnya.
Dia menyarankan kegiatan sekolah tatap muka dibuka bertahap mulai Juli 2021. Alasannya, puncak pandemi terjadi pada pertengahan tahun depan.
Pemerhati pendidikan dari Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBT), Ki Darmaningtyas, menyatakan belajar daring tidak optimal dibanding tatap muka. Pembelajaran jarak jauh kerap manipulatif. “Terjadi kelucuan-kelucuan dalam pembelajaran. Misalnya, pada saat olahraga, siswa berolahraga selama lima menit dan divideokan lalu dikirim ke gurunya,” tuturnya.
Selain itu, pembelajaran daring membuat kesenjangan siswa berkecukupan dengan yang tak punya semakin jauh. Siswa dari keluarga mampu dapat memenuhi kebutuhan belajar online. Sementara itu, banyak anak miskin tak memiliki gawai untuk mengikuti pelajaran daring.
EKO WIDYATMOKO | ALI N.Y.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo