PERBAIKAN gizi sebenarnya pangkal dari usaha peningkatan taraf
kesehatan masyarakat. Namun dari sekian hanyak prioritas yang
diberikan Departemen Kesehatan, gizi seakan-akan kurang mendapat
perhatian yang pantas. Pilihan semacam ini barangkali terpaksa
diambil lantaran ada anggapan bahwa semakin meningkatnya hasil
pertanian dan pendapatan penduduk maka gizi otomatis akan
membaik dengan sendirinya. Itulah makanya departemen kesehatan
nampaknya lebih banyak menekankan perhatian pada masalah
penyuluhan masalah gizi dibandingkan dengan mengalokasikan
sejumlah uang untuk program ini.
Meskipun hasilnya mungkin segenerasi lagi baru terlihat, namun
syukurlah masih ada fihak yang mau memperhatikan masalah ini.
Care, satu badan sosial yang berpusat di Amerika Serikat yang
kabarnya memperoleh dana dari sumbangan para veteran Perang
Dunia II, sejak beberapa tahun belakangan ini tampak aktif
menunjang usaha perbaikan mutu makanan, terutama untuk anak-anak
kita. Meskipun usaha yang bagus ini pernah terbentur di Jakarta,
berupa lenyapnya susu-susu bubuk dan menyebar di pasaran gelap
hingga tidak jatuh ke tangan anak-anak sekolah yang berhak
menerimanya. Hanya untuk Jawa Barat yang masih bisa bertahan,
namun belakangan bantuan itu berakhir sudah, karena selesainya
kontrak kerjasama antara pemerintah daerah Jabar dan Care.
Kabarnya, kontrak baru dengan Gubernur Aang diharapkan bisa
ditandatangani dalam waktu dekat ini. Biasanya,bantuan Care
tersebut berupa makanan jadi berbentuk tepung yang didatangkan
dari Amerika. Tapi Care hanya mengurus sampai ke pelabuhan.
Untuk sampai ke sasaran, biasanya murid SD di pedalaman dan
pemerintah setempat harus membayar ongkosnya. Barangkali, di
sinilah letak soalnya mengapa kerjasama tadi tak begitu lancar.
Kedelai Dan Lain-Lain
Tapi tampaknya Care tidak putus asa. Hal ini mungkin pula
disebabkan karena orang-orang Care umumnya tenaga sukarela, tak
mencari keuntungan. Sehingga belakangan ini Care bergerak agak
jauh, mereka tidak hanya mendatangkan bahan makanan jadi yang
tinggal memasak. Bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor,
Care mendatangkan sebuah mesin extmder. Mesin yang namanya Brady
Crop Cooker ini pada mulanya berupa pinjaman dari departemen
Pertanian Amerika. Tapi akhirnya dibeli juga, dibawa ke
Indonesia dan disimpan di IPB Bogor. Kabarnya, di Amerika
sendiri mesin ini diciptakan waktu terjadi krisis harga kedelai.
Untuk tidak membiarkannya membusuk, karena harga jualnya rendah
sekali, maka kedelai ini disimpan saja. Dan Brady inilah yang
dipercaya untuk mengawetkannya.
"Mesin ini sangat praktis, gampang dipindah-pindah", kata Ir.
Aceng Mukhlis dari IPB yang dipercayakan untuk melakukan
berbagai percobaan. Ke dalam mesin yang harganya diperkirakan
US$ 6000 ini, dimasukkan jagung, kedelai, sorgum dan berbagai
kacang-kacangan lainnya, dengan harapan akan ditemukan sebuah
campuran yang diharapkan. Tujuan utamanya adalah untuk
mendapatkan bentuk makanan baru yang nilai gizinya tinggi,
harganya cukup rendah, di samping tentu saja rasanya harus bisa
diterima oleh lidah Indonesia.
Kacang Jaat
Ir Aceng sendiri tampaknya cukup optimis dengan hasil mesin ini.
Brady suaranya bukan main gemuruh. Kapasitasnya tinggi, sekitar
400 - 500 kilogram setiap jam. Jika setiap hari beroperasi penuh
selama 8 jan, hasilnya akan melimpah. Tapi masalah lain tidak
dengan sendirinya teratasi. Karena sifatnya yang extruder, Brady
ini baru cocok jika disuapi kacang-kacangan yang mengandung
minyak. "Makin tinggi kedelai, makin tinggi kapasitasnya dan
makin rendah horse power yang dibutuhkan", kata ir. Aceng sambil
memegangmegang Brady di sebuah ruangan di kampus IPB Darmaga
Bogor.
Dengan bahan pokok kedelai, beberapa campuran sudah dicoba. Baik
dengan ketela pohon, jagung, sorghum dan bahkan dengan kacang
benguk. Hanya yang terakhir ini rasanya tidak enak. Tampaknya,
campuran antara kedelai dan jagung termasuk yang hasilnya paling
sedap. Hanya soalnya,harganya bakal agak tinggi. Dan jika
benar-benar mau dibikin besar-besaran, adakah kedelai cukup
tersedia? Dari Care sendiri ada kecenderungan untuk mengganti
kedelai dengan kacang jaat.
Tampaknya, yang jadi soal sekarang adalah, akankah Brady ini
bisa dimanfaatkan benar-benar? Kalangan Care sendiri ada
menyebut kejadian di Srilangka sebagai misal. Di sana hasil
kerja Brady ini dikaitkan dengan program pemerintah yang sedang
berjalan. "Srilangka membuat triphosa berupa campuran dari
sorghum, jagung dan kedelai", kata ir Mukhlis. Kabarnya,
hasilnya sudah disebar ke masyarakat luas.
Baik di Srilangka maupun di Indonesia, ada persamaan masalah.
Golongan rawan untuk soal gizi ini adalah anak-anak usia di
bawah 5 tahun di samping ibu-ibu yang sedang mengandung atau
menyusui. Proyek semacam itu tentu saja tidak bisa dilaksanakan
secara kecil-kecilan. Yang jadi masalah buat Care di lndonesia
ini, badan manakah yang paling pas untuk bekerjasama. Harapan,
terutama ditujukan pada Bappenas. Dan bagaimanakah sikap badan
perancang nasional tersebut, apakah dia akan mengabulkan harapan
itu. Perbaikan gizi adalah inveslasi yang memakan waktu lama.
Sebagaimana dikatakan oleh seorang staf Care: "Hasil perbaikan
gizi baru akan terlihat 20 tahun mendatang". Tapi kalau tidak
diurusi sejak sekarang akankah gizi masyarakat, terutama
anak-anak dibiarkan lapar terus?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini