Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Anak Sah, Di Luar Nikah

Akta kelahiran anak luar nikah semakin banyak. Bukan berarti kumpul kebo membudaya. Tapi, karena banyak pernikahan yang sudah diresmikan secara adat, atau agama, tak terdaftar di kantor catatan sipil.

3 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-DIAM, setiap tahun ternyata ribuan anak lahir dengan status anak di luar nikah. Itu bukan berarti kehidupan seks luar nikah atau kumpul kebo semakin membudaya. Tapi hanya karena banyak pernikahan yang sudah diresmikan secara adat, atau agama, tak terdaftar di Kantor Catatan Sipil. Cerita seorang wanita muda di Semarang -- sebut saja Lina, 31 tahun -- mungkin bisa mewakili pasangan-pasangaan serupa. Tak lama setelah anak pertamanya lahir, 13 Januari 1988, buah perkawinannya dengan seorang lelaki -- kita sebut saja Budi, 34 tahun -- ia segera mengurus akta kelahiran anak itu ke Kantor Catatan Sipil (KCS) Semarang. Tapi, sepulang dari KCS, Lina bingung. Pasalnya, "Di akta kelahiran anak saya tak disebut nama ayahhya," tutur Lina. Padahal, ujarnya lagi, pada November 1986, ia resmi menikah secara adat Khong Hu Chu dengan Budi. Pernikahan itu rupanya tak diakui KCS, karena belum didaftarkan ke KCS sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Perkawinan (UUPP) 1974. Tapi, untuk anak mereka, KCS tetap mengeluarkan akta kelahiran, sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman 1979. Hanya saja, itu tadi, di akta tersebut terpaksa dicantumkan bahwa anak itu lahir di luar nikah. Sebab itu, pada Juli 1989, Budi dan Lina, pasangan WNI keturunan Cina itu, menikah "ulang" di sebuah Gereja Protestan dan mendaftarkan pernikahan itu ke KCS. Berkat itu, nama Budi bisa tercantum di akta kelahiran anak mereka berikutnya, sementara anak pertama tadi bisa berstatus diakui. Nasib anak-anak Budi dan Lina masih lebih baik. Di luar mereka, ribuan anak terpaksa mengantungi akta anak luar nikah, karena orangtua mereka tak kunjung melakukan perkawinan ulang semacam Budi dan Lina. Di KCS Semarang, contohnya, selama Januari lalu, dari 100 akta kelahiran anak yang diterbitkan, terdapat 10 akta kelahiran anak luar nikah -- kerap disebut akta kelahiran "anak ibu". Jumlah itu pun, menurut Kepala KCS Semarang Nyonya Moertinah, diperkirakan hanya sekitar 3% dari jumlah keseluruhan anak yang lahir di luar perkawinan. Artinya, sebagian besar anak semacam itu justru tanpa akta kelahiran sama sekali. Di Jakarta, proporsi itu tak terlalu besar. Menurut Kepala KCS Jakarta Harmani Arioso, dari 101.274 akta kelahiran yang dikeluarkan sepanjang tahun lalu, ada 1.422 (1,4%) akta kelahiran anak luar nikah atau hanya "anak ibu". Akta kelahiran semacam itu dikhawatirkan Harmani Arioso, "Kelak bisa jadi bom waktu." Sebab, akta semacam itu bisa menimbulkan diskriminasi antara anak hasil nikah dan luar nikah. Secara psikologis, anak yang berakta luar nikah akan merasa dirinya anak "gelap", hasil kumpul kebo. Padahal, "Orangtua mereka sungguh-sungguh resmi menikah. Hanya saja, lalai mencatatkan ke KCS," tambah Harmani. Yang lebih berat adalah akibat hukumnya. Sebab, sebagaimana ketentuan hukum perdata warisan Belanda, si anak luar nikah itu dianggap hanya mempunyai hubungan hukum dan mewaris dari ibunya. Artinya, si anak tak memiliki hak waris, pemeliharaan, dan perwalian dari ayahnya. Menurut Harmani, sepatutnya istilah "anak luar nikah" itu ditiadakan saja. Alasannya, "Istilah itu kurang manusiawi," ujarnya. Barangkali Harmani bisa menilik kebijaksanaan yang ditempuh rekannya di Bandung. Dalam lima tahun ini, kata Kepala Seksi Pelayanan KCS Bandung Nyonya Romlah, pihaknya hampir tak pernah lagi menerbitkan produk dengan istilah tersebut. Di akta si anak, tambahnya, hanya disebut: anak lelaki/perempuan dari seorang perempuan bernama anu. Menurut Guru Besar Hukum Perdata FH Universitas Gadjah Mada, Prof. Sudikno Mertokusumo, untuk mengatasi soal itu sebaiknya dibuat undang-undang tentang pencatatan sipil yang seragam dan berlaku secara nasional. Atau untuk lebih afdol lagi, soal itu segera dibahas dan dimasukkan ke dalam KUH Perdata, yang kini tengah digodok kembali oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus