Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imam B. Prasodjo
Dosen FISIP UI
SEBAGAI pendekar politik, agaknya jurus ''kecilkan lawan, besarkan badan sendiri" menjadi bagian senjata andalan Gus Dur dalam menghadapi Poros Tengah. Tablig akbar di Silang Monas, 7 Januari 2000, sebagai kepedulian atas tragedi Halmahera, ternyata dilihat Gus Dur sebagai pameran kekuatan kelompok kecil untuk memaksa Gus Dur mundur dari jabatan presiden. Dengan ringan Gus Dur berkata, ''Mereka mengaku berhasil mengumpulkan sejuta umat, tapi yang datang enggak ada 20 ribu." Kemudian, Gus Dur juga berkomentar tentang jumlah korban kerusuhan di Halmahera, yang menurut dia diberitakan berlebihan. Ucapan Gus Dur mengingatkan kita pada debat angka yang terjadi saat warga kulit hitam melakukan The Million Man March, di Washington, DC, 16 Oktober 1995, yang oleh komentator kulit putih jumlahnya dikorting menjadi jauh di bawah satu juta, sehingga mengundang reaksi keras warga kulit hitam.
Namun, di balik ketegangan hubungan antara Gus Dur dan Poros Tengah, dalam Tablig Akbar Silang Monas itu terdapat peristiwa yang luput dari perhatian banyak orang, yaitu tercetusnya deklarasi lisan dari para tokoh yang berorasi dalam pertemuan itu. Para tokoh seperti Amien Rais (PAN), Hamzah Haz (PPP), Didin Hafiduddin (PK), dan Ahmad Sumargono (PBB) bersepakat mengupayakan peleburan partai-partai Islam/bernuansa Islam ke dalam satu partai Islam saja. Walaupun kesepakatan ini bisa merupakan buah impian lama, ini bisa terjadi karena dipicu oleh ucapan Gus Dur sendiri bahwa ''di masa mendatang, Indonesia hanya akan punya dua partai, yaitu PKB dan PDI Perjuangan" (Kompas, 10 Januari 2000). Dari pengalaman sebelumnya, kekuatan politik Islam yang terfragmentasi cenderung mudah bersatu bila pemimpinnya menjumpai musuh bersama (common enemy). Sebagai contoh, terkejutnya politisi Islam atas kemenangan telak PDI-P dalam pemilu tahun lalu ataupun dirasakannya sikap arogan sejumlah tokoh PDI-P terbukti efektif merekatkan mereka dalam wadah Poros Tengah. Contoh ini seperti hendak mengukuhkan teori Lewis Coser (1956), yang menyinyalir bahwa dalam suatu kelompok yang memiliki kohesi longgar, adanya konflik dengan pihak luar dapat berfungsi integratif. Namun, apakah terciptanya kohesi internal partai-partai Islam harus bergantung pada adanya musuh bersama? Padahal, kesatuan yang dibentuk atas dasar musuh bersama akan menghasilkan kohesi kelompok yang tidak stabil karena kerekatan yang tercipta lebih dilandaskan pada emosi fluktuatif, yaitu kuat-lemahnya kohesi kelompok bergantung pada naik-turunnya ancaman luar yang dirasakan bersama. Kohesi yang seharusnya dibangun adalah kohesi kelompok yang stabil, yang lebih didasarkan pada interdependensi fungsional (solidaritas organis), bukan solidaritas emosional. Kemudian, pertanyaan kedua mengantarkan pada pemahaman bahwa peleburan partai-partai Islam memiliki kendala yang tidak kecil. Debat masalah asas partai, misalnya, antara para pendiri PAN yang menghendaki partainya bersifat inklusif (terbuka) dan para tokoh PBB serta PK yang ingin tegas-tegas berasaskan Islam, agaknya, tak begitu saja bisa diakali dengan rumusan redaksional. Upaya Amien Rais memperkenalkan asas ''iman dan takwa" belum tentu mudah diterima. Tantangan lebih sulit tertumpu pada pertanyaan seberapa jauh tokoh partai bersedia kehilangan identitas, kebanggaan, dan peran historis terhadap wadah partainya masing-masing bila partai-partai itu harus dilebur. Juga ada masalah bila peleburan terkait dengan penyusutan jabatan, yang mem-''PHK"-kan para aktivis partai. Atas dasar pertimbangan ini, format yang lebih realistis bila kekuatan partai-partai Islam hendak dibangun adalah belum (tidak) perlu melakukan peleburan. Yang perlu segera dijajaki adalah membentuk semacam badan kerja sama (collegiate body) dengan salah satu tujuan utama membentuk kepemimpinan bersama (collective leadership) yang mekanisme kepemimpinannya diatur oleh aturan-aturan baku yang disepakati bersama. Dengan format semacam ini, partai-partai yang saat ini ada tidak harus dibubarkan. Dalam pemilu mendatang, tiap-tiap partai tinggal memfokuskan konstituen utamanya, seperti PK di kampus-kampus, PAN di kalangan kaum Islam modernis kota, PPP pada basis massa perbatasan Islam modern dan tradisional, dan PBB pada massa ahli waris emosi dan cita-cita Masyumi. Bila hal ini benar-benar dapat terlaksana, ucapan Gus Dur bahwa di masa mendatang Indonesia hanya akan punya dua partai, yaitu PKB dan PDI-P, perlu direvisi. Yang lebih pas, barangkali, Indonesia akan memiliki tiga kekuatan partai politik dominan, yakni PDI-P di sebelah kiri, partai-partai Islam yang tergabung dalam collegiate body di sebelah kanan, dan PKB di tengah. Itu pun kalau Golkar secara bertahap mengalami eksodus politik, baik ke kanan maupun ke kiri. Bukan begitu, Gus? Ah, gitu saja kok repot-repot. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |