NASIONALISME, sebagai ideologi, semula hanya berbentuk kesatuan
semangat sebuah bangsa. Dinyatakan dalam kerangka negara-bangsa
(nationstate), dengan segera ia menggusur ideologi-ideologi
lain. Menyalanya semangat untuk memerdekakan diri dari
penjajahan merupakan pemberian legitimasi paling ampuh bagi
nasionalisme di paroh pertama abad kedua puluh ini.
Walaupun dari semula telah ada solidaritas kuat antara
tokoh-tokoh gerakan nasionalisme, watak utama nasionalisme
sebagai ideologi lokal' (dalam ukuran bangsa) terus menonjol,
hingga tahun-tahun enam puluhan. Nasionalisme yang dianut oleh
Soekarno, Nehru, Tito, Nkrumah dan Nasser tidak berarti
terleburnya mereka ke dalam sebuah ideologi umum yang sama.
Tetapi nasionalisme mengalami cobaan berat semenjak paroh kedua
dasawarsa enampuluhan. Nasionalisme yang memerdekakan bangsa,
sering tergusur oleh semangat kesukuan. Negara yang dibangun
atas prakarsa nasionalisme, dalam waktu cepat terkeping-keping
jadi kancah pertempuran antara suku bangsa (dan terkadang
berbagai agama) utama. Atas nama nasionalisme, tindakan paling
tidak nasionalistis diperbuat, seperti dilakukan di Congo oleh
Mobutu, yang kini bernama Sese Seko.
Sementara itu, aspirasi revolusioner kiri, yang tadinya
bersembunyi di balik 'netralitas' nasionalisme, juga menyatakan
diri dengan kuat, seperti pada PNI-ASU di Indonesia. Belum lagi
memang adanya upaya mengelabui masyarakat untuk menganggap
sosialisme, dalam bentuk lokal, sebagai nasionalisme, seperti
dapat dilihat pada 'nasionalisme' Kuba.
Tapi pengakuan gerakan-gerakan kiri sebagai 'nasionalis' itu
tidak mampu menyelamatkan nasionalisme dari kemelut luar biasa.
Sebagian karena kelesuan akibat pertempuran berkepanjangan
antara nasionalisme 'biasa' dan nasionalisme kiri, sebagian lagi
oleh ketidakbecusan para pemimpin gerakan nasionalis di
mana-mana untuk menahan korupsi di lingkungan pemerintahan yang
mereka pimpin. Dengan sendirinya gerakan nasionalis mengalami
krisis.
Dilihat dari sudut pandangan ini baru dapat dimengerti mengapa
Sadat sampai hati menanggalkan Pan-Arabisme yang didengungkan
mendiang Presiden Nasser dalam bentuk ideologi 'Sosialisme
Arab'nya. Tinggal kini kaum nasionalis Ba'th yang masih
mendengungkan ideologi nasional yang Pan-Arabis. Tetapi ideologi
nasionalistisini punkini terancam oleh perbedaan tajam, karena
perbedaan orientasi lokal di antara negara penganut ideologi
Ba'th itu sendiri, yaitu antara Irak dan Suriah.
Lalu muncul nasionalisme jenis ketiga. Nasionalisme lokal Mesir
a'la Sadat sedikit banyak harus mengalah kepada aspirasi
Pan-Arabis, suatu kenyataan yang dalam beberapa tahun terakhir
sudah disadari orang, bahkan sebelum Sadat mati tertembak. Belum
lagi kalau Pan-Arabisme itu dibalut oleh aspirasi
Pan-Islamistis, seperti dikumandangkan oleh Qaddafi.
Dengan melihat kemungkinan itu negara-negara Teluk Persia
(sekarang diklaim sebagai "Teluk Arab") memerlukan sebuah jenis
nasionalisme baru. Ideologi itu belum dirumuskan secara
konsepsional, belum juga dislogankan sebagai entitas tersendiri,
juga belum diberi nama apa-apa. Tetapi bentuk operasionalnya
telah diletakkan, meskipun baru dalam tahap permulaan, yaitu
dalam apa yang dinamakan Dewan Kerjasama Negara-negara Teluk
(Gulf Cooperation Council).
Apa yang menyatukan mereka adalah kesadaran sebagai entitas
nasional yang tidak berlingkup satu negara saja. Tapi mereka
bukan Pan-Arabis, dalam artian menghilangkan perbedaan
masing-masing bangsa kecil yang mendukungnya. Dengan demikian,
nasionalisme mereka adalah sesuatu di antara keduanya, yaitu
kesadaran akan nasionalitas regional mereka: bukan hanya bangsa
Arab, melainkan bangsa Arab yang diam di kawasan yang sama.
Lalu, apa bedanya kesadaran regional yang lain, seperti
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan ASEAN? Cukup nyata. Dalam
kesadaran regional orang Eropa Barat dan bangsa-bangsa ASEAN,
porsi nasionalistis bangsa masing-masing, yang saling berbeda,
masih sangat besar. Sebaliknya, kesadaran akan tunggalnya ras
mereka melandasi kesadaran regional di lingkungan Dewan
Kerjasama Negara-negara Teluk, Implikasi dari munculnya
'nasionalisme regional' seperti ini, yang berfungsi menggantikan
'nasionalisme lokal' dalam pertarungan melawan 'nasionalisme
supra-lokal' Pan-Arabis, bagaimanapun juga akan sangat menarik
untuk dikaji kelanjutannya. Bukan hanya karena ia
bersangkut-paut dengan bangsa Arab belaka, melainkan juga dengan
kawasan lain di dunia, termasuk ASEAN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini