Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Riwayat Endang Sutara

Endang sutara, asal Indramayu, berhasil sebagai transmigran di mapanga (palu). Berbagai musibah menimpanya ketika ia mudik ke Indramayu dan sempat menjadi gelandangan di Jakarta. (sd)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI keluarga petani yang tidak punya sawah, lahirlah seorang lelaki bernama Endang Sutara. Di desa Ujung Gubang, Indramayu. Dunia dari sudut mata orang miskin ini, adalah pasar penjualan tenaga. Itulah sebabnya ia menerima baik nasibnya, waktu ia keluar dari bangku sekolah padahal baru kelas 4 SD. Bersama kedua adiknya yang kemudian meramaikan teratak orang tuanya, ia ikut menjual tenaga. Waktu usianya bertambah, Sutara jadi "pedagang". Ia dagang telur kecil-kecilan. Mula-mula hanya ngubek di sekitar kampung, kemudian berkembang, tembus sampai ke Pekalongan dan daerah sekitarnya. Hidupnya jadi senang. Iapun merasa bahwa ia telah sampai pada masa kejayaan sebagai manusia pedagang telor. Maka Sutarapun berpacaran. Kuli Bangunan Tariah nama pacarnya. Wanita yatim piatu asal Tegal yang satu profesi. Karena cinta di pelosok tanah Jawa ini tidaklah seruwet cerita cinta yang dibikin-bikin, singkat dan langsung saja, kawinlah keduanya. Sutara memboyong Tariah ke Indramayu serta menjadikannya kongsi dalam bisnis telur. Menurut teori, kesibukan telur tentunya bertambah bengkak karena dikelola suami-isteri yang sama-sama ahli. Sayang sekali, kok tidak. Situasi yang entah bagaimana rupanya lebih kuasa. Bila perekonomian makin buruk maka tak adalah yang bisa dikerjakan Sutara dan Tariah kecuali mengamati dengan cemas kemunduran telur mereka. Pada suatu ketika, mereka tiba-tiba menjumpai tak ada lagi yang bisa dikerjakan dengan telur. Dan karena mereka bukan teknosof yang dikaruniai akal aneh-aneh, mereka tak dapat berbuat lain kecuali kembali pada pekerjaan nenek moyang. Jadi petani. Lebih baik dikatakan, buruh tani hidup dengan cara pas-pasan dan menjemukan. Tapi Sutara pun merasa ada pemberontakan lagi dalam dirinya, seperti dulu waktu ia jadi kuli. Maka dibukanyalah mata melihat jauh. Ke Jakarta. Masa itu Jakarta sedang meledak. Kota ini sedang berada di pelukan awal jabatan kedua Gubernur Ali Sadikin. Ia bagai kota yang penuh janji, menghirup harapan orang-orang miskin di pelosok yang tak tahu ke mana lagi harus menggantungkan nasib. Sutara mendengar. Sutara terbujuk. Sutara bermimpi: kota yang bising itu akan menyuapinya, lebih baik daripada membandel sebagai buruh tani di Ujung Gubang. Dengan meninggalkan anak bini, ia pun lepaskan cangkul, lumpur dan baju tambalan yang menjadi seragam resminya di sawah. Ia masuk Ibukota dengan semangat tempur dan berhasil menyulap dirinya menjadi seorang kuli bangunan. Tetapi hidup di Jakarta sama pas-pasannya dengan hidup di udik. Barangkali variasinya lebih banyak -- tapi meskipun Sutara berjuang mati-matian, toh tak berhasil mengirimkan apa-apa untuk keluarganya yang menunggu. Dalam hal ini mungkin ia harus bersabar. Tetapi matanya telah lebih dahulu bergerak. Melihat lebih jauh. Sekarang ke luar Pulau Jawa -- ke daerah trasmigrasi di Sulawesi Tengah. Tawaran yang muncul dari ide pemindahan penduduk, dari Pemerintah, dianggapnya mengandung harapan. Hatinya gembira kembali. Diambilnya keluarganya -- anak dan isterinya -- di Indramayu. Langsung mereka masuk tempat penampungan calon transmigran di Jakarta. KTP-nya segera dirubah jadi KTP Jakarta. Maka resmilah Sutara menjadi transmigran yang tergabung dalam kelompok 100 KK lainnya. Sebuah kapal, yang ia lupa namanya, pada tanggal 2 September 1974 meninggalkan Tanjung Priok, membawa keluarga Sutara ke Palu. Dari Palu, sebuah truk membawanya memasuki Tomini, dan kemudian menghantarkannya ke daerah transmigrasi Mapanga. Perjalanan yang cukup berat, karena mereka harus berada di dalam truk selama dua hari satu malam. Antara Palu dan Tomini terbentang jalan yang rusak berat. Mapanga merubah nasib Sutara dan keluarganya. Ia tak sia-sia berharap. Hidup mereka lebih baik, tidak hanya permainan mimpi. Sesuai dengan janji, Pemerintah memberinya sebuah rumah bedeng terbuat dari kayu. Dan lebih dari itu, ia tidak perlu lagi menyebut dirinya buruh, karena ia serta-merta mendapat 2 Ha tanah. Belum banyak yang tahu, daerah Mapanga termasuk bagian dari ibu pertiwi yang subur -- meski kesuburan itu harus dibuka dengan cucur keringat yang deras. Bagi Sutara bekerja berat sudah biasa. Meski banyak hal yang harus dilakukannya -- banyak kekurangan fasilitas yang membuatnya harus tabah dan gigih -- Sutara tidak mundur. Menutup Mata Cerita tentang daerah transmigran biasanya rawan. Karena daerah yang harus dibuka itu anti kemalasan, banyak transmigran seangkatan Sutara putus asa. "Sekitar 40 KK meninggalkan Mapanga kembali ke Jawa," ujar Sutara menceritakan kenangan itu kepada Dahlan Iskan dari TEMPO. "Habis mereka malas," katanya mengulas. Tapi Sutara tidak termasuk di antara pemalas. Didorong oleh kepedihan masa kecil yang miskin, ia memberontak segala yang menjepit dan mengujinya. Akhir perjuangan yang ulet itu ia berhasil. Berhasil jadi transmigran yang baik, termasuk menambah jumlah anaknya jadi tiga. Setelah lewat 3 tahun, hidup Sutara makin enak. Kebunnya menghadiahinya sayur-mayur dan gaplek yang bisa membuahkan duit. "Hasil kebun itu dibeli oleh koperasi. Harganya tidak bisa merosot meskipun selagi panen," kata Sutara. Sementara makannya tiap hari muncul dari padi gunung yang tumbuh dengan baik. Kehidupan lumayan ini menyebabkan ia mampu bernafas lega. Lalu isterinya mulai diserang sakit rindu pada keluarga. Ia minta libur untuk kembali ke kampung asal, menjenguk keluarga. Lagipula memang saat untuk "unjuk gigi" sudah tiba. Kalau dulu ia bagai pelarian kumal dari desa, sekarang rumah tangga mereka tegak dan memiliki harga diri yang pantas. Seperti kita ketahui, banyak transmigran pengin kembali pulang menJenguk asal, hanya untuk memamerkan radio, kaset dan uang lebih yang dimilikinya setelah pindah tanah berpijak. Sutara mengerti kemauan isterinya. Tetapi ia bertangguh satu tahun. Janji ini tidak begitu memuaskan Tariah. Wanita itu mendesak-desak terus. Entah apa yang menyebabkan ia ngebet seperti itu. Akhir tahun 1976, wanita itu hamil muda. Ini alasan baik buat Sutara untuk membuat isterinya bersabar. Pertengahan 1977, lahirlah anak ketiga mereka itu, yang dinamakan Sumarni. Sutara masih ingin menunda 4 bulan lagi sebelum benar-benar memenuhi permintaan isterinya. Nasib yang malang mulai. Pada saat persiapan pulang sedang dirintis, isterinya sakit. Sakit keras. Sutara tidak tahu persis sakit apa. Ia hanya mengatakan batuk-batuk, tetapi gawat. Obat tradisionil dan dokter tidak berhasil menyembuhkan. Sutara sedih sekali, apalagi harus mengurus bayi. Tapi sedih tidak menyelesaikan apa-apa. Bahkan Tariah menutup mata -- tanggal 17 Desember 1977 .... Kembali Ke Indramayu Yah, apa daya. Nasi sudah menjadi bubur. Setelah bersedih, dan menyesal, akal Sutara bekerja lagi. Sebulan kemudian ia benar-benar ingin pulang -- untuk menitipkan sebagian anaknya kepada adiknya yang masih ada di Indramayu. Lalu dipinjamnya uang Mohammad Yakub, tetangganya, sebanyak Rp 200 ribu. Dengan uang itu ia naik pesawat terbang ke Surabaya. Sulit menerangkan bagaimana ia menikmati rasanya terbang. Semuanya akan lain, seandainya Tariah masih hidup .... Toh ia sibuk menyusun rencana, di atas harapan bahwa orangtuanya akan menolongnya menjaga anaknya. Harapan itu makin menyala tatkala ia meneruskan perjalanan dari Surabaya ke Indramayu. Di Ujung Gubang, di tanah asalnya, seluruh tubuhnya tiba-tiba lemas. Harapannya kempes, seperti balon yang pecah. Ternyata keluarganya sudah berserakan. Bapaknya baru saja meninggal diterkam banjir yang ngamuk bulan Desember 1977 itu. Ibunya sudah lebih dahulu meninggal diterkam sakit. Sementara adik-adiknya sudah lari ke Bengkulu mencari hidup baru. Tuhan, Tuhan. Jadi itu rupanya mengapa dulu Tariah ngebet ingin pulang. Tapi sekarang tak ada tempat buat Sutara untuk mengadu. Yang ada hanya Lurah Ujung Gubang, dengan cerita yang panjang, serta Kasiah -- tetangganya -- yang masih berbaik hati untuk menampungnya selama tinggal di Ujung Gubang. Di kantong Sutara masih ada Rp 100 ribu. Ia segera mengadakan selamatan untuk orangtuanya yang hanyut -- serta almarhumah isterinya sendiri. Selama tidak kurang dari 3 bulan kemudian ia menghabiskan rindunya pada desa di mana ia bermain-main sejak kecil. Tapi hidup tentu tidak untuk melepas rindu saja --apalagi Sutara petani biasa. Rencana dibulatkan lagi. Sutara memastikan, bahwa ia harus balik ke Mapanga lagi -- dengan seluruh anaknya. Kalau tidak, ongkos untuk ke Sulawesi akan habis dimakan rindu-merindu itu. Dengan harta kurang dari Rp 100 ribu, tanggal 30 Maret yang lalu Sutara bertolak dari Indramayu ke Jakarta. Ia mengambil nafas di terminal bus Pulo Gadung, gerbang timur Ibukota. Rencananya hari itu juga hendak melesat ke Sulawesi dari Kemayoran. Tapi karena hari masih malam, ia beristirahat di dekat sebuah warung kopi. Entah kenapa, anaknya yang paling kecil menangis-nangls terus. Sutara jadi capek sekali. Akhirnya ia pun tertidur. Inilah kesalahan yang terbesar yang dibuatnya. Seorang yang tertidur di terminal bus selalu harus menghadapi berbagai macam risiko, setelah terjaga. Dan ia lupa pada dalil ini. Kolong Jembatan Ketika fajar menyingsing, Sutara terbangun. Anak-anaknya bangun. Terminal itu sendiri sudah terlebih dahulu bangun. Sementara kopor, pakaian dan uang yang ada di dalamnya -- untuk pembeli tiket -- ternyata tak ada lagi. Gaib. Hilang. Sutara jadi pusing. Kepalanya berat. Tapi kopor dan uang itu tak kembali. Sutara menangis. Anak-anaknya pun membantunya menangis. Orang-orang hanya bisa memandang. Dan akhirnya ia pun sadar, ia tak bisa menangis terus. Ia harus bertahan. Maka dengan sisa uangnya (sedikit), ia mulai menjadi sebagian dari Jakarta lagi. Waktu malam tiba, ia tak tahu di mana harus berteduh. Setelah susah payah berpikir, akhirnya ia menyerah di bawah jembatan kereta api dekat bioskop Jaya, Jatinegara. Dibelinya sepotong plastik untuk alas. Dan hari itu ia berhenti jadi petani, dan memasuki hidup kelompok gelandangan. Toh para gelandangan itu tak heran pada kedatangannya. Setelah mendengarkan kisahnya, salah seorang di antara mereka memberi modal: sebuah tongkat jepitan puntung, dan sebuah kaleng. Lalu menyanggupi membeli puntung-puntung yang akan dikumpulkan Sutara dan anak-anaknya. Pagi esoknya, anaknya yang masih 11 bulan digendong. Yang dua lagi, digandeng. Dari bawah jembatan, mereka anak beranak bergerak ke timur, berputar sampai ke Jalan Raden Saleh jauh di barat. Malam hari mereka baru pulang -- artinya kembali ke jembatan itu. Itulah yang kemudian dilakukan setiap hari. Jam 10 malam ia biasanya baru tiba kembali, bersama ketiga anaknya yang lebih banyak menangis. Pendapatannya sehari, satu kaleng puntung, berharga Rp 100. Kurang sekali memang. Untung ia seringkali menjumpai pegawai kantor yang mengulurkan Rp 100 -- meskipun ia sungguh tidak mengemis. Tetapi hebat. Sutara termasuk hebat. Dalam tempo setengah bulan, ia berhasil menabung Rp 6 ribu. Uang itu disimpannya dalam kaleng yang selalu berada di dekat kepalanya. Ia merencanakan nanti toh akan tiba masanya naik kapal laut ke Mapanga. Untuk itulah ia berhemat setengah modar. Makannya diirit, sementara bayinya hanya diberi air putih. Tapi nasibnya memang sial. Seorang yang tak kenal kasihan, menyerobot hasil penghematan itu, sehingga kedudukan Sutara menjadi "nol" kembali. Tak berapa lama kemudian, ketika lewat di salah satu gereja di Jatinegara, ia mendapat hadiah selimut. Berkat hadiah ini, anaknya bisa tidur lebih nyenyak. Tapi, belum seminggu, selimut itu sudah disikat orang lagi. Tapi Sutara hanya menyalahkan diri sendiri. Ia, kalau tidur, memang benar-benar pulas dan terlena. Bagaimana tidak. Sambil ngincer puntung, ia harus menggendong dan menggamit anaknya di tengah kesibukan jalan yang seringkali edan. Capek kan? Nasib Sutara mungkin masih akan panjang sebagai penghuni kolong jembatan, kalau suatu kali anaknya tidak menangis panjang lebar di tepi jalan. Tuhan rupanya menyuruh anak-anaknya menangis di situ. Ketiga-tiganya menangis seperti koor. Akibatnya, seorang wartawan tertarik membidikkan lensa. Lantas mulai usil bertanya-tanya. Nah, tak lama kemudian di Harian Angkatan Bersenjata terpampang potret keluarga petani yang merosot jadi pengumpul puntung ini. Potret rupa-rupanya berbicara lebih banyak dari kenyataan. Beberapa hari saja, setelah potret dipasang, Sutara dicari orang (termasuk kawan-kawan kita dari majalah ini). Ia tidak akan dibiarkan lagi tinggal di kolong jembatan. Nasibnya harus mendapat perhatian. Untuk sementara, sejak 7 Juni yang lalu, ia ditampung di Jalan Jaksa. Direktorat Transmigrasi akan mengembalikannya ke Mapanga, tempat anak-anaknya dibesarkan dan tempat di mana ditanam jenazah ibu mereka, Tariah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus