Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perokok pasif harus berani menyuarakan hak asasi mereka untuk mendapatkan udara bersih. Keberanian untuk bersikap tegas kepada para perokok akan membentuk budaya baru lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI), Rita Damayanti mengatakan, masyarakat masih menganggap merokok sebagai perilaku sosial yang normal. "Meski sudah jadi perokok pasif, namun karena adanya budaya ewuh pekeweuh, membuat kita seringkali sungkan menegur perokok," kata Rita dalam diskusi dan nonton bareng video dokumenter yang diadakan Lentera Anak di Aula Gedung A, FKM UI, Kampus Depok, Jawa Barat.
Perokok Pasif Harus Berani Perjuangkan Hak Atas Udara Bersih
Rita mengingatkan perokok pasif agar lebih asertif dan berani bersuara dalam memperjuangkan hak atas udara bersih. Tanpa sikap berdaya, perokok pasif akan terus menjadi korban selamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perokok pasif harus lebih berani bersuara dan menjadi penggerak budaya baru. Sudah waktunya untuk mengubah perilaku merokok dari yang tadinya dianggap sebagai perilaku sosial menjadi perilaku asosial,” kata Rita.
Persoalan perokok pasif masih menjadi hal problematik di Indonesia. Hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adults Tobacco Survey-GATS) yang gelar pada 2021, menunjukkan prevalensi perokok pasif tercatat 120 juta orang. Sebelumnya, pada 2018, Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) menyebutkan ada 40 juta balita menjadi korban perokok pasif.
Hasil jajak pendapat Lentera Anak & U-Report UNICEF (2022) menemukan sebanyak 97 persen responden terpapar asap rokok alias menjadi perokok pasif. Sayangnya, meskipun sadar menjadi perokok pasif, mayoritas responden (84,7%) tidak berani menegur langsung perokok untuk berhenti merokok di dekat mereka.
Mereka hanya menyikapi dengan menutup hidung, menjauh dari asap rokok dan perokok, dan bahkan diam saja, meskipun mengetahui asap rokok berbahaya. Ini menunjukkan betapa perokok pasif tidak berdaya dan tidak bersuara untuk melindungi dirinya dari paparan asap rokok.
Selanjutnya Prevalensi Perokok Anak Meningkat
Suasana diskusi tentang perokok pasif harus lebih berdaya di FKM UI, Kamis, 16 Maret 2023. Foto: Lentera Anak.
Prevalensi Perokok Anak Meningkat, Tidak Ada Perlindungan Negara
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari menegaskan bahwa berbagai upaya advokasi perlindungan masyarakat dari bahaya rokok terus dilakukan, namun belum terlihat dampak perubahan signifikan. Dalam 10 tahun terakhir, prevalensi perokok anak di Indonesia terus meningkat. Data Riskesdas 2018 menunjukkan perokok anak meningkat menjadi 9,1% (3,2 juta anak), dan Bappenas mempredikasi pada 2030 perokok anak bisa mencapai 15,9 juta.
“Ini masalah serius mengingat rokok bersifat adiktif dan faktor resiko penyakit tidak menular, selain juga akan menjadi beban ekonomi dan mengancam kualitas SDM,” kata Lisda. “Kita membutuhkan upaya lebih serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perokok pasif merupakan bencana tersembunyi karena ketidakberdayaannya."
Lisda Sundari menegaskan, saat ini adalah waktu yang tepat bagi masyarakat untuk lebih berdaya. Ia menilai negara belum hadir melindungi kesehatan masyarakat dalam bentuk regulasi yang kuat. "Kita percaya dorongan yang kuat dari masyarakat itu secara perlahan tapi pasti akan dapat mengubah perilaku, norma dan budaya kita menjadi lebih sehat dan berpihak kepada rakyat,” tuturnya.
Negara Dianggap Lalai Lindungi Masyarakat
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, memaparkan penerapan regulasi di Indonesia masih sangat longgar. Hal ini, kata dia, membuktikan lemahnya peran pemerintah. Julius menambahkan, di saat Negara sudah lalai melindungi masyarakat, di sinilah justru dibutuhkan masyarakat yang harus melawan pihak-pihak yang merugikannya.
"Dalam kondisi resisten warga seharusnya menyerang balik, karena kita mendapatkan jaminan hak atas udara bersih yang diatur dalam undang-undang,” kata dia. Hak warga negara atas udara bersih dijamin dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 juncto pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya jaminan hak warga atas udara bersih ini, Julius menegaskan warga yang merasa dirugikan seharusnya bisa melawan. Ia mencontohkan kasus kemenangan gugatan oleh 32 warga kepada Negara karena hak mereka atas udara bersih tidak terpenuhi.
Hanya masalahnya, kata Julius, saat ini para perokok merasa nyaman karena mereka menganggap Indonesia adalah kawasan lokalisasi merokok. Karena itu Julius menilai pentingnya menaikkan standar agar Indonesia tidak lagi dianggap sebagai kawasan lokalisasi merokok, salah satunya dengan memperkuat aturan dan penerapan sanksi yang tegas.
Margianta SJD, Direktur Eksekutif Emancipate Indonesia, menyatakan kaum muda saat ini sangat frustrasi menghadapi kebijakan pemerintah yang tidak prokesehatan masyarakat. Karena itu ia mengajak masyarakat untuk bersuara, serta berinisiatif secara bersama-sama membangun lingkungan tanpa rokok.
"Kita bisa memulai dari lingkungan terkecil seperti di rumah sendiri atau lingkungan RT/RW tanpa rokok," ujar Margianta. Diharapkan, dari keresahan dan permasalahan yang disuarakan oleh masyarakat ini juga dapat didengar oleh Pemerintah.
Menjelang Pemilihan Umum pada 2024, Margianta mengharapkan masyarakat dapat memilih pemimpin yang dapat memberikan solusi konkret atas permasalahan rokok di Tanah Air dan betul-betul berkomitmen melindungi kesehatan masyarakat. “Jangan memilih figur yang tidak peduli dan semakin membuat kita frustrasi,” ucapnya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.