Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Sarah Lahir Dua Kali

Janin penderita hydrocephalus dioperasi ketika ia masih dalam rahim. Dua bulan usai operasi, ia lahir dengan selamat. Eksperimen semacam itu telah sukses pada 76 bayi.


30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA usia seberapa dini seseorang bisa menjalani operasi? Sarah Marie Switzer melakoninya bahkan sebelum ia lahir ke dunia. Ia masih berupa janin berusia 21 minggu ketika pisau operasi menyayat tubuhnya. Demi menyelamatkannya dari kemungkinan cacat, Sarah dipaksa keluar dari rahim nyaman sang ibu, Trish Switzer. Tulang belakang Sarah, yang belum sempurna terbentuk, dioperasi sebuah tim dokter Universitas Kedokteran Vanderbilt, Nashville, Amerika Serikat.

Dari rahim yang diambil keluar dan diletakkan di atas perut sang ibu, dengan hati-hati tubuh Sarah dikeluarkan. Operasi terhadap Sarah dilakukan setelah cairan rahim (amniotic) disedot keluar, agar tak menghalangi proses pembedahan. Setelah 77 menit pembedahan, tubuh mungil Sarah dikembalikan ke dalam gua garba Trish. Operasi selesai. Para dokter rampung ''menjahit" beberapa lubang tidak normal yang ada pada tulang belakang (spinal cord) Sarah. Cairan rahim yang sempat dikeluarkan dimasukkan ke tempat semula. Sayatan pada kantong rahim dan perut Trish pun ditutup kembali.

Proses menakjubkan yang terjadi akhir tahun lalu itu diliput berbagai media. Majalah Live edisi akhir tahun, misalnya, menulis komplet dengan gambar close-up rahim yang sedang dibedah. Operasi ini juga menyulut beragam perdebatan. Misalnya, sejak kapan hidup yang sebenarnya dimulai sehingga dokter bisa campur tangan. Lalu, seberapa jauh seorang bayi yang lahir cacat diterima sebagai kehendak Tuhan. Komentar keras juga masuk ke situs Vanderbilt. ''Saya tak ingin ibuku mempertaruhkan nyawaku," kata seorang pembaca, ''hanya untuk membuatku `sempurna'."

Risiko kematian bayi yang dibedah dalam rahim memang tinggi, terutama karena teknik ini masih sarat unsur percobaan. Bagi Sarah, syukurlah, dua bulan kemudian setelah menjalani operasi ia lahir ke dunia dengan selamat. Kali ini tidak sekadar melongok dunia luar. Meskipun lahir prematur, 28 minggu, kondisi bayi ini cukup sehat. Memang, berat dan ukuran putri pasangan Trish dan Mike Switzer ini tergolong di bawah normal. Namun, Sarah terhindar dari hydrocephalus atau kelebihan cairan otak.

Ketika masih dalam rahim ibunya, Sarah dipastikan menderita kelebihan cairan otak, yang membuat kepalanya membesar. Selama tiga bulan awal usia kehamilan, tampak dari deteksi ultrasonografi (USG), pada rongga tulang belakang Sarah terdapat luka (lesi), yang menandai adanya suatu kelainan yang disebut spina bifida. Padahal, rongga tulang belakang adalah tempat lalu lintas cairan yang dihasilkan otak (liquor cerebellum) ke seluruh tubuh. Nah, luka pada rongga tulang belakang ini membuat lalu lintas cairan terganggu. Sebagian cairan justru mengendap di otak bagian belakang, kondisi yang disebut hydrocephalus. Buntutnya, beberapa fungsi saraf motorik terganggu. Alhasil, janin dengan kelainan seperti ini kelak akan lahir dan tumbuh sebagai penyandang cacat kelumpuhan, keterbelakangan mental, atau meninggal pada usia dini.

Noel Tulipan, ahli bedah saraf, dan Joseph Bruner, ahli kandungan, berupaya mencari terobosan baru. Dua dokter dari Universitas Vanderbilt ini bereksperimen membenahi tulang belakang janin sejak masih di dalam rahim. Tiga tahun lalu, eksperimen digelar dan sampai kini sudah melibatkan 76 pasien yang datang dari seluruh Amerika.

Memang, terlalu dini untuk menyebut seluruh eksperimen tim Vanderbilt ini cukup sukses. ''Perkembangan para bayi harus diikuti sampai beberapa tahun mendatang," kata Bruner. Sejauh ini tim Tulipan-Bruner mencatat adanya kegagalan, dua bayi meninggal dan dua lainnya terpaksa dilahirkan prematur. Namun, 72 bayi lainnya cukup sehat. Dengan catatan keberhasilan seperti itu, tak mengherankan bila orang tua yang berminat melamar ikut serta dalam eksperimen ini terus bertambah dari seluruh dunia.

Di Indonesia, kelainan spina bifida bukannya tak ada. Namun, keterbatasan teknologi belum memungkinkan ada rumah sakit yang mengikuti eksperimen Tulipan-Bruner. Lagipula, dengan tingkat kejadian satu di antara seribu kelahiran, kasus spina bifida belum terlalu mendapat perhatian. Kalaupun itu terjadi, ''Para dokter umumnya angkat tangan," kata Natsir Nugroho, dokter spesialis kandungan dan kebidanan yang berpraktek di RS Islam Jakarta. Seperti juga di luar negeri, para dokter lebih menganjurkan aborsi bila ditemukan kelainan spina bifida. ''Ketimbang hidup si bayi nantinya penuh beban. Secara medis, ini bisa dibenarkan," kata Natsir.

Tentu saja, Natsir berharap, eksperimen Tulipan-Bruner segera bisa disempurnakan. Dengan begitu, mungkin akan banyak Sarah lain yang bisa diselamatkan.

Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum