Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar gembira datang dari Inggris. Ada cara baru untuk mendeteksi kemungkinan terkena serangan jantung atau penyakit jantung koroner, bahkan sampai 15 tahun ke depan. Hasil penelitian yang dilakukan kelompok peneliti dari University of Edinburgh dan University of Glasgow, Inggris Raya, itu menyebutkan troponin, protein yang dikeluarkan jika jantung mengalami cedera, bisa dijadikan alat untuk mendeteksi salah satu penyakit yang paling mematikan di dunia tersebut.
Para ahli mengatakan cara ini lebih efektif untuk mengetahui risiko penyakit jantung dibandingkan dengan mengukur tingkat kolesterol dalam darah dan tekanan darah. "Kolesterol dan tekanan darah penting dan terkait dengan risiko penyakit jantung, tapi troponin adalah cara langsung untuk mengukur cedera pada jantung," kata Nicholas Mills, profesor di British Heart Foundation, yang menjadi peneliti senior di University of Edinburgh, seperti dikutip dari Express, akhir Desember lalu.
Studi ini melibatkan lebih dari 3.000 pria berusia 45-64 tahun sebagai subyek. Mereka tak memiliki riwayat penyakit jantung, dengan kadar kolesterol yang sedang. Secara acak, mereka diberi obat penurun kolesterol statin atau plasebo selama lima tahun. Hasil penelitian menunjukkan kadar troponin bisa dipakai untuk memprediksi risiko menderita serangan jantung atau meninggal akibat jantung koroner hingga 15 tahun kemudian. Para peneliti juga menemukan statin, yakni salah satu jenis obat penurun kolesterol, bisa menurunkan kadar troponin dalam darah.
Mereka yang kadar troponinnya menurun berisiko lima kali lebih rendah mengalami serangan jantung atau meninggal akibat penyakit jantung koroner ketimbang yang tingkat troponinnya tak berubah atau meningkat. "Hasil ini sangat menarik dan bisa merevolusi cara kita menangani pasien yang berisiko menderita penyakit jantung koroner," ujar Mills.
Troponin sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia medis. Sudah bertahun-tahun protein ini digunakan untuk mengetahui masalah pada jantung. Dokter spesialis penyakit jantung Paskah Suciadi mengatakan troponin adalah salah satu penanda adanya masalah pada jantung. Namun saat ini troponin hanya digunakan untuk mengetahui dugaan serangan jantung yang terjadi saat itu juga, bukan memprediksi yang akan terjadi beberapa tahun ke depan. "Untuk orang yang dilarikan ke rumah sakit dengan dugaan serangan jantung, kita ukur kadar troponinnya sebagai pemeriksaan pelengkap," kata Paskah.
Selain berada di sel otot jantung, protein berada di sel otot lurik, tapi jumlahnya paling banyak ada di jantung. Ketika ada otot di jantung yang rusak, troponin dilepaskan ke dalam darah, sehingga keberadaan troponin yang tinggi akan menjadi penanda jantung menderita cedera. Semakin parah cedera, semakin banyak troponin yang dirilis. Karena itu, selain sebagai pendeteksi kerusakan otot jantung, troponin juga digunakan sebagai penanda harapan hidup pasien. "Semakin tinggi kadar troponinnya, harapan hidupnya semakin rendah," ujar Paskah.
Ada dua macam pengukuran troponin di laboratorium, yakni troponin I dan T. Secara klinis keduanya tak jauh berbeda. Tapi laboratorium biasanya menggunakan troponin T, yang ukurannya sudah distandarkan secara internasional. Dikatakan tinggi jika kadarnya di atas 99 persentil atau di atas 30 nanogram per liter. "Jika di atas itu, dikatakan naik atau positif mengalami cedera jantung," ujarnya.
Sedangkan troponin belum memiliki ukuran terendah atau cut off standar. Nilai terendah bergantung pada alat mana yang digunakan. Di Amerika Serikat, kata Paskah, paling tidak ada sepuluh alat ukur troponin I yang ukuran cut off-nya tak sama.
Menurut Paskah, penelitian troponin di Inggris ini menarik karena memberikan sudut pandang baru. Mereka yang tak memiliki sejarah penyakit jantung ternyata bisa memiliki kadar troponin tinggi dan bisa berisiko menderita penyakit jantung koroner beberapa tahun lagi.
Para peneliti juga meneliti tingkat kolesterol para peserta. Kolesterol sudah lama diketahui sebagai salah satu faktor risiko penyakit jantung. Kolesterol yang menumpuk bisa menyebabkan plak di dalam pembuluh darah, yang lambat-laun akan menyumbat sehingga aliran darah berkurang. Akibatnya, bisa terjadi stroke atau serangan jantung.
Namun, masalahnya, para peneliti tak menyebutkan berapa kadar troponin yang tinggi tersebut. Padahal mereka menggunakan jenis tes troponin yang berbeda dibanding pada umumnya. "Mereka menggunakan tes high sensitive troponin I, berapa cut off yang mereka pakai," katanya.
Kalau standar kadarnya diketahui, para peneliti juga tak menyebutkan apa yang harus dilakukan. Hal lain yang membingungkan adalah penggunaan statin sebagai penurun troponin. Selama ini troponin digunakan hanya sebagai penanda, bukan target terapi atau bagian yang harus diobati.
Menurut Paskah, beberapa kelemahan ini membuat penelitian tersebut belum bisa menjadi dasar tindakan medis. "Selama belum ada guide line atau panduan pengobatan, hasil penelitian tersebut belum bisa diterapkan," ujar dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Siloam Kebon Jeruk, Jakarta Barat, ini.
Dokter spesialis penyakit jantung Anwar Santoso mengatakan penelitian ini bisa menjadi pendekatan untuk pencegahan penyakit kardiovaskular. Namun karena penelitian ini baru dilakukan di Eropa, yang karakter genetiknya berbeda dengan Indonesia dan hanya kepada laki-laki, perlu dilakukan juga penelitian lanjutan untuk ras Asia. "Penelitian ini bisa jadi pendekatan," kata Ketua Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Indonesia ini.
Menurut Paskah, untuk memprediksi risiko menderita penyakit jantung koroner, ada cara yang sudah bisa dipraktekkan, yakni lewat evaluasi Euro Score atau Pooled Cohort Equation Atherosclerotic Cardiovascular Disease (ASCVD), yang sudah menjadi standar. Evaluasi ini biasanya dilakukan saat medical checkup di laboratorium. Isinya antara lain merekam berat badan, usia, dan kinerja jantung; mengukur kolesterol; serta menanyakan gaya hidup seperti paparan terhadap rokok dan minum alkohol.
Kian tinggi nilainya, kian besar risiko menderita penyakit jantung. Paskah menyarankan orang yang berumur di atas 45 tahun wajib melakukan tes tersebut. Semakin tinggi risikonya, pengecekannya wajib sering dilakukan, paling tidak setahun sekali.
Untuk mengurangi risiko, kata Paskah, ada tip yang bisa dilakukan, yakni cek kesehatan secara teratur untuk mengendalikan berat badan agar tetap ideal dan tidak mudah sakit, periksa tensi darah, gula darah, dan kolesterol secara teratur. Enyahkan asap rokok, rajin melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit sehari, diet yang sehat dan seimbang, istirahat cukup, serta kelola stres dengan baik dan benar. "Yang sering dilupakan itu perokok pasif. Perokok aktif dan pasif risikonya sama," kata Paskah.
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo