UNTUK menolong masyarakat dari kungkungan berbagai macam
penyakit, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melontarkan konsep
primary health care yang di Indonesia dikenal sebagai pelayanan
kesehatan desa. Organisasi kesehatan sedunia itu, paling tidak
United Nations Environment Programme, memandang Vietnam sebagai
contoh cemerlang. Farthscan, berkala yang diterbitkan lembaga
lingkungan dari PBB, baru-baru ini memuat tulisan redaktur Anil
Agarwal mengenai kemajuan kesehatan yang dicapai negara yang
baru keluar dari peperangan tersebut.
Vietnam merupakan negara satu-satunya yang bisa mengalahkan
Amerika Serikat, sebagaimana diakui Presiden Carter. Semua orang
sudah tahu belaka mengenai itu. Tapi belum banyak yang tahu
tentang bagaimana negara itu mengalahkan musuh dalam selimut
berupa macam ragam penyakit yang juga menyerang negara-negara
sedang berkembang lainnya.
Bertrand Russell Peace Foundation baru-baru ini menerbitkan
serangkaian tulisan mengenai sistim pelayanan kesehatan di sana.
Karangan itu ditulis oleh orang-orang Vietnam Utara tentang
bagaimana negara mereka memenuhi kebutuhan pengobatan dalam masa
peperangan yang lampau.
Karangan itu sesungguhnya amat menarik buat negara lain,
terutama negara sedang berkembang. Masyarakat ikut serta dalam
sistim pelayanan yang dijalankan. Di situ obat-obatan
tradisionil dipadukan dengan kedokteran barat.
Dengan metode ini para pejabat kesehatan Vietnam yang menulis
karangan itu menyebutkan pula tentang penemuan mereka. Yaitu
sebuah vaksin TBC yang baru, yang tidak memerlukan lemari
pendingin, seperti yang dikenal oleh bagian terbesar penduduk
dunia.
2 Minggu
Ketika Ho Chi Minh memproklamirkan kemerdekaan Vietnam dari
Perancis pada tahun 1945, jutaan orang Vietnam menderita
malaria, TBC, lepra, tipus dan kolera. Trakoma yang bisa
mengakibatkan kebutaan meluas. Sedang cacing tambang boleh
dikatakan berada di hampir setiap perut orang di sana.
Sekarang kesengsaraan itu dikabarkan sudah berobah. Dalam tiga
puluh tahun mereka sudah dapat membasmi malaria, polio, tipus,
batuk menahun, dipteri dan kolera. Angka kematian anak-anak
tinggal 3,3%.
Dalam melancarkan program perbaikan kesehatan, Vietnam
menghadapi dua pilihan: mengandalkan kemampuan sendiri atau
minta bantuan negara maju. "Kami telah memilih jalan pertama,
mengandalkan kekuatan sendiri," kata Dr Pham Ngoc Thach, menteri
kesehatan Vietnam Utara. "Itu merupakan pilihan politis dan
bukan berdasarkan pandangan medis," sambungnya pula.
Agak berbau slogan memang, tapi pengalaman membenarkan dr Pham.
Dalam sistim pelayanan kesehatan barat misalnya, untuk
mengatasi trakoma, seorang harus belajar bertahun di
universitas. Dalam sistem Vietnam, orang awam pun bisa
mengobatinya. "Setelah mengikuti kursus singkat, mereka bisa
menjadi perawat yang terampil dan dapat memberikan pelayanan
untuk penderita malaria, trakoma, TBC," kata pejabat kesehatan
Vietnam itu. Ribuan operasi untuk penyakit entropion (trakoma
dengan pelupuk mata membalik ke dalam) - telah dilaksanakan oleh
para petugas kesehatan yang hanya menjalani latihan 2 atau 3
minggu.
Rumahsakit sebagai model pelayanan kesehatan di barat, menurut
orang Vietnam tidak akan menyembuhkan penyakit sampai ke
akarnya. Tak ada jaminan orang yang sudah sembuh tak akan
terserang sakit lagi. Karena itu pribahasa "pencegahan lebih
baik dari penyembuhan" jadi dasar kebijaksanaan kesehatan di
sana. Dan itu berarti pengerahan rakyat untuk mengawasi
tingkah-laku yang jorok. Melalui penelitian yang melelahkan
orang-orang Vietnam berhasil merombak total kebiasaan buang
hajat rakyatnya, dan memperkenalkan jamban sehat. Di jamban
inilah berdiri pelayanan kesehatan mereka.
Kaki Gajah
Peperangan yang merobek-robek negara itu ternyata membawa
kearifan lain, berupa kemungkinan terlaksananya desentralisasi
pelayanan kesehatan. Perang terhadap Jepang dan Perancis
dilancarkan dari hutan. Keadaan yang memaksa ini membuat mereka
terlatih dalam menggunakan obat tradisionil yang memang sudah
ada. Pemboman berat yang dilakukan Angkatan Udara Amerika
Serikat pada tahun enam puluh dan tujuhpuluhan membuat pelayanan
kesehatan jadi menyebar ke mana-mana. Tumbuhlah satuan-satuan
tenaga kesehatan yang melibatkan hampir semua orang. Peperangan
itu ula yang menciptakan keahlian bedah.
Tiap petugas kesehatan termasuk ahli TBC, ahli penyakit dalam,
ahli penyakit anak-anak dan mata, adalah juga seorang ahli
bedah. Sampai tahun 1964, hampir semua operasi dilaksanakan di
kota-kota propinsi. Tapi sejak 1966, 90% dari desa-desa di sana
membangun pusat kesehatan mereka, di mana operasi terkadang
dilaksanakan di kamar bawah tanah. Atau kalau memang aman,
dilaksanakan di gubuk-gubuk dengan beratapkan payung parasut.
Yang menarik nampaknya adalah pengalaman mereka dengan TBC.
Orangorang Vietnam menemukan bahwa vaksin BCG kuman hidup sangat
sulit dipakai untuk menjangkau penduduk yang luas. Karena
membutuhkan alat pendingin. Meskipun pada tahun 1955, WHO
meninggalkan usaha untuk membuat vaksin BCG kuman mati, pejabat
Vietnam tetap meneruskan penelitian mereka. Akhirnya tahun 1960
mereka tahu, bahwa jika vaksin BCG itu disimpan dalam suhu 43ø C,
ia tetap memberikan kekebalan sama seperti vaksin hidup. Sampai
1977, sekitar 20 juta orang mendapat manfaat dari vaksin mati
ini.
Tentang penyembuhan TBC, lain lagi cerita Vietnam. Kombinasi
INH, PAS dan streptomycin memang mujarab. Tapi mahal. Dan harus
diawasi oleh seorang dokter tingkat desa, karena streptomycin
bisa mengakibatkan tuli. Maka mereka meninggalkan streptomycin
dan PAS. Mereka mengkombinasikan INH dengan injeksi yang terbuat
dari sari ariari. Obat ini ternyata manjur untuk rupa-rupa
infeksi selama perang melawan Perancis dulu.
Tapi kombinasi ala Vietnam ini tidak berguna untuk TBC. Sampai
pada suatu ketika seqrang dukun menganjurkan penyuntikan dengan
sari ari-ari persis pada titik akupuntur dalam pengobatan
penyakit paru-paru. Metode ini menunjukkan hasil dan
dokter-dokter desa sejak saat itu memakainya secara massal.
Mobilisasi kemampuan masyarakat dan cambuk peperangan merupakan
dasar dari kemajuan pelayanan kesehatan di Vietnam. Tapi apakah
mendapatkan metode yang sama, negara Asia, Afrika dan Amerika
Latin yang menderita 200 juta demam keong schistosomiasis, 200
juta malariaan, 500 juta trakoma, 300 juta kaki gajah, 20 juta
lepra dan 50 juta TBC-an harus lebih dulu menderita di bawah
kekejaman perang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini