DIRK Rozeboom dan istrinya Marie Rose datang dari Belgia Riau
untuk meneliti hutan tropis. Mereka merencanakan suatu ketika
bisa membukukan pengalaman dan penelitian mereka mengenai hutan
di sana.
Rencana mereka tidak didukung dengan dana besar oleh sesuatu
lembaga. Mereka hanya datang dengan modal US$3.000 dalam bentuk
travel cheque. Langgam kerja juga santai. Sering suami-istri itu
terlihat menikmati matahari terbenam di pantai Tanjung Pinang
bersama Tamaramalie Margaretha, 4 tahun, anak mereka.
Berbaur dengan penduduk setempat, tinggal di sebuah rumah yang
sewanya Rp 1.000 sehari, si cilik Margaretha sering terlihat
kelayapan dengan kaki ayam dan jajan di mana saja "Rombongan
peneliti" ini nampak sulit dibedakan dengan anak-anak muda yang
suka berkelana dari barat.
Namun niat Dirk Kozeboom untuk mengenali hutan tropis di
Kepulauan Riau itu jadi kandas, karena istrinya meninggal 29
Desember 1979 di Pulau Penyengat. Esoknya Dirk sendiri masuk
rumahsakit di Tanjung Pinang dan meninggal. "Parasit malaria
bergumpal dalam darahnya," kata dr. Rosmawi Arifin dari RSUP
Tanjung Pinang.
Jalan hidup Dirk cukup tragis. Ia, sebagaimana orang desa, tak
mau diobati dengan obat modern. Ia meramu sendiri obat dari
tanam-tanaman untuk melawan penyakitnya. Setelah parah baru
penduduk memboyongnya ke rumahsakit. Dan tak tertolong. Untung
anak mereka Margaretha tak sempat meninggal.
Lepas dari nasib malang yang dihadapi keluarga Rozeboom,
penyakit malaria sekarang memang menunjukkan sengatan yang
meningkat. "Buat Jawa-Bali ini terutama disebabkan oleh karena
antara 1965 sampai 1969 ada lagi program pemberantasan yang
terkoordinir dengan baik," ulas dr. Ny. Arwati Soepanto yang
menangani masalah pemberantasan malaria di Departemen Kesehatan.
Dengan adanya bantuan dari USAID untuk program pembasmian
malaria antara 1959 sampai 1964 penyakit ini di Jawa-Bali sudah
berhasil ditekan cukup rendah. Dari 10.000 penduduk hanya
tercatat 1 penderita.
Setelah Bung Karno -- dalam masa menjelang akhir kekuasaannya --
mengusir bantuan dari Amerika Serikat dan penanggulangan malaria
kurang diperhatikan, penyakit ini merangkak naik. Sekarang ini
dari 8 juta kasus pertahun dengan keluhan mirip malaria, begitu
diperiksa di laboratorium, ternyata 1,2% positif menderita
malaria. Untuk luar Jawa-Bali saban tahun tercatat 700.000
penderita yang masuk rumahsakit dan puskesmas.
Metode pemberantasan malaria untuk Jawa-Bali dibedakan dengan
daerah lain. "Ini disebabkan pembrantasan di Jawa-Bali lebih
mudah karena penduduknya terkonsentrasi. Jadi daerah ini
mendapat prioritas," kata Arwati Soepanto.
Di Jawa-Bali, selain penanggulangan penderita yang datang ke
rumahsakit dan puskesmas, petugas-petugas kesehatan juga
menyebar ke lapangan untuk mencari kasus-kasus malaria. Sedang
luar Jawa-Bali hanya semata-mata bersandar pada penyembuhan
terhadap penderita yang datang ke rumahsakit atau puskesmas.
Dari sekian banyak penyakit yang mengancam masyarakat, malaria
berada dalam deretan teratas untuk diberantas oleh Depkes.
Dananya cukup besar. Hampir separuh dari dana urltuk
pemberantasan dan pencegahan penyakit menular.yang dikeluarkan
pemerintah jatuh ke bagian malaria. Untuk 1978 misalnya tak
kurang dari Rp 2,7 milyar, suatu dana yang dianggap cukup untuk
membeli obat semprot DDT dan obat-obat lain bagi penderita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini