KARENA ludruk berasal dari Jombang, ada kawan yang bertanya
apakah pesantren yang menjadi penciptanya? Bukankah daerah itu
daerah pesantren, mengapa sampai kesenian rakyat yang satu ini
justru muncul di sana?
Pertanyaan sambil bergurau ini ternyata membuka cakrawala baru
dalam melakukan pengamatan atas kehidupan kaum santri kita di
masa lampau. Sudah tentu dengan implikasinya sendiri bagi masa
datang, karena ia berhubungan dengan masa depan agama Islam di
tanah Jawa, dus menyangkut negara kesatuan tercinta ini.
Ah, terlalu melamun. Apa hubungan ludruk dengan masa depan
Islam? Sudah yang berkaitan dengan pesantren belum dijelaskan,
ditambah Iagi proyeksi gombal yang terlalu jauh ini!
Tetapi kenyataannya memang demikian. Islam mendarat dan lalu
tertanam lebih kuat di kawasan pantai utara Pulau Jawa, lalu
sedikit demi sedikit memasuki wilayah pedalamannya. Di Jawa
Tengah, yang menjadi pusat kekuasaan yang menunjang budaya asli
Jawa di garis pintas Solo-Kartasura-Yogya, terjadi proses
interaksi yang bersifat seru tetapi berumur tidak terlalu lama
--antara budaya asli Jawa itu dan budaya Islam yang baru datang.
Segera tercapai keadaan status quo, bak orang berperang mencapai
gencatan senjata: diakui hak budaya asli Jawa untuk memanifeskan
aspirasi keagamaan Islam di banyak wilayah kehidupan di
pedalaman Jawa Tengah itu. Wayang dinikmati bersama, kiai
pura-pura tidak tahu kalau ada wanita tampil dalam pagelaran
kesenian setempat, bentuk masjid tradisional mengambil pola
arsitektur ke-Jawaan sejauh mungkin. B]angkon dan destar,
bukannya peci dan kopiah haji, yang jadi tanda pengenal kaum
santri pedalaman Jawa Tengah dahulu.
Baru kalau sudah kiai atau ingin dianggap memiliki derajat
kekiaian lalu ada keinginan memakai sorban, seperti Pangeran
Diponegoro. Tari rakyat kentrung digunakan sebagai media
ekspresi keagamaan di Magelang, ditarikan di luar tempat formal
bagi upacara keagamaan (masjid, surau dan sebagainya).
Pedalaman Jawa Timur lain lagi keadaannya. Pengaruh budaya asli
Jawa tidak begitu kuat tertanam seperti di Jawa Tengah, mungkin
karena terlalu jauh letaknya dari pusat kekuasaan waktu itu.
Situasi gencatan senjata tidak segera tercapai.
Kaum santrinya lebih serem "menangani" keterlibatan spek-aspek
keagamaan. Tekanan kepada spiritualitas kaum tarekat dan
legalisme kaum ahli fiqh menjadi watak utama kehidupan masa itu
di kawasan pedalaman Jawa Timur. Wanita ikut pagelaran seni
secara terbuka? Oh, tidak boleh, ini salah satu contohnya.
Dalam perbenturan dan pergulatan kedua kekuatan sosial-budaya
itu, karena inisiatif menyerang berada di tangan kaum santri,
perlu didatangkan bala bantuan. Bukankah sikap menyerang
membutuhkan lebih banyak pasukan? Kaum santri pedalaman Jawa
Timur tidak membutuhkan bala bantuan prajurit, karena ini bukan
peperangan fisik mereka membutuhkan bala bantuan opsir pemimpin
serangan.
Untuk pergulatan sosial-budaya, adakah yang lebih tepat dari
bala bantuan perwira berupa kiai sebagai "barisan opsir
agamawan"? Adakah cara lebih tepat dari proses perkawinan,
dengan cara "mengmbil" menantu calon-calon kiai dari pantai
utara? Bukankah bentangan kawasan pesisir dari Cirebon di Jawa
Barat hingga Sedayu di dekat Surabaya merupakan sumber
penyediaan calon ulama yang tangguh, dengan rangkaian
pesantren-pesantren kunonya?
Asy'ari (ayah pendiri Pesantren Tebuireng, K. Hasyim) berasal
dari Demak, diambil menantu K. Uthman Jombang. Kedua kakak
beradik Ma'sum dan Adlan Ali dari Sedayu, juga lalu "mangkal" di
Jombang, seperti halnya Bisri Syamsuri yang berasal dari Tayu
(Pati) dan Idris Kamali yang lahir di Cirebon. Makhrus Ali dari
Cirebon juga, kini memimpin pesantren besar di Kediri, Juwaini
dan Jauhari adalah pemuda-pemuda Pati yang kemudian bermukim di
Jawa Timur juga.
Kesemua calon kiai itu kini telah membentuk barisan kiai tangguh
yang dituakan oleh masyarakat. Pesantren-pesantren Lirboyo,
Kencong (Jember), Kretek (Kediri) dan Tebuireng adalah daerah
kepemimpinan mereka sekarang ini. Merekalah yang jadi pimpinan
serangan sosial-budaya kaum santri di garis lintas timur-barat
Surabaya hingga ke Madiun dan garis lintas tenggara-barat laut
Banyuwangi ke Jombang.
Belum lagi menantu-menantu baru masa kini, yang baru memulai
aksi mereka di atas pentas: Aziz Masyhuri dan Yusuf Masyhar dari
Tuban, yang kini berdomisili di Jombang, dan lain-lainnya lagi.
Proses saling-penguatan yang menarik mtuk dikaji. dengan medium
perkawinan antara sesama keluarga kiai tangguh dengan tujuan
"perjuangan" (sebagaimana mereka yakini sendiri) sosial budaya
yang intens.
Tidak heranlah jika lalu sika kurang akomodatil terhadap
aspek-aspek kesenian asli Jawa lebil berkembang di pedalaman
Jawa Timur: pagelaran kesenian keagamaan umumnya berlangsung di
tempat-tempat peribadatan formal (masjid dan sebagainya),
seperti kesenian hadrah wayang lebih sedikit dipertunjukkan,
tayuban boleh hanya kalau buka musim giling pabrik gula, dan
seterusnya.
Wanita tetap tidak boleh memperagakan diri dalam pagelaran di
muka umum. Sudah wayang sangat sedikit dipertunjukkan, melihat
penari non-wanita kurang asyik. Bagaimana kalau drama urakan
dengan pemain pria berperan sebagai wanita? Lahirlah ludruk
sebagai "status quo kecil": Pencipta aslinya adalah
kelompok-kelompok seniman yang nantinya melahirkan Markuat dan
Durasim serta Markaban (ah, betapa masih santri-nya nama-nama
mereka!).
Itu semua masa dahulu. Bagaimana sekarang? Yang tua dan muda ya
sama saja. Lelaki wanita diterima juga. Namun demikian, tradisi
akomodasi yang datang belakangan ini tentu tidak sama
manifestasinya dengan keakraban lama yang ada antara budaya asli
Jawa dan budaya santri di pedalaman Jawa Tengah.
Kalau keakraban lama ini dapat menghasilkan kreasi budaya yang
lebih mampu menangani masalah kesenjangat sosial-budaya antara
golongan yang berbeda-beda di negeri ini, bukankah peranan
mereka akan sangat vital? Dan kalau ini terjadi secara nyata,
bukankah manifestasi hidup kesantrian juga lalu akan mengalami
perubahan-perubahan mendasar?
Kalau keadaan demikian yang benar-benar terjadi siapakah yang
akan dapat menyangkal terjadinya perkembangan menentukan bagi
masa depan Islam di negeri ini Ada yang melakukan penyangkalan
seperti itu, yaitu kenyataan sejaral di masa depan. Atau justru
membuktikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini