DIPERHITUNGKAN sekitar 6000 remaja warganegara Indonesia belajar
di luar negeri. Sebagian terbesar menumpuk di negara tetangga
kita Singapura. Beberapa waktu yang lalu, selesai menemui
Presiden Suharto dalam rangka persiapan penyambutan PM Lee Kwan
Yew akhir bulan ini, Dubes Her Tasning menyebutkan jumlah mereka
mencapai 4000. Mereka tidak saja duduk di sekolah menengah, tapi
pun ada yang belajar di taman kanak-kanak.
Meskipun jumlah tadi relatif sedikit dibandingkan seluruh
pelajar yang ada, namun pemerintah beranggapan bahwa tiap warga
negaranya haruslah mencicipi sistim pendidikan nasional. Untuk
memanggil anak-anak itu kembali pulang dan mengikuti pelajaran
di sini saja 21 oktober 1976 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama
antara Menteri P & K dan Menteri Luar Negeri. Surat keputusan
itu selain menunjukkan ketetapan hati supaya semua warganegara
harus mengikuti sistim pendidikan nasional, dia juga memberi
batas waktu bahwa mereka semua sudah harus kembali pada tahun
1980.
Surat keputusan itu memberikan tenggang waktu yang cukup. Bagi
mereka yang duduk di sekolah menengah diberi waktu untuk
menyelesaikan jenjang pendidikan tersebut. Sedangkan yang duduk
di sekolah dasar diberikan tenggang waktu tiga tahun.
Menyambut peraturan tersebut sampai sekarang saban hari
rata-rata 10 orangtua murid yang bertamu ke Biro Hubungan
Luarnegeri P & K. Mereka datang unLuk "memutihkan" kedudukan
anak mereka, sebagai tanda persetujuan terhadap peraturan. Bahwa
anak mereka akan kembali sesuai dengan jadwal. Di Singapura
mereka akan segera melapor kepada pihak kedutaan Indonesia di
sana. Di antara para orang tua yang datang ke P & K itu ada juga
yang sedang mengurus kedudukan anaknya yang sedang belajar di
Penang. Jumlah pelajar Indonesia di negara bagian Malaysia ini
berjumlah sekitar 600 orang dan duduk di perguruan yang
mengajarkan bahasa Mandarin.
Pemanggilan pulang para pelajar dari luar negeri merupakan
langkah lanjut pemerintah, setelah melaksanakan sistim pembauran
terhadap sekolah-sekolah yang banyak keturunan "non-pri". Para
pejabat P & K cemas kalau-kalau mereka yang belajar di luar
negeri itu tidak bisa menyesuaikan diri di sini. "Loyalitas
terhadap negara pun bisa luntur kalau mereka menyerap pendidikan
asing," kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Prof. Darji Darmodihardjo.
Selain kecemasan terhadap "loyalitas", ada soal lain yang
nampaknya memang menyedot sejumlah devisa dari Indonesia. Untuk
tiap pelajar Kementerian Pendidikan Singapura mengenakan
kewajiban membayar sumbangan S$ 4000 untuk membantu pembangunan
sarana pendidikan di sana. Kemudian harus menyetor uang jaminan
S$ 1000, sebagai cadanan kalau-kalau satu hetika anak-anak itu
harus keluar dari Singapura. "Uang itu semua tak kembali lagi.
Coba hitung berapa jumlahnya 4000 pelajar kali sekian ribu
dollar. Bukankah itu devisa yang lumayan?!" kata seorang pejabat
tinggi P & K.
Pelajar Indonesia mulai mengalir ke Singapura dimulai sejak
tahun 1972 dan mencapai puncaknya pada tahun 1974-75.
"Kedatangan mereka sebelum tahun 1975 adalah melalui cara-cara
yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Mereka kebanyakan masuk ke Singapura sebagai turis biasa dan
kemudian mencari sekolah tanpa diketahui yang berwenang di
Indonesia," jawab Abdul Irsan, konsul di kedubes Indonesia di
Singapura kepada koresponden TEMPO Khoe Hak Liep.
Manfaat Untuk Singapura
Para orangtua murid, terutama WNI keturunan Tionghoa, nampaknya
masih tetap bersemangat untuk mengirimkan anak mereka menuntut
pelajaran di luar negeri, meskipun suasana seperti kata seorang
tua, sudah "membikin pusing untuk minta izin belajar ke luar
negeri." Di kantor Biro Hubungan Luar Negeri Departemen P & K
seorang lelaki Tionghoa menyatakan keinginannya untuk mengirim
anaknya ke Singapura, karena katanya di sana ongkos hidup hampir
sama dengan Jakarta. "Pelajaran bahasa Inggeris di sana bagus,
siapa tahu setelah pulang Inggeris anak saya bisa lancar,"
katanya jujur. Seorang laki-laki lain yang sedang menjenguk
anaknya di Singapura juga menyatakan alasan yang hampir sama.
"Anak saya telah les bahasa Inggeris selama 3 tahun di
Indonesia, tetapi tetap tidak dapat lancar bahasa Inggeris,
sedangkan kami mengharapkan dia menggantikan kedudukan saya
sebagai pimpinan perusahaan."
Alasan untuk memperoleh pendidikan bahasa Inggeris yang baik di
Singapura nampaknya tidak bisa diterima oleh pejabat P & K di
sini. Mereka beranggapan para pelajar itu hanya mau mendapat
pelajaran bahasa Mandarin di sana, karena di sini sudah
dihapuskan dari sekolah. Mungkin anggapan ini kurang tepat,
sebab di Jakarta orang masih memperoleh pelajaran Mandarin
dengan mengundang guru pribadi. Untuk tingkat dasar ongkosnya Rp
5000 per bulan, tiga kali seminggu. Rp 10.000 untuk tingkat
lanjut.
Pihak Singapura nampaknya diam-diam saja dalam melihat kemauan
Indonesia. Sebuah sumber di Singapura menyebutkan keengganan
pihak pemerintah di sana untuk memberikan daftar nama pelajar
Indonesia yang sedang belajar di negara pulau kecil itu.
Maklumlah, dengan keadaan menumpuknya pelajar Indonesia di sana
Singapura dapat manfaat. Paling sedikit dalam hal devisa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini