MESKI cuma bagian kecil saja dari Muktamar Ikatan Dokter Indonesia ke- 19, penyidangan dr. Gunawan Simon yang pernah bikin heboh karena cara pengobatannya dianggap inkonvensional, tetap saja menyerap perhatian paling besar. Bukan cuma wartawan yang lari sana sini mencari bocoran sidang, tapi bisik-bisik di kalangan dokter peserta muktamar santer juga. Serbuan wartawan agaknya sudah diperhitungkan panitia. Karena itu, penyidangan dr. Gunawan Simon dilangsungkan di kompleks lama gedung PPTM, Jalan Jenderal Sudirman, Bandung, jauh dari kompleks baru tempat sidang-sidang muktamar lain berlangsung. Persidangan yang berlangsung hampir satu hari penuh Selasa pekan lalu itu pun dijaga ketat. Lift di lantai dasar dijaga tujuh polisi berseragam, juga beberapa anggota ABRI yang berseragam pula - sidang berlangsung di lantai tiga. Selasa siang itu, tepat pukul 12.00, Gunawan Simon muncul di kompleks lama gedung PPTM. Wajahnya tegang, tapi tak menampakkan rasa takut. Kali ini ia tak didampingi para pengacaranya - biasanya di tempat umum, para pengacaranya senantiasa ikut. Simon datang hanya berdua, dengan sopir pribadinya dalam mobil VW Golf warna jingga. Beberapa saat kemudian baru para anggota sidang datang kelompok demi kelompok. Sidang itu sendiri diselenggarakan oleh semacam komisi pada muktamar yang membahas masalah keanggotaan. Berbagai kelompok memang terlibat dalam persidangan ini, juga pada kasus dr. Gunawan. Sidang kelompok, yang semacam komisi itu, bertugas mencatat semua masalah yang muncul, kemudian merumuskan saran untuk dibawakan di sidang pleno muktamar. Komisi ini diketuai Prof. Utoyo Soekaton, seorang ahli penyakit dalam senior. Anggota komisinya: dr. Amino Gondoutomo, juga seorang dokter senior dan dr. Rahman Maas, dan dr. Iman Hilman, Direktur RS Hasan Sadikin. IDI, sebagai organisasi, diwakili Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Anggota MKEK yang tampil pada penyidangan Gunawan Simon: Prof. Tumbelaka, Penjabat Rektor Universitas Indonesia, mewakili MKEK IDI pusat dan Prof. Kustedjo, bekas Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, mewakili MKEK IDI Jawa Barat/Bandung. Gunawan Simon yang didengarkan pendapatnya - yang mau tak mau sampai pula pada tanya jawab - didampingi tim dari Badan Pembela Anggota (BPA). Tim itu beranggotakan: Prof. Soedjatmo Soemowerdojo, Ketua BPA IDI Jawa Barat Dr. Tanwir J. Mukawi Prof. Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman, dan dr. Pardjaman Todjo. Di samping itu, karena dr. Gunawan Simon menyatakan akan mengemukakan metode pengobatannya, penyidangan dilengkapi pula dengan tim ahli. Tim itu: dr. Tjiam Tjin Goan, ahli penyakit dalam senior yang memperdalam keahliannya di bidang tumor dan kanker dr. Syaifullah Noor, ahli penyakit dalam yang juga senior, dan Prof. Sudarto seorang ahli patologi anatomi. Menurut sebuah sumber TEMPO, penyidangan dimulai dengan meminta MKEK, atas nama IDI, menguraikan pasal-pasal pemecatan Gunawan Simon dan juga saran-saran, masalah apa yang harus dibahas. Pandangan IDI pada penyidangan itu tak berbeda dengan keputusan yang dikeluarkan April tahun ini (TEMPO, 6 April 1985). Saran-saran juga diminta dari BPA, yang dalam penyidangan ini mencoba membela hak-hak Gunawan Simon. Terjadi diskusi dan perdebatan cukup ramai dalam menentukan pokok-pokok pembahasan itu. BPA sudah tentu berusaha sebisanya melindungi Gunawan dari kemungkinan-kemungkinan penyerangan. Seorang anggota BPA bahkan menyarankan agar penyidangan mempertimbangkan pula faktor-faktor yuridis formal. Namun, usul ini gugur karena tidak semua anggota BPA setuju. Seorang mengatakan, fokus penyidangan ini adalah masalah kedokteran, dan, walaupun terdapat aspek hukum, penyelesaiannya bisa melalui bidang kedokteran saja. Prof. Soediatmo, yang mengetuai tim, juga menyatakan tak perlu, asal sidang mengingat asas praduga tak bersalah. Setelah pokok-pokok pembahasan disetujui, termasuk Gunawan Simon sendiri, penyidangan masuk ke mata acara pembelaan diri. Gunawan membacakan pembelaannya - tertulis - sepanjang sepuluh folio. Nada pembelaan tertulis itu ternyata tidak berapi-api. Dengan kata-kata bernada sopan, bahkan sangat merendah, Gunawan minta agar IDI meninjau kembali keputusannya. "Ingin saya mohon sekali lagi direnungkan bagaimana bila kasus yang saya alami menimpa diri Anda sekalian," ujarnya lirih. Akan tetapi dalam pembelaan itu, secara menggebu-gebu, Gunawan menyerang media massa yang ditudingnya memutarbalikkan persoalan dan "membuat fabrikasi" kesimpulan yang sangat merugikannya. Dan, menurut Simon, keputusan IDI terlampau percaya pada pemberitaan-pemberitaan itu termasuk dalam mengambil keputusan. Simon, dalam pembelaan itu, juga mengutarakan sejarah ia menemukan metode pengobatannya. Dalam arti sejarah pengalamannya, termasuk ikhtiarnya menyembuhkan Almarhum Adam Malik. Latar belakang medis, dalam pembelaan itu, disebutkannya dalam garis besar saja. Ia, menyebutkan beberapa dasar ilmu kedokteran yang sudah sangat umum diketahui. Dikenal sebagai masalah elementer dalam ilmu kedokteran. Soal kanker, misalnya, menurut Simon, ini diakibatkan menurunnya stamina. Penurunan kondisi tubuh ini, menurut dokter yang berjambang lebat itu, menghambat produksi antibodi yang disebutnya spesifik untuk sel kanker. Mengenai turunnya kondisi tubuh yang menimbulkan kanker itu, ia berkata, "Sementara ini saya konstatasikan sebab-sebabnya terletak pada masalah seks, makanan, dan tidur." Penyebab yang agak aneh ini masih ditambahkan-nya dengan catatan penyebab kanker yang konvensional: virus, radiasi, dan zat-zat karsinogen - dalam ilmu kedokteran penyebab-penyebab ini masih diperdebatkan, belum seluruhnya mendapat konfirmasi lengkap. Namun, pada pembelaan tertulis itu, Simon menyatakan, ia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan secara lisan bila diajukan. Ia berkata, "Selanjutnya dengan kerendahan hati saya menyiapkan diri untuk menghadapi pengujian dan pengkajian dari yang terhormat para ahli dan ilmuwan yang ditunjuk oleh pimpinan IDI." Akan tetapi, dr. Gunawan gagal dalam menjawab sejumlah pertanyaan dan, menurut sumber TEMPO, ia kembali tegang dan kukuh pada sikap ketertutu-pannya. Ketika itu, ditanyakan padanya apakah ia membuat klasifikasi (staging) penyakit kanker. Seperti diketahui, pengobatan kanker biasanya ditentukan oleh tingkat pertumbuhan kankernya. Pada tingkat pertama, sel-sel kanker masih bisa diobati dengan cara penyinaran dan obat-obat antikanker. Pada tingkat ganas, atau metastasis, penderita kanker umumnya harus menjalani operasi. Soal ini dijawab Simon dengan sangat berbelit - dan itu tidak memuaskan para ahli. Di samping itu, Gunawan Simon juga tak bisa menunjuk salah satu referensi yang dipegangnya dalam membangun metode bagi diagnosa yang biasa diterapkannya. Wawancara dengan para ahli, yang memakan waktu kurang lebih satu jam itu, ternyata, berbalik ke jawaban-jawaban yang tidak bisa disepakati bersama. Syaifullah Noor, salah satu anggota tim ahli itu, misalnya mencoba mencari kesamaan dasar berpijak sebagai patokan diskusi dengan mengajukan pertanyaan: apakah kaidah sederhana bagi pengertian "sehat". Simon menekankan indikasi: tidur, makan, dan seks itu tadi. Ketika didesak dasar teorinya, ia bertahan, "Saya cari sendiri secara mandiri." Sidang yang diam-diam panas itu, yang bila ditinjau jumlah ahli yang datang sudah mendekati simposium, berakhir Selasa malam. Gunawan Simon lalu diminta meninggalkan ruangan, dan persidangan kemudian dilakukan tertutup total. Sidang kelompok masalah keanggotaan itu menyiapkan saran bagi sidang pleno, keesokan harinya. Dari sidang pleno itu memang keluar antara lain keputusan tentang kasus Gunawan Simon. Dalam sidang itu, komisi masalah keanggotaan mengajukan usul agar pemecatan dikukuhkan. Untuk ketetapan ini diperlukan suara setuju paling sedikit 2/3 suara utusan daerah dan perwakilan. Cukup mengejutkan, ternyata, pengukuhan pemecatan Gunawan Simon mendapat persetujuan aklamasi. KEPUTUSAN itu terjadi Rabu pukul 14.00 pada sidang pleno yang berlangsung di lantai tujuh gedung PPTM. Gunawan Simon, yang ketika itu belum mengetahui isi usulan komisi keanggotaan, tampak tidak terlampau tegang - ia agaknya yakin akan direhabilitasikan. Agak diam, ia duduk di antara dua anggota tim BPA yang membelanya, Dr. Tanwir dan Prof. Soedjatmo. Namun, ketika keputusan akhirnya dibacakan oleh dr. Hakim Sorimuda Pohan selaku ketua Muktamar ke-19 IDI, Gunawan Simon kontan berdiri. Ia tampak panik dan terguncang menghadapi tepuk tangan peserta sidang pleno, begitu keputusan selesai dibacakan. Simon langsung memburu keluar, dan ketika dicegat para wartawan ia mengutarakan berbagai pendapat keras menyatakan tak puas - ia kelihatan terpukul. Sesudah itu, Gunawan Simon tampak kembali pada sikapnya yang dulu-dulu. Ketika ditemui Syafiq Basri dari TEMPO di rumahnya, ia tampak ingin melupakan keputusan muktamar, dan menganggapnya tidak ada. "Yang menilai saya 'kan bukan IDI, tapi pasien saya, karena saya tidak lagi berhubungan dengan IDI, melainkan dengan pasien saya," katanya. Di sisi lain, ia tetap membuka kemungkinan untuk memberikan penjelasan ilmiah, walau segera ditimpalinya bukan sekarang karena belum waktunya. "Tentunya saya ingin mendapat pengesahan, asal ada imbalannya, gelar doktor, kek, untuk saya," katanya. Prof. Tumbelaka seakan menanggapi keinginan Gunawan Simon. Penjabat Rektor UI itu mengutarakan, bila Simon berani dan sungguh-sungguh bisa memenuhi kriteria akademis, Universitas Padjadjaran - tempat Simon lulus - bersedia memberikan kesempatan. "Dia masih tetap seorang dokter. Karena itu, hubungan persaudaraan masih tetap ada IDI masih akan terus membimbing dia," ujar Tumbelaka. Tentang soal pemecatan Gunawan Simon dari keanggotaan IDI, Tumbelaka menyatakan, memang tak bisa lain. Ia menunjuk inti permasalahannya, "Sesuai dengan ketetapan WHO yang disepakati di seluruh dunia, seorang dokter harus berhati-hati melakukan percobaan di bidang medis, khususnya yang menyangkut manusia." Dan ini, dinilainya tidak di lakukan Gunawan Simon. Prof. Mahar Mardjono, bekas ketua yang kini ditugasi mengembangkan sektor penelitian IDI, mengutarakan penyidangan Simon sangat adil. "Dan keputusan ini diambil tanpa dasar emosional sama sekali," ujar bekas Rektor UI itu. Ia juga mengharapkan, penyidangan Gunawan dijadikan preseden. Dalam arti, anggota IDI yang dipecat di tingkat cabang ataupun pusat sebaiknya menggunakan haknya untuk maju ke muktamar. Sementara ini, memang cuma Gunawan Simon yang berani. Mungkin karena itu, maka Muktamar IDI kali ini, selain soal-soal lain berjalan lancar, juga menjadi meriah dan menarik. Di antara keputusan penting lainnya, tokoh-tokoh muda muncul memegang pimpinan. Kartono Mohamad, pemimpin majalah kedokteran Medika, yang tergolong muda, di kukuhkan menjadi ketua menggantikan Prof. Mahar Mardjono. Dan, dr. Azrul Azwar, terpilih sebagai ketua baru (yang harus magang sebagai wakil ketua pada periode yang akan datang). Azrul juga tergolong tokoh muda ia sebelumnya menjabat Sekjen PB IDI. Jim Supangkat Laporan biro Jakarta & Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini