Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Prosedur pun Bisa Diakali

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anda tergolong poor metabolizer yang tak mampu optimal mengelola obat? Bila Anda penasaran kepingin tahu, mungkin Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, bisa menolong. Eijkman memang punya kemampuan menelusuri kemampuan tubuh mengelola obat, melalui pemeriksaan gen. Namun, pemeriksaan gen itu sendiri belum menjadi prosedur umum yang dilakukan di negeri ini. Padahal manfaat pemeriksaan gen sangat melimpah. Dosis obat, misalnya, bisa ditakar sesuai bagi orang-orang yang memiliki kemampuan buruk dalam merespons obat. "Kami juga bisa merancang pedoman obat yang betul-betul pas bagi orang Indonesia," kata Irawan Yusuf, peneliti Lembaga Eijkman. Pedoman obat khas Indonesia sampai kini memang belum ada. Tapi sebetulnya telah ada prosedur yang harus dilakukan agar obat produksi industri farmasi, yang mayoritas berinduk di negara maju, tak diterapkan mentah-mentah begitu saja. "Ada saringan supaya obat yang masuk sesuai dengan kondisi masyarakat," kata Profesor Iwan Darmansyah, farmakolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hanya, tak semua obat melewati prosedur yang selayaknya. Saringan awal dilakukan oleh Panitia Penilai Obat Jadi (PPOJ), yang bekerja sejak 1970-an. Para ahli farmakologi dalam PPOJ mengkaji dokumen riset obat yang dilakukan di negara asal produsen. Bila ada kejanggalan data, panitia memutuskan obat yang bersangkutan tak boleh beredar. Untuk obat-obatan yang diduga bereaksi terhadap enzim yang khas orang Indonesia, PPOJ merekomendasikan uji klinis di beberapa universitas ternama. Pengujian ini dilakukan dengan menimbang fakta bahwa ada orang yang tergolong poor metabolizer. "Biarpun jumlahnya jauh lebih sedikit dari orang normal, keselamatan poor metabolizer tak boleh diabaikan," kata Iwan. Nah, selama rangkaian prosedur saringan ditaati, obat yang beredar sudah cukup aman. Namun—seperti dibenarkan Iwan—ada juga produsen yang tak mengikuti rel. Misalnya, PPOJ telah menilai obat X tidak layak beredar karena berbagai hal, tapi sang produsen tetap ngotot dan bermain mata menggaet izin obat X dari pejabat tinggi. Walhasil, obat-obat yang menurut PPOJ tak lolos akhirnya bisa beredar di tengah masyarakat. Nuansa kolusi juga disampaikan William, sumber TEMPO di kalangan pengusaha farmasi. "Akal-akalan itu biasa di kalangan pengusaha farmasi," kata William, yang tak mau diungkap jati dirinya. William mencontohkan, ada obat yang dibikin dengan dosis 250 mg per tablet, sedangkan—sesuai dengan uji klinis—dosis tepat bagi orang Indonesia adalah 180 mg. Mulailah siasat dimainkan. Sang pengusaha mencari tim dokter lain yang bersedia menurunkan standar penilaian sehingga obat dosis 250 mg tetap boleh beredar. Menurut Rianto Setiabudy, farmakolog Fakultas Kedokteran UI yang Ketua Kelompok Kerja Uji Klinis Indonesia, yang selama ini terjadi adalah ekses ketiadaan patokan uji klinis yang menyeluruh. Tanpa patokan, obat yang tak lolos uji klinis di universitas A bisa melaju mulus di universitas lain. Karena itu, Mei lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan bersama para farmakolog melansir pedoman cara uji klinis yang baik. "Patokan ini diharapkan dapat mengikis uji klinis yang di bawah standar," kata Rianto. Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus