Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Penurunan Stunting vs Pemasaran Susu Formula

Pakar biologi nutrisi menyebut peningkatan penjualan susu formula sebagai satu penghambat penurunan kasus stunting di Indonesia.

12 Mei 2023 | 00.00 WIB

Ilustrasi susu formula. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi susu formula. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Satu dari empat bayi di Indonesia mengalami stunting.

  • Target penurunan prevalensi stunting dari 21 persen menjadi 14 persen pada 2023 sulit tercapai.

  • Pakar biologi nutrisi menyebutkan salah satu penyebabnya adalah tingginya penggunaan susu formula.

Satu dari empat bayi di Indonesia mengalami masalah serius yang sebenarnya bisa dicegah: tinggi badan kurang dari standar minimal atau yang dikenal sebagai stunting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Untuk mencegah stunting, Kementerian Kesehatan baru-baru ini mengeluarkan kampanye #CegahStuntingItuPenting dengan lima langkah utama. Dua di antaranya adalah mencukupi konsumsi protein hewani bagi anak usia 6 bulan ke atas dan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Meski demikian, produsen dan pemasaran susu formula (sufor) yang agresif dapat mengancam keberhasilan kedua langkah itu, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan penjualan sufor tercepat di dunia.

Data terbaru mengamini bahwa sufor kerap dikonsumsi anak berusia di bawah 3 tahun (batita). Survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di kalangan anak usia 6-23 bulan yang sudah tidak mengkonsumsi ASI menunjukkan 72,9 persen di antaranya mengkonsumsi susu formula.

Jika pemerintah tidak membatasi ketat pemasaran susu formula, target penurunan angka stunting dari 21,6 persen pada 2022 ke 14 persen pada tahun depan jelas sulit dicapai.

Kenapa Penggunaan Sufor Dapat Berdampak pada Stunting?

Meski diformulasikan secara khusus dan diberikan dengan indikasi tertentu, kandungan sufor tidak bisa mengalahkan ASI, terutama untuk mendukung kekebalan tubuh anak.

Anak dengan kekebalan tubuh yang kurang optimal rentan sakit sehingga mayoritas zat gizi yang dikonsumsi digunakan untuk melawan penyakit, bukan untuk tumbuh. Karena itulah, ASI eksklusif akan selalu menjadi salah satu langkah terbaik untuk mencegah stunting.

Namun penggunaan sufor pada periode anak berusia di bawah 3 tahun (12-36 bulan), yang dapat berdampak pada pemberian makanan bayi dan anak (PMBA), kerap luput diperhatikan.

Sufor terkadang menjadi alternatif ketika anak usia batita tidak mau makan. Padahal periode ini penting untuk membuat anak terbiasa dengan makanan tertentu (familiarization) dari segi rasa, tekstur, dan tampilan.

Sayangnya, 71 persen sufor untuk anak usia batita tergolong tinggi gula berdasarkan sistem Badan Standar Makanan Inggris (UK FSA). Selain itu, rata-rata kadar gula pada sufor untuk anak usia batita mencapai 7,3 gram per 100 ml, setara dengan kadar gula pada minuman berpemanis.

Hal ini berisiko membangun preferensi anak terhadap rasa manis pada periode sensitif di awal kehidupan. Akhirnya, hal ini membuat orang tua bergantung pada makanan dan minuman berpemanis sebagai pilihan yang lebih disukai anak.

Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa makin sering dan makin dini anak mengkonsumsi kudapan, termasuk minuman berpemanis, berhubungan dengan angka kejadian stunting yang lebih tinggi.

Makanan atau minuman manis pada masa usia balita ini dapat menggantikan makanan padat gizi yang dibutuhkan untuk mencegah stunting, terutama pada periode rentan, yakni usia 6 bulan-2 tahun. Usia ini merupakan saat prevalensi stunting meningkat pesat akibat pola makan anak tidak bisa mengimbangi kebutuhan zat gizi untuk tumbuh.

Ilustrasi etalase susu Formula di sebuah gerai di Jakarta. Dokumentasi TEMPO/Seto Wardhana

Pertumbuhan Penjualan Sufor di Indonesia

Maraknya pemasaran susu formula tergambar dari pesatnya penjualan produk tersebut di Indonesia dibanding di negara-negara lain.

Berdasarkan data penjualan sufor pada 2005-2019, Indonesia merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan penjualan sufor paling pesat, terutama pada kategori usia batita.

Sebuah data riset menunjukkan penjualan sufor pada 2011 mencapai Rp 12,3 triliun dan meningkat hingga Rp 24 triliun pada 2016, serta diprediksi naik 23 persen pada 2021. Data terbaru menunjukkan proporsi belanja sufor oleh keluarga di Indonesia dapat mencapai hampir 13 persen dari upah per bulan.

Sementara itu, survei terbaru di Kota Bandung mendapati 1 dari 2 anak usia batita mengkonsumsi sufor pada hari sebelum survei. Temuan serupa didapatkan pada survei di Jakarta yang menunjukkan bahwa 1 dari 3 anak usia batita mengkonsumsi sufor hingga lebih dari tujuh kali per minggu.

Penjualan sufor, khususnya pada periode batita, telah menjadi sumber pendapatan bagi produsen sufor. Jika tidak diawasi secara serius, target untuk mendukung gizi anak yang optimal akan terhambat.

Data terbaru menunjukkan empat dari lima provinsi dengan pembelian sufor tertinggi adalah provinsi dengan prevalensi stunting di atas 30 persen. Ini mengindikasikan bahwa konsumsi sufor memiliki dampak yang sangat besar terhadap kesehatan masyarakat.

Karena itu, untuk mengejar target penurunan stunting ke angka 14 persen pada 2024, pemerintah harus serius mencari celah pencegahan yang belum tergarap maksimal, salah satunya pemasaran sufor.

Ilustrasi susu formula. Shutterstock

Pelanggaran Pemasaran Sufor di Indonesia

Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia masih belum secara signifikan mengintegrasikan The International Code of Marketing of Breast-Milk Substitutes atau The Code sebagai kode etik pemasaran sufor dalam peraturan nasional.

Regulasi di Indonesia saat ini baru mencapai skor maksimal pada satu aspek, yaitu aturan mengenai promosi di fasilitas kesehatan, dari total tujuh aspek implementasi The Code.

Terdapat beberapa bagian The Code yang belum tercakup secara maksimal dalam regulasi Indonesia, terutama pada aspek materi informasi, promosi publik, keterlibatan sistem dan tenaga kesehatan, serta pelabelan. Misalnya, belum ada kewajiban bagi produsen untuk menyampaikan bahaya kesehatan dari pemberian sufor yang tidak tepat; dampak sosial dan finansial penggunaan sufor; belum adanya larangan alat promosi sufor di tingkat pengecer; serta belum adanya kewajiban pengawasan aturan yang mandiri, transparan, dan bebas dari pengaruh komersial.

Menariknya, belum ada pula aturan klaim gizi dan kesehatan khusus sufor untuk anak usia batita.

Integrasi The Code dan pengawasannya menjadi hal yang mendesak, mengingat pelanggaran The Code kerap ditemukan dan berkembangnya media sosial sebagai media promosi secara masif yang sulit diawasi. Kementerian Kesehatan perlu memperhatikan hal ini dengan lebih serius.

Dalam studi di enam provinsi di Pulau Jawa, sebanyak 15 persen ibu menerima sampel sufor gratis dan 16 persen menerima hadiah, seperti kaus untuk anak, dari perusahaan sufor—kedua hal itu melanggar The Code.

Pelanggaran The Code perihal iklan yang memasarkan sufor di media sosial dan media massa kerap ditemukan, terutama pada sufor untuk anak usia batita. Selain pemasaran, media sosial digunakan oleh produsen sufor untuk mendata calon konsumen ataupun untuk berkontak langsung dengan ibu yang berhasil meningkatkan jumlah konsumen sufor.

Di antara para ibu yang pernah berbicara dengan tenaga kesehatan (nakes) mengenai sufor, 83 persen di antara nakes tersebut menyarankan merek tertentu. Hal ini juga menjadi catatan untuk meningkatkan kesadaran di kalangan nakes mengenai The Code. Studi menunjukkan hanya 45 persen nakes yang memiliki kesadaran akan The Code.

Dengan demikian, edukasi mengenai ASI eksklusif serta pemberian makanan bayi dan anak tetap menjadi garda terdepan untuk mencegah stunting. Namun berbagai pelanggaran pemasaran susu formula ini menunjukkan perlunya kombinasi dengan tindakan tegas dari pemerintah untuk mengawasi pemasaran sufor demi zero stunting di Indonesia.

---

Artikel ini ditulis oleh Davrina Rianda, mahasiswa doktoral biologi nutrisi di University of California, Davis, Amerika Serikat. Terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus