Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Muncul nasionalisme arab ketiga

Di timur tengah kini timbul nasionalisme arab baru. ideologinya belum dirumuskan secara konsepsional, tapi bentuk operasionalnya terlihat dengan terbentuknya dewan kerja sama negara-negara teluk.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIONALISME, sebagai ideologi, semula hanya berbentuk kesatuan semangat sebuah bangsa. Dinyatakan dalam kerangka negara-bangsa (nationstate), dengan segera ia menggusur ideologi-ideologi lain. Menyalanya semangat untuk memerdekakan diri dari penjajahan merupakan pemberian legitimasi paling ampuh bagi nasionalisme di paroh pertama abad kedua puluh ini. Walaupun dari semula telah ada solidaritas kuat antara tokoh-tokoh gerakan nasionalisme, watak utama nasionalisme sebagai ideologi lokal' (dalam ukuran bangsa) terus menonjol, hingga tahun-tahun enam puluhan. Nasionalisme yang dianut oleh Soekarno, Nehru, Tito, Nkrumah dan Nasser tidak berarti terleburnya mereka ke dalam sebuah ideologi umum yang sama. Tetapi nasionalisme mengalami cobaan berat semenjak paroh kedua dasawarsa enampuluhan. Nasionalisme yang memerdekakan bangsa, sering tergusur oleh semangat kesukuan. Negara yang dibangun atas prakarsa nasionalisme, dalam waktu cepat terkeping-keping jadi kancah pertempuran antara suku bangsa (dan terkadang berbagai agama) utama. Atas nama nasionalisme, tindakan paling tidak nasionalistis diperbuat, seperti dilakukan di Congo oleh Mobutu, yang kini bernama Sese Seko. Sementara itu, aspirasi revolusioner kiri, yang tadinya bersembunyi di balik 'netralitas' nasionalisme, juga menyatakan diri dengan kuat, seperti pada PNI-ASU di Indonesia. Belum lagi memang adanya upaya mengelabui masyarakat untuk menganggap sosialisme, dalam bentuk lokal, sebagai nasionalisme, seperti dapat dilihat pada 'nasionalisme' Kuba. Tapi pengakuan gerakan-gerakan kiri sebagai 'nasionalis' itu tidak mampu menyelamatkan nasionalisme dari kemelut luar biasa. Sebagian karena kelesuan akibat pertempuran berkepanjangan antara nasionalisme 'biasa' dan nasionalisme kiri, sebagian lagi oleh ketidakbecusan para pemimpin gerakan nasionalis di mana-mana untuk menahan korupsi di lingkungan pemerintahan yang mereka pimpin. Dengan sendirinya gerakan nasionalis mengalami krisis. Dilihat dari sudut pandangan ini baru dapat dimengerti mengapa Sadat sampai hati menanggalkan Pan-Arabisme yang didengungkan mendiang Presiden Nasser dalam bentuk ideologi 'Sosialisme Arab'nya. Tinggal kini kaum nasionalis Ba'th yang masih mendengungkan ideologi nasional yang Pan-Arabis. Tetapi ideologi nasionalistisini punkini terancam oleh perbedaan tajam, karena perbedaan orientasi lokal di antara negara penganut ideologi Ba'th itu sendiri, yaitu antara Irak dan Suriah. Lalu muncul nasionalisme jenis ketiga. Nasionalisme lokal Mesir a'la Sadat sedikit banyak harus mengalah kepada aspirasi Pan-Arabis, suatu kenyataan yang dalam beberapa tahun terakhir sudah disadari orang, bahkan sebelum Sadat mati tertembak. Belum lagi kalau Pan-Arabisme itu dibalut oleh aspirasi Pan-Islamistis, seperti dikumandangkan oleh Qaddafi. Dengan melihat kemungkinan itu negara-negara Teluk Persia (sekarang diklaim sebagai "Teluk Arab") memerlukan sebuah jenis nasionalisme baru. Ideologi itu belum dirumuskan secara konsepsional, belum juga dislogankan sebagai entitas tersendiri, juga belum diberi nama apa-apa. Tetapi bentuk operasionalnya telah diletakkan, meskipun baru dalam tahap permulaan, yaitu dalam apa yang dinamakan Dewan Kerjasama Negara-negara Teluk (Gulf Cooperation Council). Apa yang menyatukan mereka adalah kesadaran sebagai entitas nasional yang tidak berlingkup satu negara saja. Tapi mereka bukan Pan-Arabis, dalam artian menghilangkan perbedaan masing-masing bangsa kecil yang mendukungnya. Dengan demikian, nasionalisme mereka adalah sesuatu di antara keduanya, yaitu kesadaran akan nasionalitas regional mereka: bukan hanya bangsa Arab, melainkan bangsa Arab yang diam di kawasan yang sama. Lalu, apa bedanya kesadaran regional yang lain, seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan ASEAN? Cukup nyata. Dalam kesadaran regional orang Eropa Barat dan bangsa-bangsa ASEAN, porsi nasionalistis bangsa masing-masing, yang saling berbeda, masih sangat besar. Sebaliknya, kesadaran akan tunggalnya ras mereka melandasi kesadaran regional di lingkungan Dewan Kerjasama Negara-negara Teluk, Implikasi dari munculnya 'nasionalisme regional' seperti ini, yang berfungsi menggantikan 'nasionalisme lokal' dalam pertarungan melawan 'nasionalisme supra-lokal' Pan-Arabis, bagaimanapun juga akan sangat menarik untuk dikaji kelanjutannya. Bukan hanya karena ia bersangkut-paut dengan bangsa Arab belaka, melainkan juga dengan kawasan lain di dunia, termasuk ASEAN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus