ADA sejumlah penyebab mengapa "senjata" pria tidak mau siaga. Dari mulai penyebab kejiwaan, kerusakan saraf, penyumbatan pembuluh darah, sampai defisit senyawa biologis. Di antara semua penyebab impotensi ini, hingga kini faktor kejiwaan diduga menjadi pangkalnya yang utama. Ternyata, dugaan itu tidak tepat. Jurnal kedokteran terkemuka The New England Journal of Medicine edisi bulan ini menurunkan kesimpulan lain. Di situ dilaporkan hasil pengkajian Dr. Jacob Rajfer dari University of California. Ahli urologi (saluran air seni) ini menemukan, penyebab utama impotensi adalah defisit nitrat oksida. Pada 8 juta kasus dari 10 juta kasus impotensi di Amerika Serikat, Rajfer menemukan adanya kekurangan senyawa biologis itu. Nitrat oksida dijelaskan Rajfer sebagai senyawa yang berperan dalam berbagai fungsi biologis tubuh. Senyawa tersebut terutama berfungsi melemaskan otot dan pembuluh darah. Dalam proses ereksi, nitrat oksida membantu kemampuan pembuluh darah mengembang. "Penelitian di sekitar nitrat oksida itu sudah dilakukan sejak hampir 10 tahun lalu," kata Fritz A. Kakiailatu, ahli urologi di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Penemuan di AS itu, menurut Fritz, salah satu dari puluhan penelitian nitrat oksida yang sedang dilakukan di berbagai negara. Sebagian besar dibicarakan dalam pertemuan ahli impotensi di Taipei, Taiwan, akhir tahun lalu. Fritz membenarkan bahwa fungsi nitrat oksida yang dikandung darah menimbulkan relaksasi pada pembuluh darah dan otototot. Dan keadaan ini sangat diperlukan dalam proses ereksi. "Mekanisme ereksi pada dasarnya mekanisme hidrolik," katanya. Pada tingkat pertama, darah mengalir dari pembuluh arteri ke saluran darah di penis. Setelah darah terkumpul cukup banyak di penis, pembuluh yang mengembung menekan jaringan saraf yang terletak di pangkal penis. Akibatnya, pembuluh balik (vena) menutup seperti katup hidrolik, dan penis membesar karena sarat berisi darah. Pada semua proses ini nitrat oksida sangat berperan, khususnya dalam mengembangkan pembuluh-pembuluh darah. Bila terjadi gangguan pada pembuluh darah, menurut Fritz, "Tekanan darah tidak akan cukup kuat menekan jaringan saraf." Namun, terkumpulnya darah di pembuluh penis belum menandakan terjadinya ereksi penuh. Proses ereksi yang lengkap adalah terjadinya kerja sama antara jaringan saraf dan aktivitas pembuluh darah. Kalau darah sudah masuk ke penis, dan saraf belum memberi komando, penis hanya membesar. "Makanya tak bisa digunakan karena belum mengeras," ujar Fritz. Pengerasan terjadi akibat rangsangan. Di sini, jaringan saraf menjadi tegang dan kaku. Karena pengaruh timbal balik antara kerja saraf dan tekanan darah pada pembuluh, penis menjadi semakin keras. "Pada mereka yang terganggu sarafnya, proses pengerasan ini tidak bisa terjadi," katanya lagi. Gangguan saraf inilah yang umumnya dipengaruhi kondisi kejiwaan. Di Indonesia, Djoko Rahardjo menemukan bahwa justru gangguan saraf itu yang terbanyak menimbulkan impotensi. "Sekitar 40% kasus karena faktor ini," katanya. Ahli urologi di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta ini mengutarakan, bila dibandingkan dengan penderita impotensi di AS, di sana hanya 10% akibat gangguan psikologis. Rahardjo mengakui, pencatatan statistik di Indonesia tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Ia memperkirakan, 4w7% pria dewasa di sini pernah mengalami impotensi. Tapi angka ini sulit dipastikan karena banyak penderita yang tidak berobat. "Di sini tidak ada klinik khusus, sehingga para penderita malu berobat," katanya. Di samping itu, istri penderita impotensi umumnya menerima keadaan yang menimpa suaminya itu. Di AS, kasus impotensi muncul ke permukaan, antara lain, karena protes para istri. Karena sikap ini juga banyak suami kemudian terpaksa berobat. Di sana, angka impotensi mencapai 10% dari pria Amerika. Bila statistik AS bisa dipercaya, sangat mungkin penemuan Rajfer dibenarkan: penyebab utama impotensi karena defisit senyawa biologis. Kini, obat impotensi yang beredar umumnya untuk mengatasi gangguan pada pembuluh darah. Pada 1988, secara kebetulan obat suntik Papaverin ditemukan dapat mengatasi impotensi. Sebelumnya, Papaverin digunakan untuk mengatasi rasa nyeri, di antaranya nyeri jantung (TEMPO, 26 Maret 1988). Masih pada 1988, ditemukan obat yang diberi nama VIP atau Vasoactive Intestinal Polypeptide. Obat ini diproduksi dalam dua bentuk -- sebagai obat suntik yang harus disuntikkan di sekitar penis, dan dalam bentuk krim. Seperti Papaverin, VIP berfungsi melemaskan otot-otot dan pembuluh dalam mengatasi impotensi (TEMPO, 7 Mei 1988). Fritz Kakiailatu mengemukakan, pengobatan impotensi dengan suntikan perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Penyuntikan ini biasanya dilakukan ketika penderita akan melakukan hubungan seks. Pemberiannya harus dengan percobaan dulu, untuk mengukur dosis. "Ada kalanya karena penderita sudah tidak sabar, percobaan ini jadi kacau," katanya. "Ini berbahaya sekali." Kesalahan dosis bisa mengakibatkan penis tegang terus. "Bila tidak dilakukan tindakan dalam enam jam, penis bisa membusuk dan harus dilakukan tindakan pemotongan," kata Fritz. Kalau sudah begini, penderita malahan kehilangan "senjata" sama sekali. Jim Supangkat dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini