DALAM perkembangan yang paling akhir, seni rupa mengenal sebuah
prinsip: dematerialisasi. Sekilas bisa membingungkan karena tak
lagi pantas dikatakan seni rupa, karya tak lagi berwujud. Bukan
lagi mata yang diandalkan untuk menikmati karya itu tapi pikiran
dan imajinasi. Salah seorang seniman yang berkecimpung di dunia
karya tak berwujud itu adalah David Barr.
David Barr, sejak 1981 menarik perhatian para kritikus, dan kini
juga bisa menarik publik Indonesia. Sejak tiga tahun yang lalu,
ia menciptakan karyanya yang tanpa wujud, yang diberinya nama:
Proyek Empat Sudut (PES).
PES adalah sebuah patung ruang yang gigantik. Mempunyai empat
sudut, yang terletak di -- sunguh-sunguh -- empat penjuru dunia:
Pulau Paskah di Samudra Pasifik, Afrika Selatan, Greenland di
Kutub Utara, dan -- nah -- Irian Jaya.
Dibandingkan dengan sejumlah nama besar yang sudah bergaung di
Indonesia, Barr belum terkenal. Masa berkaryanya juga belum
lama: 15 tahun. Ia lulus dari Wayne State University -- dengan
prestasi baik -- tahun 1977. Pada masa awal kariernya, dikenal
sebagai pematung yang terpikat pada material kayu. Kini, ia
"penganut" seni konseptual seni tanpa wujud, itulah.
Sudah tentu, sesungguhnya karya Barr tak sebesar planet bumi.
Namun, karena karya Barr memang cuma konsep, bagaimanapun
besarnya tak jadi soal. Pada PES, konsep Barr mencatat "ruang"
yang terjadi akibat penempatan empat pancang yang ditempatkan
amat berjauhan.
Catatan ruang ini sebenarnya sebuah eksperimentasi ruang yang
secara teoritis sudah sangat dikenal di dunia seni rupa. Bahwa
dua pancang yang sama akan membentuk ruang di tengahnya.
Sekalipun dua pancang itu ditempatkan di dua tempat yang tak
kelihatan saking jauhnya, ruang tetap terjadi sekali ini
dikatakan imajiner.
Namun karya Barr tidak sederhana. Ia tidak cuma mengklaim
sesuatu ruang besar sesudah ia memasang empat pancang. Karyanya
jauh lebih rumit dari itu.
Penentuan empat titik sudut pada PES, tidak sembarangan. Yang
utama, bila titik-titik sudut itu -- Pulau Paskah, Afrika
Selatan, Greenland, dan Irian Jaya -- dihubungkan menembus bumi,
terbentuklah tetrahedron (empat segitiga yang membentuk piramida
sama sisi).
Tetrahedron mempunyai macam-macam makna simbolik pada konsep
Barr. Tetrahedron dalam kebudayaan Yunani dikenal sebagai
simbol empat musim. Sementara dalam dunia ilmu pengetahuan
adalah struktur atom karbon, salah satu substansi dasar planet
bumi.
Namun agaknya bukan cuma itu beban simbol tetrahedron. Kepada
Salim Said, dari TEMPO di AS, Barr mengungkapkan, ia ingin
tetrahedron yang dibuatnya jatuh ke empat tempat yang kurang
dikenal di dunia Barat. Sudah tentu ini cukup sulit. Bila sebuah
titik digeser, tetrahedron bisa berubah, sementara bila
tetrahedronnya dipertahankan, titik sudutnya jatuh ke tempat
yang tak dikehendaki. "Saya memerlukan enam bulan untuk
melakukan perhitungan matematis, sebelum menentukan letak
keempat penjuru yang saya pilih bagi proyek saya ini," ujar
Barr.
Pada konsep karyanya yang dimuat di CoEvolution Quarterly, Barr
bicara lebih berat lagi. Keempat tempat PES, disebutkannya
sebagai punya berbagai makna: cikal bakal kebudayaan, awal
pembentukan benua dan gambaran perbandingan kebudayaan
intelektual yang dua dimensi dan kebudayaan primitif yang tiga
dimensi. Sebagian dari pendapatnya itu mestinya bukan omong
kosong. Dalam penyusunan konsep PES, Barr dibantu seorang ahli
geografi, Dr. John Nystuen.
Keluarbiasaan PES tidak terletak pada pemikiran itu. Tapi pada
usaha Barr menyelusuri tetrahedron di permukaan bumi yang
meliputi jarak 6.464 mil (lebih dari 10 ribu km). Ini bagian
utama PES: Barr menanamkam potongan marmar yang sama di empat
sudut PES. Marmar itu berbentuk tetrahedron, yang sudut-sudutnya
diarahkan dengan tepat ke sudut-sudut PES lainnya.
Pada perjalanan Barr mencari sudur-sudut PES, terdapat kerumitan
lain. Cuma perkiraan saja, sudut-sudut itu terletak di Pulau
Paskah, Afrika Selatan, Greenland, dan Irian Jaya. Persisnya di
mana ia sendiri belum tahu ketika berangkat. Yang diketahuinya
hanya koordinat-koordinat empat titik sudut PES. Titik-titik ini
masih harus diburu dengan sistem kerja kompas yang lumayan
rumit. Dan siapa tahu, titik itu jatuh di dasar danau, jurang
atau jantung gua.
Sebelum menyelusuri rute tetrahedron Barr bersama rombongannya
-- beberapa pematung, seorang penari balet dan seorang arsitek
-- menyelenggarakan sebuah upacara di Machu Picchu, sebuah
lokasi reruntuhan kebudayaan Inca di Amerika Selatan (Barr
menyebut tempat ini Gerbang Tetrahedron). Dari tempat ini, baru
Barr terbang ke Pulau Paskah di Samudra Pasifik -- tak jauh dari
Machu Picchu.
Pulau Paskah memang pulau misterius sampai kini. Pulau itu
nyaris tak berpenduduk, dan hampir tak dikenal latar belakang
kebudayaannya. Namun di sana terdapat sejumlah patung kepala
raksasa yang terbuat dari batu -- menunjukkan di sana pernah ada
kebudayaan.
Pada 4 Januari 1981 David Barr berhasil menanamkan tetrahedron
marmarnya di sebuah padang rumput, di Pulau Paskah. Penanaman
lagi-lagi diikuti upacara.
Dari sana, Barr dan rombongan menuju Afrika Selatan. Pancang di
tempat ini dipasang 11 Januari 1981. Titik sudut PES di tempat
ini jatuh di halaman rumah pribadi, tak jauh dari perumbangan
intan terkenal Kimberley -- untung pemilik halaman memberi izin.
Upacara penanaman sudah tentu menarik perhatian. Sampai-sampai
walikota menghadiri upancara itu, kendati Barr yakin -- seperti
diutarakannya pada Detroit News Magazine -- tak seorang pun
mengerti apa yang dikerjakannya. Umumnya petani-petani Belanda
-- Boer -- itu bengong, heran.
Juli 1981 Barr menanam pancang ketiga di Greenland. Ini
perjalanan paling sulit. Tak satu pun perusahaan penerbangan mau
membawanya ke kutub utara itu. "Paling tidak dua tahun kami
butuhkan untuk merancang perjalanan itu," ujar seorang ahli
ekspedisi pada Barr. Toh ada juga pilot yang nekat. Seorang
pilot berkebangsaan Kanada, bersedia mengantar Barr ke salah
sebuah gunung es di Greenland, dengan sebuah pesawat udara
kecil.
Memperhitungkan medan yang sulit ini, Barr meniadakan upacara
penanaman. Juga memperkecil rombongannya. Untung rombongan yang
terdiri dari tiga orang itu selamat. Titik ditemukan, marmar
ditanam, dan rombongan pun segera meninggalkan tempat penanaman
diiringi badai salju yang lumayan dahsyat.
Tiga pancang selesai dipasang, PE5 agak macet pada usaha
penanaman pancang keempat (yang terakhir) di Irian Jaya.
Indonesia tak segera memberi izin pada Barr. Dua tahun yang lalu
Barr mengajukan permohonan, namun sampai sekarang belum
berhasil. Toh, Barr optimistis. "Pekan silam dari Kedubes
Amerika di Jakarta saya sudah mendapat kabar," kata Barr kepada
Salim Said, "Pemerintah Indonesia perlu jaminan karya saya di
Irian Jaya sifatnya sekadar simbolik." Dan jaminan, menurut
Barr, sudah diberikan. Senator Michigan, Carl Levin, katanya
ikut memberi jaminan. Kini proses perizinan itu sedang diproses
Departemen Luar Negeri Indonesia. Mungkin dalam waktu dekat akan
keluar, dan Barr bisa menyelesaikan karyanya.
Dari Irian Jaya, rencananya, Barr akan menuju Jepang, membuat
upacara penutupan di Taman Zen Ryoan-ji, Kyoto (Barr menyebutkan
tempat ini sebagai Pintu Keluar Tetrahedron).
Sesudah seluruh rangkaian ini selesai, David Barr merencanakan
menulis semua proses PES dalam sebuah buku dengan judul yang
sama. Memang, inilah bentuk umum seni konseptual. Proses dan
pencatatan seluruh proses adalah bagian paling penting. Dengan
membaca catatan itu, peminat atau pengamat bisa membayangkan
sebuah karya.
Namun yang bakal muncul dalam buku Barr sudah tentu bukan cuma
laporan perjalanan. Di sana akan tercantum pula pikiran-pikiran
Barr. Semacam eksplorasi intelektualistis yang muncul dalam
proses penciptaan seluruh proyek.
Eksplorasi intelektualistis pada karya Barr, juga membuat Barr
sedikit berbeda dengan sejumlah seniman mutakhir yang mengolah
ruang -- Javacheff Christo, misalnya. Ruang pada karya Christo
terbilang "kongkret" dan mengikuti prinsip "ruang dan waktu"
pada teori Dimensi ke-4. Sementara Barr cenderung berfilsafat
dalam masalah ruang dan waktu. "Tanpa ruang dan waktu, tak akan
mungkin kita bisa menciptakan karya-karya seni," katanya pada
Salim Said. "Borobudur, bagi saya adalah bukti nyata dari karya
seni yang secara jelas menghubungkan ruang dan waktu."
Lewat eksplorasi itu pula, Barr sampai ke "dunia Timur". Kendati
ia menghindar untuk mendiskusikan kesenian Timur, ia menyatakan
sangat tertarik pada berbagai kesenian Timur, dari masa lalu
maupun yang kini masih hidup. Kesenian Asmat di Irian Jaya,
disebutkannya sebagai salah satu kekayaan seni rupa yang sangat
memikat.
Gabungan bermacam-macam pikiran pada "patung ruang" Barr,
mungkin akan membuka horison baru. Khususnya di era
strukturalisme yang percaya pada penggarapan ruang alam terbuka.
Barr tak hanya mengolah ruang fisik, tapi mencoba menyuruk lebih
dalam. Menyertakan struktur dasar -- susunan atom karbon -- dan
kehidupan pada ruang itu, termasuk kehidupan dari masa lalu.
Barr seolah-olah berada pada perbatasan antara praktek kesenian
dan teori kesenian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini