Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mempersoalkan saksi zina

Muzakarah majelis ulama aceh membahas soal saksi zina yakni empat saksi laki-laki yang secara bersama melihat langsung perbuatan zina. kesimpulan, masih mungkin saksi laki-laki diganti perempuan.

1 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJELIS Ulama Aceh risau. Setahun belakangan ini Majelis melihat semakin banyaknya salon, rumah bilyar, dan hotel-hotel di Aceh yang menunjukkan gejala dijadikan tempat maksiat. Ketua Majelis Profesor Ali Hasjmy lalu membentuk Tim Pelaksana Amal Makruf Nahi Munkar yang terdiri dari unsur aparat keamanan dan ulama, Rabu dua pekan lalu. Aparat keamanan bertugas merazia tempat-tempat maksiat. Tapi kemudian timbul masalah. Seandainya sudah ada tertuduh, bisakah dihadirkan saksi-saksi sesuai dengan Quran dan hadis. Yakni empat saksi, laki-laki semua, yang secara bersama melihat langsung perbuatan tertuduh. Itu tak mudah, bahkan hampir mustahil, melihat kenyataan bangunan sekarang makin melindungi kegiatan pribadi penghuninya. Untuk membahas soal saksi zina itulah, selama tiga hari pekan lalu di Banda Aceh, Majelis membuka muzakarah (semacam seminar) yang dihadiri tak cuma oleh ulama Indonesia, tapi juga ulama ASEAN. Soalnya, dalam pandangan para ahli fikih selama ini, saksi zina mudah sekali terbalik menjadi tertuduh. Hingga dikhawatirkan tak ada yang berani memberikan kesaksian. Dalam Quran, soal kesaksian zina sudah jelas diuraikan, misalnya dalam Surat Al Nur, Ayat 4. Isi ayat tersebut, seseorang yang menuduh orang lain (perempuan baik-baik) berbuat zina, tapi ia tidak bisa menghadirkan empat orang saksi untuk membuktikan tuduhannya, ia dianggap pendusta yang harus didera 80 kali. Bahkan pada masa Nabi dan Khalifah al Rasyidin belum ditemukan catatan-catatan tentang penzina yang dihukum karena empat orang saksi. Ali Yasa Abubakar, dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang juga salah seorang pembawa makalah dalam muzakarah itu, menceritakan bahwa semua pelaku zina yang dihukum Nabi dan empat Khalifah berikutnya adalah atas pengakuan mereka sendiri. Sebaliknya, ada beberapa orang yang dihukum dera 80 kali karena tidak mampu mengajukan empat orang saksi yang melihat langsung perbuatan itu. Dalam muzakarah ini, Al Yasa Abubakar antara lain mempertanyakan betulkah fikih sedemikian kaku tentang pembuktian (kesaksian) zina. Kalau tidak betul, maka adakah kemungkinan pembuktian secara lain menurut fikih. Andai kata betul, adakah alternatif untuk menafsirkan nash secara baru, sehingga ditemukan pembuktian yang lebih luwes. Al Yasa Abubakar lalu membandingkan pendapat-pendapat yang ada dalam kitab-kitab tafsir, hadis, dan fikih. Pada Quran, jelas ada ayatayat yang menyatakan pentingnya empat saksi. Lalu Al Yasa Abubakar beralih pada hadis-hadis Rasulullah. Ia menemukan beberapa hadis shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah menghukum orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina karena mereka tak mampu mengajukan empat orang saksi. Misalnya, sewaktu Siti Aisyah, istri Nabi, difitnah berbuat zina. Menurut Al Yasa, hadis-hadis yang berkaitan dengan peristiwa itu menyebutkan, Nabi menghukum Abdullah bin Ubay, Hasan ibn Tsabit, dan seorang wanita Hammat. Dosen IAIN itu lalu berpaling pada kitab-kitab fikih. Ia melihat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Hambali, dan Zaidiah. Yang ditemukan sama saja: sekiranya kesaksian zina itu kurang dari empat orang, bukan saja perbuatan zinanya tidak terbukti, tapi orang-orang itu dianggap melakukan tindak pidana menuduh berbuat zina. Kemudian Al Yasa menemukan pendapat Ibnu Hazm, ulama besar pada abad ke-11. Sarjana Islam kelahiran Cordova itu berpendapat bahwa kesaksian yang tidak sempurna tidak otomatis membalikkan saksi menjadi tertuduh tindak pidana. Ibn Hazm menggarisbawahi antara menuduh berbuat zina dan sekadar memberikan kesaksian. Ibnu Hazm pun berpendapat saksi laki-laki bisa diganti dengan saksi perempuan. Beliau mengutip pendapat Imam Ahmad, hanya dalam kesaksian yang membutuhkan penalaran rumit, misalnya ada kaitannya dengan hitung-menghitung, bisa dibedakan saksi laki-laki dan perempuan. Tapi, dalam hal kesaksian perbuatan yang mudah disaksikan mata, nilai kesaksian perempuan dianggap sama dengan kesaksian laki-laki. Walhasil Al Yasa Abubakar menyimpulkan, masih ada nuansa untuk mengembangkan pendapat Ibnu Hazm itu di dunia modern. Kembali ia mengutip Ibnu Hazm, pada hakikatnya yang dibutuhkan adalah kesaksian bahwa "perbuatan itu memang benar-benar dilakukan, walau tak disaksikan oleh empat orang." Bila memang demikian, pendapat Ibnu Hazm pada hakikatnya tak bertentangan dengan Quran dan hadis, kata Al Yasa. Yang dicari adalah kebenaran. Tujuan adanya pembuktian zina yang berat itu, mengutip pendapat Sayid Quthub, penulis tafsir Quran ternama dari Mesir, "adalah untuk melindungi seseorang dari tuduhan palsu dan fitnah." Meskipun hasil muzakarah belum menjadi fatwa, Majelis Ulama Aceh telah berani melakukan ijtihad untuk hal-hal yang selama ini dianggap sudah sangat jelas menurut Quran dan hadis karena tuntutan lingkungan. Julizar Kasiri, dan Irwan E. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus