SALAH-satu nomor yang menarik dari penampilan Misi Kesenian
Kutai di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, 18 Januari 1978,
adalah Tari Enggang Perdamaian Suku Dayak Kenyah yang menghuni
pedalaman Kalimantan Timur. Sayang sekali, banyak warga yang tak
sempat menikmatinya. Kedatangan misi ini memang kelewat
mendadak, sehingga TIM tak sempat mencantumkannya dalam kalender
acara.
Ingatan orang akan tari-tarian Mentawai belum lagi memudar, dan
sekali lagi kita dibuat terpana oleh tontonan dalam bentuknya
yang awal. Walaupun banyak hal berbeda, keduanya adalah produk
masyarakat yang setaraf.
Dalam satu kebudayaan yang masih tertutup, kesenian--lebih-lebih
tari-merupakan pernyataan religius dan magis yang mengatur
perkara kehidupan sehari-hari. Lewat tari, spirit kebajikan
dapat diterima dengan baik, hujan dapat menari-nari keluar dari
langit dan jagung menyembul dari tanah. Masa kanak-kanak menari
ke kedewasaan, sakit bergerak ke kesembuhan, kematian ke
ketenangan, sedang mangsa dapat ditangkap, musuh dapat
dikalahkan dan permusuhan antar suku dapat didamaikan.
Enggang Pembawa Damai
Yang terakhir inilah yang menjadi tema Tari Enggang Perdamaian,
di mana digambarkan upacara perdamaian dua lepok atau anak suku
yang berperang. Menurut keterangan Zaelani Idris, pimpinan
rombongan yang lulusan Akademi Tari LPKJ, hampir saja nomor ini
tak bisa dibawa ke Jakarta. Karena saudara-saudara dari
pedalaman ini baru bergabung tengah malam sebelum rombongan pagi
harinya meninggalkan Tenggarong, sehingga nomor ini belum sempat
ditata. Tetapi rupanya hal ini justru sebuah keuntungan: kita
bisa melihat penampilan yang lugas, apa adanya.
Fragmen didahului dengan Kancet Pepatay, sekerat adegan tari
perang oleh dua penari lelaki dengan pakaian perang yang sangat
menarik. Keduanya memegang mandau di tangan kanan dan perisai
kayu panjang di tangan kiri. Walaupun kedua mandau hampir tidak
pernah beradu, suasana ngeri hadir di sana. Kedua perisailah
yang lebih sering berbentur. Usia mereka yang cukup lanjut
ternyata tak menghalangi gerakan yang ringan, merendah berombak,
diseling loncatan indah.
Kemudian datanglah iring-iringan membawa seekor burung Enggang,
yang rupanya merupakan totem Suku Dayak Kenyah, sebagai lambang
perdamaian abadi. Diikuti sebilah tombak merah lambang
kekuasaan, seutas rantai lambang persatuan dan sebuah gong--di
atas mana kemudian seorang penari menarikan Kancet Teweg atau
Tari Gong, sebagai lambang adat leluhur suku yang perlu
dipelihara.
Sebelumnya, sebagai nomor terpisah, telah pula ditampilkan Tari
Enggang Terang yang dibawakan belasan gadis. Gerak mereka
sangat sederhana, dengan ayunan tubuh dan kedua tangan yang
jemarinya memegangi seikat bulu enggang. Walau sederhana,
gerakan benar-benar membawa imaji kita kepada sekawanan burung
enggang yang melayang-layang di angkasa.
Kostum cukup menarik. Kain berikut baju hitam tanpa lengan
dihias manikmanik aneka ragam, dengan disain khas Kalimantan
Timur. Tubuh dan ikat kepala tak lupa dihias taring-taring
harimau pohon (macan tutul) yang diatur cukup manis. Agaknya
kostum begini sudah agak sulit diproduksi, sehingga beberapa
penari nampak telah "inemperbaharui" kostum mereka dengan
payet-payet keemasan yang kelewat mewah dan terasa agak
berlebihan.
Tarian sejenis ini agak sering kita lihat di Ibukota. Sekalipun
demikian ada perbedaan yang menonjol. Di Jakarta, tarian
sederhana ini biasa disajikan dengan bubuhan sunggingan senyum
serta goyang tubuh yang memikat - hal yang ternyata tak ditemui
pada bentuknya yang asli. Inilah rupanya yang mendorong Bupati
Kutai drs H. Achmad Dahlan untuk berkeras mengirimkan rombongan
ini ke Ibukota. Beliau merasa sering dikecewakan oleh
tari-tarian di layar televisi, sehingga dirasa perlu
memperlihatkan yang asli. Patut dihargai.
Nomor lain yang cukup menarik adalah "ensembel" Jatung Uang.
Alat musik sejenis gambang, terbuat dari kayu benua, sejenis
meranti, terdiri dari beberapa bilah yang dirangkai dengan dua
utas tali, kemudian direntangkan antara tubuh dan kedua telapak
kaki pemain yang duduk dengan kedua kaki lurus ke depan. Sangat
sederhana dan cukup menarik.
Melayu "Tangan Kedua"
Sebagai sebuah misi yang mewakili sebuah wilayah, terasa benar
niat rombongan untuk menampilkan segenap yang ada di kawasan
bersangkutan. Ini nampak dari dua golongan kesenian yang
ditampilkannya. Pertama kesenian orang pedalaman, kedua kesenian
orang Kutai Pessir yang pada dasarnya "ringan-ringan saja".
Nampak dari beberapa nomor seperti Jepen Jejer Tungku Jepen
Buluh dan Bejamuk, di mana pengaruh Melayunya amat sangat
terasa peranannya lebih sebagai hiburan yang sering dilakukan
dalam upacara perkawinan dan pesta di kampung, di samping
sebagai sarana kontak sosial terutama Bejamuk yang mulanya
merupakan arena muda-mudi untuk menemukan jodoh. Lebih dari itu
tidak banyak menyapa lubuk hati kita, apa lagi gaya Melayunya
sudah tangan kedua.
Adapun nomor lerakhir, Tari Cantar dari Suku Dayak Benua yang
menggambarkan upacara menyongsong para pahlawan yang baru pulang
dari medan perang, memang tidak semenarik Tari Enggang
Perdamaian. Sekalipun demikian punya kemungkinan ditata lebih
baik. Terutama karena sifatnya yang lebih menonjolkan
kebersamaan.
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini