Langit Madagaskar seperti digantungi kabut pekat. Gadis-gadis di pulau terbesar di timur Afrika ini tak lagi menari di malam bulan purnama. Mereka tengah meratapi sedikitnya 440 nyawa kerabat yang melayang diterjang virus misterius, cuma dalam dua bulan terakhir. Angka kematian ini dipastikan terus meningkat karena hingga kini masih ada sekitar 13 ribu penduduk lain yang tengah terbaring gering.
Negeri yang pernah berjaya pada zaman prakolonialisme ini memang layak prihatin.
Madagaskar sebetulnya terkenal sebagai tempat yang makmur bagi monyet beragam spesies. Tapi kemakmuran itu tak berlaku bagi 75 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Orang-orang melarat ini kian sengsara terkena imbas pertikaian politik yang memburuk sejak pemilu yang kisruh Desember tahun lalu.
Dalam dua bulan terakhir, derita Madagaskar makin komplet dengan adanya wabah yang misterius. Setiap hari ratusan orang, yang kebanyakan tinggal di empat distrik, yakni Fianarantsoa II, Ikongo, Manandriana, dan Manakara, mengalami gejala seperti flu biasa, yakni demam, hidung tersumbat, sakit kepala, dan batuk. Namun flu yang misterius ini sanggup merenggut nyawa penderita, terutama bocah balita dan mereka yang lanjut usia, hanya dalam hitungan 2 hari sampai 2 minggu.
Lalu adakah wabah itu lantaran virus baru yang ganas dan misterius?
"Sebetulnya tak ada yang misterius," kata Ian Simpson, juru bicara tim Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk Madagaskar. Penyelidikan yang digelar tim Simpson membuktikan, yang beraksi kali ini adalah virus influenza tipe A berkode A(H3N2). Ini jenis virus yang juga menyebabkan penyakit flu pada puluhan juta warga dunia setiap tahun. Menurut catatan WHO, penyakit influenza plus infeksi akut membunuh sekitar 500 ribu orang di seluruh dunia setiap tahun.
Dr. Lamina Arthur Rakotonjanabelo sepakat dengan pendapat Ian Simpson. Bersama kelompok ilmuwan WHO dan Institut Pasteur Prancis, Rakotonjanabelo, yang pejabat Departemen Kesehatan Madagaskar ini, terjun mengidentifikasi virus. Hasil identifikasi, virus influenza tipe A kali ini sama persis dengan jenis yang langganan menyambangi Madagaskar setiap tahun, biasanya bulan April-Juni. Dan, "Secara prinsip flu ini tidaklah membunuh," kata Rakotonjanabelo.
Lo, bukankah sudah ada 440 korban yang jelas sudah mati?
Rakotonjanabelo melanjutkan, ratusan kematian itu adalah bukti dahsyatnya daya rusak kemiskinan yang berkolaborasi dengan virus influenza. Empat distrik yang diterpa bencana tergolong wilayah yang teramat melarat. Gubuk-gubuk yang pengap tanpa ventilasi memudahkan virus menyebar dari satu orang ke orang lain melalui percikan batuk (droplet nuclei). Air bersih pun susah didapat dan kemarau panjang mengacaukan sawah-ladang. Penduduk lebih suka mendatangi dukun setempat ketimbang susah payah berobat ke rumah sakit, yang memang tidak mudah dijangkau.
Menyimak kondisi lapangan di atas, Rakotonjanabelo menekankan, sudah lama penduduk di keempat distrik Madagaskar tersebut menyandang malnutrisi yang parah. Mereka juga telah lama kehilangan sistem kekebalan tubuh. Walhasil, begitu virus influenza datang menyerang, tubuh langsung luluh-lantak.
Pada orang normal, virus influenza paling-paling membuat saluran pernapasan bagian atas sampai bawah meradang. Penyembuhan biasanya cukup dengan mengaktifkan sistem kekebalan, dengan beristirahat dan menyantap makanan bergizi. Jika perlu, antibiotik diberikan untuk membasmi infeksi kuman yang mengikuti serangan flu.
Namun, bagi orang Madagaskar yang malnutrisi dan hilang kekebalan, virus flu beraksi lebih agresif. Radang saluran pernapasan dengan cepat menghebat menjadi pneumonia alias radang paru. Selain itu, berbagai kuman datang ikut serta menginfeksi tubuh. Maka, terjadilah komplikasi akut yang ditandai dengan batuk berdahak warna gelap, kejang perut, sekujur tubuh terasa kaku, leher sakit, dan pusing yang dahsyat. "Tanpa pengobatan yang segera," kata Rakotonjanabelo, "nyawa bisa melayang."
Lantas, apa yang mesti dilakukan?
WHO menyerukan perlunya uluran tangan internasional untuk membantu mengatasi wabah di Madagaskar. Bantuan yang bukan sekadar berguna untuk mengobati penderita flu tetapi juga meningkatkan status nutrisi jutaan penduduk miskin. Peningkatan kualitas permukiman dan sarana umum juga perlu jadi sorotan masyarakat internasional.
Tapi aktivis Pusat Informasi Gereja Afrika mengingatkan, segenap petinggi Madagaskar juga mesti mengutamakan pembenahan internal. Pertikaian politik mesti dihentikan terlebih dahulu. Jika tidak, bantuan internasional hanya akan telantar sia-sia dan rakyat tetap tinggal gering.
Mardiyah Chamim (BBC, Africa Online, Pan African News Agency)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini