Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Saatnya Meninggalkan Kiblat pada Barat

Lembaga Eijkman menemukan bahwa 30 persen orang Indonesia tak sanggup optimal menguraikan obat. Obat sering tidak mempan mengatasi penyakit mereka, bahkan menimbulkan bahaya keracunan obat yang fatal.

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK orang Indonesia ternyata rawan keracunan obat. Keracunan itu bukan sekadar gara-gara tak patuh pada aturan pemakaian obat yang dianjurkan dokter. Lebih dalam lagi, 30 persen warga Indonesia bersifat poor metabolizer alias tubuhnya tak sanggup mengolah obat secara optimal. Walhasil, bukannya menyembuhkan penyakit, obat yang masuk justru berisiko meracuni tubuh dan mengundang dampak fatal. Kesimpulan tersebut bukan cuma omong kosong. Sekelompok ilmuwan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, telah melakukan riset mengenai poor metabolizer di Indonesia. Pekan lalu, penelitian ini menjadi perbincangan utama di tengah acara ulang tahun ke-34 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Awal 2001, tim peneliti yang dipimpin Irawan Yusuf, Kepala Laboratorium Biologi Membran Lembaga Eijkman, mengambil sampel darah dari 283 responden yang sehat walafiat. Para responden berlatar belakang tujuh etnis di Indonesia, yakni Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Dayak, Bima, dan Kajang di Kalimantan. Selanjutnya, Irawan melakukan pengujian genetis atau materi yang menentukan sifat bawaan pada sampel darah responden. Ternyata, 30 persen responden terdeteksi memiliki gen yang disebut Cyp2c19—selanjutnya disebut Cyp 2. Gen inilah yang berkaitan dengan lemahnya kemampuan tubuh mengolah berbagai jenis obat penting seperti obat tidur, tukak lambung, antidepresi, hipertensi, penurun gula darah, dan antimalaria. "Temuan ini cukup mengejutkan," kata Irawan. Maklumlah, adanya gen Cyp 2 pada sebuah populasi lazimnya tak begitu banyak. Di Eropa dan Amerika, misalnya, gen Cyp 2 hanya dimiliki oleh dua persen penduduk. Artinya, sangat sedikit masyarakat Barat yang bersifat poor metabolizer. Mungkin fakta itu bisa menjelaskan kenapa di Indonesia sering ditemukan kasus pasien yang sakit tidak kunjung sembuh meski rajin minum obat, atau bahkan justru sakit lebih parah setelah minum obat. Irawan kemudian merujuk pada riset serupa yang pernah digelar oleh peneliti Universitas Indonesia. Pada 1995, Rianto Setiabudy, farmakolog dari Fakultas Kedokteran UI, juga meneliti kemampuan orang Indonesia merespons obat di dalam tubuh. Kala itu, Rianto merekrut 104 sukarelawan sehat, 74 laki-laki dan 25 perempuan, sebagai responden. Sebagai pendahuluan riset, selama satu minggu Rianto meminta responden berpuasa mengonsumsi obat apa pun. Kemudian, para responden diberi beberapa jenis obat penguji kinerja enzim-enzim pencerna obat, antara lain obat penguji kinerja enzim yang diproduksi gen Cyp 2. Selang delapan jam setelah minum obat, Rianto menganalisis urine responden untuk melacak seberapa jauh kemampuan mereka mengelola obat. Hasilnya, sekitar 15 persen responden terbukti menunjukkan kelemahan metabolisme obat. Jadi, "Riset ini sejalan dengan hasil tim Eijkman," kata Rianto. Rianto sendiri mengaku sangat senang dengan hasil riset Eijkman. "Mereka layak diacungi jempol," katanya. Penelitian ini menunjukkan adanya kepedulian pada nasib konsumen Indonesia, yang selama ini dijejali obat-obatan yang berkiblat penuh pada Eropa dan Amerika. Padahal, seperti telah dibuktikan oleh tim Eijkman, orang Indonesia punya kekhasan genetis dalam merespons obat. Tentu saja, kekhasan pola genetis ini juga membutuhkan pendekatan yang juga khusus. Lalu, seburuk apa dampak yang dituai oleh masyarakat kita yang dijejali obat yang semata-mata berpatokan pada profil orang Barat? Secara teoretis, orang dengan gen Cyp 2 kemungkinan besar kesulitan merespons obat yang dirancang untuk orang Barat, yang notabene punya kemampuan optimal mengelola obat. Ini berarti ada sebagian senyawa aktif obat yang tidak dikelola tubuh dengan semestinya. Menurut Utomo Dewanto, toksikolog dari Fakultas Kedokteran UI, obat yang tidak terolah bakal menjadi bumerang. Bakteri atau virus, yang mestinya menjadi sasaran gempuran obat, tetap berjaya di dalam tubuh pasien. Sementara itu, senyawa kimia terakumulasi dalam cairan darah dan menebar racun pada organ penting seperti ginjal dan hati. Memang, lagi-lagi, di Indonesia belum ada riset yang menyoroti efek obat yang tak dapat diolah tubuh. Namun, bukan berarti dampak buruk yang diduga berkaitan dengan sifat poor metabolizer tak pernah muncul. "Silakan menyimak berbagai kasus yang selama ini terjadi," kata Utomo. Sebut, misalnya, kasus di Batam yang menimpa gadis Yusnani Artha, 23 tahun. Yusnani terpaksa terbaring lumpuh gara-gara alergi obat bius saat menjalani operasi pembersihan kuman tuberkulosis. Sesuai dengan penjelasan resmi Rumah Sakit Harapan Bunda, Batam, tempat Yusnani dirawat, dosis obat bius yang digunakan sudah sesuai dengan standar medis. Tapi, entah mengapa, pasien mendadak bereaksi negatif terhadap obat bius sehingga memicu kelumpuhan. Sangat mungkin, menurut Utomo, Yusnani tak sanggup optimal mengelola obat bius dan akhirnya berakibat fatal. Kejadian semacam itu mungkin bisa dicegah seandainya ada peta yang menggambarkan kondisi khas gen orang Indonesia. Penelitian gen seperti yang dilakukan tim Eijkman Institute sangat layak diperluas skalanya, baik dari sisi cakupan etnis maupun dari variasi gen yang diuji. Siapa tahu yang tak mampu merespons obat dengan baik tidak cuma 30 persen tapi berlipat dari itu. Hasil riset nantinya bisa menjadi semacam kiblat bagi industri farmasi untuk merancang obat yang tepat bagi konsumen Indonesia. Untuk itu, "Kami mempersilakan kalangan industri farmasi ikut serta terjun meneliti," kata Irawan. Sayangnya, partisipasi kalangan industri farmasi lokal sulit diandalkan. Kendala yang utama, sebagian besar industri farmasi di republik ini hanya bersifat industri fotokopi. Kantor pusat pabrik obat yang ada di negara maju tak memberi keleluasaan bagi kantor di Indonesia untuk menggelar penelitian. Walhasil, "Industri obat di sini cuma berkepentingan melambungkan profit perusahaan," demikian pengakuan William, bukan nama sebenarnya, seorang pengusaha di lingkungan industri farmasi. Demi menggembungkan keuntungan, pos promosi obat dibekali anggaran yang luar biasa, sedangkan divisi riset sekadar menjadi tempelan tak bermakna. Karena itu, menurut William, pemerintah perlu mencari terobosan guna mengubah perilaku industri. Riset gen poor metabolizer dari Lembaga Eijkman bisa dimanfaatkan sebagai pemicu untuk mendongkrak keterlibatan aktif kalangan industri. "Kini saatnya merintis pengobatan yang tak sekadar berkiblat pada dunia Barat," kata William. Mardiyah Chamim dan Levi Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus