Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pelaku usaha jamu gendong di Yogyakarta tetap menggeliat di masa pandemi Covid-19. Sebagian dari para penjual jamu di Yogyakarta juga telah mendapatkan pelatihan dan sertifikasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menjamin produk mereka aman dan higienis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pamong atau pendamping Kampung Jamu 'Empu' yang berbasis di Timoho Kota Yogyakarta, Indana mengatakan 30 pedagang jamu Yogyakarta mendapatkan sertifikasi BPOM setelah mengikuti pelatihan tentang higienitas dan sanitasi. Penyerahan sertifikasi kepada 30 pelaku usaha jamu gendong di Yogyakarta itu dilakukan pada Rabu 12 Agustus 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama proses pelatihan, Indana menuturkan, para penjual jamu berlatih membuat jamu yang lebih aman, bersih serta tetap menjaga kualitas jamu yang diproduksi. "Kami belajar membuat dan memasarkan jamu dengan cara yang lebih bersih dan aman, menerapkan protokol kesehatan," ujar Indana kepada Tempo.
Indana menuturkan, selama proses pelatihan produksi jamu, sarung tangan menjadi alat utama yang tak boleh ditinggalkan. Mulai dari memilih bahan sampai meramu jamu, semua proses itu dilakukan dengan tangan terbungkus. Para pembuat jamu gendong ini juga wajib memakai masker dan pelindung wajah selama proses produksi.
Sebagian penjual jamu gendong di Yogyakarta telah mendapat sertifikasi dari BPOM. TEMPO | Pribadi Wicaksono
"Saat memilih bahan, harus yang segar. Seperti jahe, temulawak, dan buah asem. Jangan menggunakan bahan yang tidak layak supaya hasilnya bagus," ujar Indana. Dalam proses penyimpanan jamu siap jual, botol-botol kaca yang digunakan harus benar-benar bersih dan telah dicuci ulang lalu dikeringkan. Dilarang mengisi jamu ke dalam botol bekas pakai tanpa dicuci dan dikeringkan dulu.
Cara menjual jamu kepada konsumen juga menjadi perhatian di masa pandemi Covid-19. Pertama, tidak ada lagi pemakaian gelas berulang saat menjual jamu. Jika biasanya penyajian jamu menggunakan gelas kaca, kemudian setelah selesai gelas itu dibilas dan dipakai lagi, kini para penjual jamu harus memakai wadah sekali pakai.
Wadah sekali pakai itu bisa berupa gelas kertas, gelas plastik, atau plastik biasa. Jika konsumen tak mau jamunya dibungkus dengan plastik, maka mereka diminta membawa gelas sendiri. Kedua, Indana melanjutkan, penjual jamu harus menjaga jarak dengan pembeli. "Tidak boleh terlalu dekat dengan konsumen. Harus berjarak minimal satu meter dengan tetap memakai masker," ujarnya.
Seorang pengusaha usaha jamu gendong Yogyakarta, Puji Rahayu mengatakan di masa pandemi Covid-19, dia dapat menjual lebih dari 10 - 12 botol jamu setiap hari. "Permintaan jamu tradisional tetap tinggi," kata Puji yang biasa menjual jamunya secara berkeliling dengan sepeda motor di kawasan kampus Samirono Yogyakarta.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia, Penny K Lukito menuturkan, sebanyak 176 pelaku usaha jamu gendong di seluruh Indonesia telah memperoleh sertifikasi dari BPOM Indonesia. Kini ditambah 30 pelaku usaha dari Yogyakarta ini. "Kami memberikan sertifikasi setelah pelaku usaha jamu mengikuti pelatihan mengenai cara memproduksi jamu dengan memperhatikan faktor higienitas dan sanitas, agar aman dikonsumsi," katanya.
Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi mengatakan sertifikasi kepada pedagang jamu gendong tersebut menjadi pendorong supaya konsumen semakin percaya bahwa produk yang dijual aman dan berkhasiat. Selama pandemi Covid-19, Heroe menambahkan, pemerintah Kota Yogyakarta juga mendorong penjualan jamu secara daring.