Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Burung enggang dari dayak kenyah

Misi kesenian kutai mengadakan pertunjukan di tim. salah satu nomor yang menarik adalah tari enggang perdamaian dari suku dayak kenyah yang menghuni pedalaman kelimantan timur. (tr)

4 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH-satu nomor yang menarik dari penampilan Misi Kesenian Kutai di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, 18 Januari 1978, adalah Tari Enggang Perdamaian Suku Dayak Kenyah yang menghuni pedalaman Kalimantan Timur. Sayang sekali, banyak warga yang tak sempat menikmatinya. Kedatangan misi ini memang kelewat mendadak, sehingga TIM tak sempat mencantumkannya dalam kalender acara. Ingatan orang akan tari-tarian Mentawai belum lagi memudar, dan sekali lagi kita dibuat terpana oleh tontonan dalam bentuknya yang awal. Walaupun banyak hal berbeda, keduanya adalah produk masyarakat yang setaraf. Dalam satu kebudayaan yang masih tertutup, kesenian--lebih-lebih tari-merupakan pernyataan religius dan magis yang mengatur perkara kehidupan sehari-hari. Lewat tari, spirit kebajikan dapat diterima dengan baik, hujan dapat menari-nari keluar dari langit dan jagung menyembul dari tanah. Masa kanak-kanak menari ke kedewasaan, sakit bergerak ke kesembuhan, kematian ke ketenangan, sedang mangsa dapat ditangkap, musuh dapat dikalahkan dan permusuhan antar suku dapat didamaikan. Enggang Pembawa Damai Yang terakhir inilah yang menjadi tema Tari Enggang Perdamaian, di mana digambarkan upacara perdamaian dua lepok atau anak suku yang berperang. Menurut keterangan Zaelani Idris, pimpinan rombongan yang lulusan Akademi Tari LPKJ, hampir saja nomor ini tak bisa dibawa ke Jakarta. Karena saudara-saudara dari pedalaman ini baru bergabung tengah malam sebelum rombongan pagi harinya meninggalkan Tenggarong, sehingga nomor ini belum sempat ditata. Tetapi rupanya hal ini justru sebuah keuntungan: kita bisa melihat penampilan yang lugas, apa adanya. Fragmen didahului dengan Kancet Pepatay, sekerat adegan tari perang oleh dua penari lelaki dengan pakaian perang yang sangat menarik. Keduanya memegang mandau di tangan kanan dan perisai kayu panjang di tangan kiri. Walaupun kedua mandau hampir tidak pernah beradu, suasana ngeri hadir di sana. Kedua perisailah yang lebih sering berbentur. Usia mereka yang cukup lanjut ternyata tak menghalangi gerakan yang ringan, merendah berombak, diseling loncatan indah. Kemudian datanglah iring-iringan membawa seekor burung Enggang, yang rupanya merupakan totem Suku Dayak Kenyah, sebagai lambang perdamaian abadi. Diikuti sebilah tombak merah lambang kekuasaan, seutas rantai lambang persatuan dan sebuah gong--di atas mana kemudian seorang penari menarikan Kancet Teweg atau Tari Gong, sebagai lambang adat leluhur suku yang perlu dipelihara. Sebelumnya, sebagai nomor terpisah, telah pula ditampilkan Tari Enggang Terang yang dibawakan belasan gadis. Gerak mereka sangat sederhana, dengan ayunan tubuh dan kedua tangan yang jemarinya memegangi seikat bulu enggang. Walau sederhana, gerakan benar-benar membawa imaji kita kepada sekawanan burung enggang yang melayang-layang di angkasa. Kostum cukup menarik. Kain berikut baju hitam tanpa lengan dihias manikmanik aneka ragam, dengan disain khas Kalimantan Timur. Tubuh dan ikat kepala tak lupa dihias taring-taring harimau pohon (macan tutul) yang diatur cukup manis. Agaknya kostum begini sudah agak sulit diproduksi, sehingga beberapa penari nampak telah "inemperbaharui" kostum mereka dengan payet-payet keemasan yang kelewat mewah dan terasa agak berlebihan. Tarian sejenis ini agak sering kita lihat di Ibukota. Sekalipun demikian ada perbedaan yang menonjol. Di Jakarta, tarian sederhana ini biasa disajikan dengan bubuhan sunggingan senyum serta goyang tubuh yang memikat - hal yang ternyata tak ditemui pada bentuknya yang asli. Inilah rupanya yang mendorong Bupati Kutai drs H. Achmad Dahlan untuk berkeras mengirimkan rombongan ini ke Ibukota. Beliau merasa sering dikecewakan oleh tari-tarian di layar televisi, sehingga dirasa perlu memperlihatkan yang asli. Patut dihargai. Nomor lain yang cukup menarik adalah "ensembel" Jatung Uang. Alat musik sejenis gambang, terbuat dari kayu benua, sejenis meranti, terdiri dari beberapa bilah yang dirangkai dengan dua utas tali, kemudian direntangkan antara tubuh dan kedua telapak kaki pemain yang duduk dengan kedua kaki lurus ke depan. Sangat sederhana dan cukup menarik. Melayu "Tangan Kedua" Sebagai sebuah misi yang mewakili sebuah wilayah, terasa benar niat rombongan untuk menampilkan segenap yang ada di kawasan bersangkutan. Ini nampak dari dua golongan kesenian yang ditampilkannya. Pertama kesenian orang pedalaman, kedua kesenian orang Kutai Pessir yang pada dasarnya "ringan-ringan saja". Nampak dari beberapa nomor seperti Jepen Jejer Tungku Jepen Buluh dan Bejamuk, di mana pengaruh Melayunya amat sangat terasa peranannya lebih sebagai hiburan yang sering dilakukan dalam upacara perkawinan dan pesta di kampung, di samping sebagai sarana kontak sosial terutama Bejamuk yang mulanya merupakan arena muda-mudi untuk menemukan jodoh. Lebih dari itu tidak banyak menyapa lubuk hati kita, apa lagi gaya Melayunya sudah tangan kedua. Adapun nomor lerakhir, Tari Cantar dari Suku Dayak Benua yang menggambarkan upacara menyongsong para pahlawan yang baru pulang dari medan perang, memang tidak semenarik Tari Enggang Perdamaian. Sekalipun demikian punya kemungkinan ditata lebih baik. Terutama karena sifatnya yang lebih menonjolkan kebersamaan. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus