MOHAMMAD Slamet tinggal di desa Sewulan, tak jauh dari kota
Madiun sebelah selatan. Berstatus duda, umurnya masih 55 tahun.
Ayah dari 4 orang anak ini tidak kaya. Rumah kecil saja tidak
kokoh bahkan gelap, seakan-akan cocok deugan suasana Kali Catur,
sungai kecil yang jadi tetangganya.
Rumah atau lebih tepat disebut pondok itu cuma mempunyai satu
ruangan saja. Di sudut yang lebih gelap, ada sebuah amben,
tempat tidur dari bambu. Di dekat pintu, ada sebuah meja kecil
dengan tiga buah kursi kayu yang tidak bisa dikatakan bagus.
Lantainya, lantai alam, dari tanah yang tidak rata pula.
Untung saja, dua orang anaknya sudah bekerja. Sehingga ladangnya
yang kecil itu, ditambah dengan penghasilan lainnya, duda anak
beranak itu bisa hidup. Pas saja. "Alhamdulillah," ujar Mohammad
Slamet, "kami masih bisa hidup." Karena rezeki yang didapatnya
selama ini, telah berhasil menyambung nyawanya.
Mutih Tiga Hari
Dan dia tidak mengeluh. Juga tidak ingin pindah profesi yang
memungkinkan rezekinya semakin bertambah. "Kerja saya sekarang
adalah melaksanakan pekerjaan turun temurun," katanya. Bapaknya
menurunkan keahlian ini kepadanya yang diterima secara turun
temurun. Dia sendiri, jika nanti habis usia, siap digantikan
anaknya yang ketiga. Sebagai apa?
Mohammad Slamet, adalah seorang empu yang mempunyai keahlian
membuat keris. Konon, di Indonesia kini, cuma tinggal empat
orang empu yang masih membuat keris spesial. Kata spesial di
sini maksudnya "keris, yang mempunyai isi," ujarnya. Selain
Slamet di desa Sewulan, dua orang ada di Yogya dan seorang yang
lain di Madura.
Makin sedikitnya jumlah empu di Indonesia segaris dengan
surutnya masa kejayaan kerajaan di Nusantara ini. "Pada zaman
dulu, ada tiga unsur yang tidak bisa dikesampingkan," kata empu
Slamet, "yaitu raja, nujum dan empu." Sebab katanya: "Kalau
tidak ada empu, kerajaan menjadi goyah. Ibarat manusia yang
hanya mempunyai raga, sukma tidak dimilikinya."
Empu Slamet sendiri mengaku dia tidak akan meneruskan pekerjaan
ini seandainya tidak ada unsur "mengemban tugas suci sebagai
empu." Sebab ditinjau dari segi ekonomi, hasil dari membuat
keris yang ada "isi" ini tidak menguntungkan. "Dan memang," kata
sang empu, "pekerjaan empu tidak bisa dikomersiilkan. Empu harus
jauh dari segala godaan, baik godaan wanita maupun harta."
Sebuah keris bisa dikerjakan empu Slamet selama sebulan. Dia
dibantu tiga orang asistennya untuk menempa besi di dapur
penempaan. Setelah keris memperoleh bentuk yang diinginkan,
Slamet harus memberi "isi" sesuai dengan pesanan. Biasanya dia
harus mutih selama tiga hari tiga malam. Artinya tiga hari tiga
malam dia harus makan beberapa kepal nasi putih tanpa lauk,
beberapa teguk air putih, tidak tidur dan harus bersemedi.
Jalak Ngore, Uruping Dimar
"Isi" yang sesuai dengan pesanan, bisa "diatur" oleh empu
Slamet. Ada yang "isi"nya berupa "kekuatan Majapahit", atau
"kekuatan Blambangan" atau "kekuatan Mataram". Slamet mengaku
bahwa pada hari-hari tertentu, dia bisa memanggil roh dari
masing-masing kekuatan itu, untuk kemudian dimasukkan ke dalam
keris pesanan tersebut. Soal di mana perbedaan masing-masing
kekuatan dan apa kegunaannya, empu Slamet keberatan
menjelaskannya. "Saya takut kena marah dari roh-roh tersebut,"
ujarnya.
Yang memesan keris tidak sering. Paling banyak sekali dalam dua
bulan. Ongkos pembuatan keris sama sekali tidak mahal. Apalah
artinya uang Rp 5.000 kalau anda mempunyai keris yang "isi"nya
bisa melempangkan hokkie anda? "Dan saya tidak mau mencari
kekayaan lewat keahlian saya ini," ujar empu Slamet. "Padahal,
sudah banyak orang yang kaya setelah memiliki keris yang saya
buat," tambahnya. Dan empu Slamet keberatan kalau menyebut
siapa-siapa saja pemesannya dan yang mana-mana telah berhasil
mendapat berkah hidupnya berkat keris tersebut.
Empu Slamet yang sudah membuat keris selama 36 tahun ini, bisa
juga dijadikan konsultan. Yaitu memberi nasehat sebaiknya keris
apa yang harus dimiliki seseorang. Tidak semua keris cocok untuk
semua orang. Jodo-jodoan. Karena itu, empu Slamet biasanya
menanyakan hari lahir, weton (hari lahir menurut perhitungan
kalender Jawa), pekerjaan, maksud memiliki keris tersebut. Kalau
interviu sudah komplit, barulah Slamet membikin keris yang
sesuai dengan si pemesan.
Seorang pegawai, biasanya lebih cocok kalau memiliki keris tanpa
luk (lekuk) yang disebut keris jalak ngore. Seorang pedagang
kalau ingin dagangannya laris, milikilah keris jangkung yang
berluk tiga. Yang profesinya jadi dukun, keris uruping dimar
yang luknya satu, katanya cocok. Para kiyai sebaiknya memiliki
keris sempono yang luknya sembilan, sedangkan petani agar
sawahnya subur, milikilah keris pendawa yang berluk lima.
Rupanya, semakin banyak luk keris, semakin besar tanggungjawab
pemiliknya. Misalnya seorang ahli nujum sebaiknya memiliki keris
buto ijo yang berluk tujuh. Petugas keamanan, membawa pestol
saja tidak cukup. Harus juga memiliki sebuah keris yang
mempunyai luk 11 buah dan kerisnya bernama sabuk inten. Kalau
anda jadi penjabat tinggi apalagi jadi menteri, milikilah
sebilah keris sengkelat kudu yang berluk 17. Pasti kursi menteri
lestari sampai seluruh kabinet ganti, bahkan mungkin diangkat
lagi.
Yang paling banyak luk-nya ialah keris setan kober (27 luk) dan
keris setan prayangan (29 luk). Yang memiliki keris ini, "pasti
dagangannya laris," kata Slamet meyakinkan, "dan para pembeli
pasti ketagihan." Tambah Slamet lagi: "Sayang, selama saya jadi
empu, belum pernah ada yang memesan keris berluk 27 dan 29 itu."
Paling yang dipesan keris sengkelat kudu (penjabat tinggi),
keris jangkung (untuk pedagang) dan sabuk inten (untuk penjaga
keamanan). Dia tetap rnerahasiakan siapa-siapa yang pernah
pesan, cuma mengatakan kota pemesan bertempat tinggal. Yaitu
Surabaya, Yogya dan Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini