Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Irja, sudut patung barr terakhir

Seniman amerika, membuat patung tanpa wujud yang diberi nama proyek 4 sudut (pes). mempunyai 4 sudut terletak di pulau paskah di samudra pasifik afrika selatan, greenland di kutub utara dan irja. (sr)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM perkembangan yang paling akhir, seni rupa mengenal sebuah prinsip: dematerialisasi. Sekilas bisa membingungkan karena tak lagi pantas dikatakan seni rupa, karya tak lagi berwujud. Bukan lagi mata yang diandalkan untuk menikmati karya itu tapi pikiran dan imajinasi. Salah seorang seniman yang berkecimpung di dunia karya tak berwujud itu adalah David Barr. David Barr, sejak 1981 menarik perhatian para kritikus, dan kini juga bisa menarik publik Indonesia. Sejak tiga tahun yang lalu, ia menciptakan karyanya yang tanpa wujud, yang diberinya nama: Proyek Empat Sudut (PES). PES adalah sebuah patung ruang yang gigantik. Mempunyai empat sudut, yang terletak di -- sunguh-sunguh -- empat penjuru dunia: Pulau Paskah di Samudra Pasifik, Afrika Selatan, Greenland di Kutub Utara, dan -- nah -- Irian Jaya. Dibandingkan dengan sejumlah nama besar yang sudah bergaung di Indonesia, Barr belum terkenal. Masa berkaryanya juga belum lama: 15 tahun. Ia lulus dari Wayne State University -- dengan prestasi baik -- tahun 1977. Pada masa awal kariernya, dikenal sebagai pematung yang terpikat pada material kayu. Kini, ia "penganut" seni konseptual seni tanpa wujud, itulah. Sudah tentu, sesungguhnya karya Barr tak sebesar planet bumi. Namun, karena karya Barr memang cuma konsep, bagaimanapun besarnya tak jadi soal. Pada PES, konsep Barr mencatat "ruang" yang terjadi akibat penempatan empat pancang yang ditempatkan amat berjauhan. Catatan ruang ini sebenarnya sebuah eksperimentasi ruang yang secara teoritis sudah sangat dikenal di dunia seni rupa. Bahwa dua pancang yang sama akan membentuk ruang di tengahnya. Sekalipun dua pancang itu ditempatkan di dua tempat yang tak kelihatan saking jauhnya, ruang tetap terjadi sekali ini dikatakan imajiner. Namun karya Barr tidak sederhana. Ia tidak cuma mengklaim sesuatu ruang besar sesudah ia memasang empat pancang. Karyanya jauh lebih rumit dari itu. Penentuan empat titik sudut pada PES, tidak sembarangan. Yang utama, bila titik-titik sudut itu -- Pulau Paskah, Afrika Selatan, Greenland, dan Irian Jaya -- dihubungkan menembus bumi, terbentuklah tetrahedron (empat segitiga yang membentuk piramida sama sisi). Tetrahedron mempunyai macam-macam makna simbolik pada konsep Barr. Tetrahedron dalam kebudayaan Yunani dikenal sebagai simbol empat musim. Sementara dalam dunia ilmu pengetahuan adalah struktur atom karbon, salah satu substansi dasar planet bumi. Namun agaknya bukan cuma itu beban simbol tetrahedron. Kepada Salim Said, dari TEMPO di AS, Barr mengungkapkan, ia ingin tetrahedron yang dibuatnya jatuh ke empat tempat yang kurang dikenal di dunia Barat. Sudah tentu ini cukup sulit. Bila sebuah titik digeser, tetrahedron bisa berubah, sementara bila tetrahedronnya dipertahankan, titik sudutnya jatuh ke tempat yang tak dikehendaki. "Saya memerlukan enam bulan untuk melakukan perhitungan matematis, sebelum menentukan letak keempat penjuru yang saya pilih bagi proyek saya ini," ujar Barr. Pada konsep karyanya yang dimuat di CoEvolution Quarterly, Barr bicara lebih berat lagi. Keempat tempat PES, disebutkannya sebagai punya berbagai makna: cikal bakal kebudayaan, awal pembentukan benua dan gambaran perbandingan kebudayaan intelektual yang dua dimensi dan kebudayaan primitif yang tiga dimensi. Sebagian dari pendapatnya itu mestinya bukan omong kosong. Dalam penyusunan konsep PES, Barr dibantu seorang ahli geografi, Dr. John Nystuen. Keluarbiasaan PES tidak terletak pada pemikiran itu. Tapi pada usaha Barr menyelusuri tetrahedron di permukaan bumi yang meliputi jarak 6.464 mil (lebih dari 10 ribu km). Ini bagian utama PES: Barr menanamkam potongan marmar yang sama di empat sudut PES. Marmar itu berbentuk tetrahedron, yang sudut-sudutnya diarahkan dengan tepat ke sudut-sudut PES lainnya. Pada perjalanan Barr mencari sudur-sudut PES, terdapat kerumitan lain. Cuma perkiraan saja, sudut-sudut itu terletak di Pulau Paskah, Afrika Selatan, Greenland, dan Irian Jaya. Persisnya di mana ia sendiri belum tahu ketika berangkat. Yang diketahuinya hanya koordinat-koordinat empat titik sudut PES. Titik-titik ini masih harus diburu dengan sistem kerja kompas yang lumayan rumit. Dan siapa tahu, titik itu jatuh di dasar danau, jurang atau jantung gua. Sebelum menyelusuri rute tetrahedron Barr bersama rombongannya -- beberapa pematung, seorang penari balet dan seorang arsitek -- menyelenggarakan sebuah upacara di Machu Picchu, sebuah lokasi reruntuhan kebudayaan Inca di Amerika Selatan (Barr menyebut tempat ini Gerbang Tetrahedron). Dari tempat ini, baru Barr terbang ke Pulau Paskah di Samudra Pasifik -- tak jauh dari Machu Picchu. Pulau Paskah memang pulau misterius sampai kini. Pulau itu nyaris tak berpenduduk, dan hampir tak dikenal latar belakang kebudayaannya. Namun di sana terdapat sejumlah patung kepala raksasa yang terbuat dari batu -- menunjukkan di sana pernah ada kebudayaan. Pada 4 Januari 1981 David Barr berhasil menanamkan tetrahedron marmarnya di sebuah padang rumput, di Pulau Paskah. Penanaman lagi-lagi diikuti upacara. Dari sana, Barr dan rombongan menuju Afrika Selatan. Pancang di tempat ini dipasang 11 Januari 1981. Titik sudut PES di tempat ini jatuh di halaman rumah pribadi, tak jauh dari perumbangan intan terkenal Kimberley -- untung pemilik halaman memberi izin. Upacara penanaman sudah tentu menarik perhatian. Sampai-sampai walikota menghadiri upancara itu, kendati Barr yakin -- seperti diutarakannya pada Detroit News Magazine -- tak seorang pun mengerti apa yang dikerjakannya. Umumnya petani-petani Belanda -- Boer -- itu bengong, heran. Juli 1981 Barr menanam pancang ketiga di Greenland. Ini perjalanan paling sulit. Tak satu pun perusahaan penerbangan mau membawanya ke kutub utara itu. "Paling tidak dua tahun kami butuhkan untuk merancang perjalanan itu," ujar seorang ahli ekspedisi pada Barr. Toh ada juga pilot yang nekat. Seorang pilot berkebangsaan Kanada, bersedia mengantar Barr ke salah sebuah gunung es di Greenland, dengan sebuah pesawat udara kecil. Memperhitungkan medan yang sulit ini, Barr meniadakan upacara penanaman. Juga memperkecil rombongannya. Untung rombongan yang terdiri dari tiga orang itu selamat. Titik ditemukan, marmar ditanam, dan rombongan pun segera meninggalkan tempat penanaman diiringi badai salju yang lumayan dahsyat. Tiga pancang selesai dipasang, PE5 agak macet pada usaha penanaman pancang keempat (yang terakhir) di Irian Jaya. Indonesia tak segera memberi izin pada Barr. Dua tahun yang lalu Barr mengajukan permohonan, namun sampai sekarang belum berhasil. Toh, Barr optimistis. "Pekan silam dari Kedubes Amerika di Jakarta saya sudah mendapat kabar," kata Barr kepada Salim Said, "Pemerintah Indonesia perlu jaminan karya saya di Irian Jaya sifatnya sekadar simbolik." Dan jaminan, menurut Barr, sudah diberikan. Senator Michigan, Carl Levin, katanya ikut memberi jaminan. Kini proses perizinan itu sedang diproses Departemen Luar Negeri Indonesia. Mungkin dalam waktu dekat akan keluar, dan Barr bisa menyelesaikan karyanya. Dari Irian Jaya, rencananya, Barr akan menuju Jepang, membuat upacara penutupan di Taman Zen Ryoan-ji, Kyoto (Barr menyebutkan tempat ini sebagai Pintu Keluar Tetrahedron). Sesudah seluruh rangkaian ini selesai, David Barr merencanakan menulis semua proses PES dalam sebuah buku dengan judul yang sama. Memang, inilah bentuk umum seni konseptual. Proses dan pencatatan seluruh proses adalah bagian paling penting. Dengan membaca catatan itu, peminat atau pengamat bisa membayangkan sebuah karya. Namun yang bakal muncul dalam buku Barr sudah tentu bukan cuma laporan perjalanan. Di sana akan tercantum pula pikiran-pikiran Barr. Semacam eksplorasi intelektualistis yang muncul dalam proses penciptaan seluruh proyek. Eksplorasi intelektualistis pada karya Barr, juga membuat Barr sedikit berbeda dengan sejumlah seniman mutakhir yang mengolah ruang -- Javacheff Christo, misalnya. Ruang pada karya Christo terbilang "kongkret" dan mengikuti prinsip "ruang dan waktu" pada teori Dimensi ke-4. Sementara Barr cenderung berfilsafat dalam masalah ruang dan waktu. "Tanpa ruang dan waktu, tak akan mungkin kita bisa menciptakan karya-karya seni," katanya pada Salim Said. "Borobudur, bagi saya adalah bukti nyata dari karya seni yang secara jelas menghubungkan ruang dan waktu." Lewat eksplorasi itu pula, Barr sampai ke "dunia Timur". Kendati ia menghindar untuk mendiskusikan kesenian Timur, ia menyatakan sangat tertarik pada berbagai kesenian Timur, dari masa lalu maupun yang kini masih hidup. Kesenian Asmat di Irian Jaya, disebutkannya sebagai salah satu kekayaan seni rupa yang sangat memikat. Gabungan bermacam-macam pikiran pada "patung ruang" Barr, mungkin akan membuka horison baru. Khususnya di era strukturalisme yang percaya pada penggarapan ruang alam terbuka. Barr tak hanya mengolah ruang fisik, tapi mencoba menyuruk lebih dalam. Menyertakan struktur dasar -- susunan atom karbon -- dan kehidupan pada ruang itu, termasuk kehidupan dari masa lalu. Barr seolah-olah berada pada perbatasan antara praktek kesenian dan teori kesenian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus