BENARKAH perzinaan dan perkosaan hanya berbatas selembar rambut? Yang jelas, pekan-pekan ini petugas Polres Wonogiri, Jawa Tengah, terpaksa menyimak ulang kasus Poniyem, 16 tahun, yang mengaku diperkosa tetangganya, Katimin, 45 tahun. Polisi mengalami kesulitan, karena kasus itu tanpa saksi, dan korban tak pula divisum. Karena itu, Polsek Baturetno, Wonogiri, yang pertama memproses kasus Pon -- begitu panggilan gadis itu -- sempat mengklasifikasikan perkara itu sebagai perzinaan. "Sebab, fakta yang mendukung perkosaan nampak kabur," kata seorang polisi. Pada 22 November 1989, sekitar pukul 19.00, menurut Pon, yang sampai kelas IV SD, ia kedatangan istri Katimin, Sutinah, 35 tahun. Pedagang kolak itu minta tolong dicarikan pisang dan ketela. Pon bersedia ikut. Ternyata, malam itu ia dibawa ke rumah kosong. Di situ, cerita Pon, ia dilucuti Sutinah. "Celana dan rok saya dilepas," tutur Pon. Setelah itu, Sutinah pergi. Tapi secepat itu pula Katimin, memasuki kamar itu dan langsung "menyerang" gadis bertubuh sintal dan berkulit hitam manis itu. Gadis itu menjerit ketakutan dan mencoba meronta. Tapi, "Mulut saya dibungkam Ibu Sutinah," ujar Pon. Katimin, yang gempal, lalu menggagahinya. Pon hanya bisa menangis. Sejak peristwa itu, Sutinah malah memusuhinya. Ia sempat disiram Sutinah dengan kuah soto ketika mereka bertemu di pasar. Bahkan, akhir November lalu, Sutinah menjambak dan menamparnya. Gara-gara keributan tadi, pamong desa turun tangan. Kepada pamong, Sutinah mengaku bahwa suaminya berzina dengan Pon. Karena itu, pamong desa memutuskan Katimin harus bertanggung jawab mengawini Pon, jika gadis itu hamil. Beres? Ternyata tidak. Sebab, kata Kepala Desa Talonombo, Sutardi Hadiwiyoto, Sutinah masih menyebarkan aib itu. "Nah, siapa tidak panas. Sudah diperkosa, dipermalukan pula," kata Sutardi. Poniyem bersama orangtuanya akhirnya mengadu ke polisi. Tapi, anehnya, surat panggilan Polsek Baturetno, 5 Desember lalu, menyebut Poniyem bukan sebagai saksi korban perkosaan, tapi tersangka perzinaan. "Karena bingung dan sedih, saya minta bantuan BKBH Yaphi, Wonogiri," kata Poniyem. Pada 17 Januari, Poniyem kembali diperiksa -- tapi kali ini di Polres Wonogiri. "Kedudukan Poniyem bukan lagi sebagai tersangka, melainkan saksi korban atau si pelapor," kata Jhony Lasto dari BKBH Yaphi Solo, yang mendapingi Poniyem. Tapi, lucunya, surat panggilan Polres kepada Katimin menyebut lelaki itu tersangka perzinaan (pasal 284 KUHP), bukan pemerkosa. Sementara itu, Sutinah juga diperiksa karena dianggap membantu perzinaan. Rupanya, pihak polisi kebingungan menentukan pasal KUHP mana yang cocok untuk kasus itu. Untuk menyebutnya sebagai perkosaan, tidak ada saksi dan visum dokter. Selain itu, korban tidak pula langsung lapor ke polisi. Tapi, menurut Slamet Mulyadi dari BKBH Yaphi, tak tepat jika pada kasus ini dikenakan pasal perzinaan, sebab perzinaan adalah delik aduan. Artinya, kasus itu baru bisa diproses bila Sutinah mengadukan suaminya itu secara resmi. "Padahal, istri Katimin tidak pernah mengadukan perbuatan suaminya," kata Slamet, yang tetap menganggap kasus itu perkosaan. Katimin membantah tuduhan Slamet. Ayah empat anak ini mengaku, sebenarnya selama dua tahun ini, bahkan diketahui istrinya, ia telah menjalin cinta dengan Pon. Ketika kasus itu terjadi, katanya, "sebenarnya kami mau sama mau." Sutinah mengaku sengaja menjebak Pon karena cemburu. "Saya melakukan itu untuk mengetes (kesetiaan) suami saya," katanya. Ia, katanya, berharap Katimin akan marah kepada Pon ketika itu. Ternyata, Katimin malah memanfaatkan kesempatan itu untuk menzinai Pon. "Pon malam itu malah 'dimakan', bukan digertak," katanya kesal. Bingung, kan? "Polres Wonogiri kembali memproses kasus ini mulai dari awal. Apakah nantinya akan diklasifikasikan dalam perkara perkosaan atau perzinaan, polisi akan mempelajarinya," kata sumber di Polres Wonogiri. WY dan Slamet Subagyo (Biro Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini