Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Terlalu Banyak Pilihan Untuk Si ...

Sampai 1975 terdapat sekitar 7.000 merek dagang obat dari 1.700 generic. 2,5% masih mengimpor. perlu pengawasan mutu yang ketat. kesehatan masyarakat harus terjamin. (ksh)

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUKAR dipercaya, tapi nyata: sudah ada 7000 lebih merek dagang obat-obatan yang terdaftar di sini. Maka agak membingungkan untuk memilihnya. Dan sekarang satu kebiasaan baru mulai berjangkit di sebagian dokter kita. Mereka tidak lagi menuliskan generic (nama dasar obat) tetapi sudah mencantumkan merek-dagang. Proses pemilihan ini dilakukan di bawah pengaruh kampanye besar-besaran yang dilancarkan produsen. Mereka misalnya menghadiahi para dokter dengan alat tulis-menulis, asbak atau almanak di mana merekdagang mereka tercantum. Sampai pun mensponsori pertemuan-pertemuan dokter. Dengan bendabenda itu seorang dokter yang akan menuliskan resep tetracycline misalnya, tak perlu lagi mengerutkan jidat untuk mengingat-ingat satu di antara sekian banyak merek obat antibiotika. Sebab di depan mereka sudah ada benda-benda pengingat, seperti tabung-penyimpan-klip-kertas bertuliskan Dumocycline. Seorang dokter yang baik tentunya tidak akan terpengaruh dengan teknik-teknik promosi. Mereka memilih obat karena mereka tahu betul mutunya. Hanya mereka yang suka mengkomersiilkan gelar yang suka ambil untung dari persaingan keras antar produsen. Pasar begitu sempit untuk jumlah merek dagang yang begitu melimpah, tapi para ahli pemasaran tidak habis akal. Satu di antara kepandaian berdagang itu terlukis dalam sebuah laporan yang ditulis seorang detailman kepada induk perusahaannya di Jakarta, belum lama ini: "Dalam kunjungan saya ke Padang, Palembang dan Medan telah diketahui bahwa beberapa perusahaan melakukan kompetisi kotor terhadap perusahaan farmasi lain, dengan mengkontrak dokter-dokter tertentu dan memberikan mereka sejumlah uang imbalan. Jumlahnya biasanya 10% dari harga-resep, atau sekitar Rp 20.000 (tak disebut perhari atau perbulan- Red). Akibatnya beberapa dokter terkenal di sana yang biasanya menuliskan obat kita, sekarang tak melakukannya lagi dan menggantinya dengan obat buatan perusahaan tersebut". Persaingan dan dunia usaha memang satu. Detailman di atas kalah karena tak sanggup mengeluarkan ongkos tambahan untuk memegang dokter langganan-lamanya. Meskipun mutu obatnya lebih baik, barangkali. Dari persaingan perusahaan farmasi ini terlihat kemungkinan bahwa pemenangnya akan menambahkan ongkos promosi tadi ke dalam biaya produksi. Atau kalau bukan demikian mereka akan menurunkan mutu. Dalam keadaan di mana ada-main antara pabrik, dokter serta apotik, sukar untuk mengetahui apakah harga yang telah dinaikkan ataukah mutu yang sengaja diturunkan. Sementara pengawasan mutu menjadi pekerjaan yang hampir musykil karena begitu banyaknya merek-dagang. Itulah sebabnya ada pihak yang beranggapan sekarang ini sudah tiba saatnya untuk meng-KB atau menciutkan jumlah obat-obatan. Belum pernahnya Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan melaporkan tentang ditemukannya mutu obat yang di bawah standar oleh laboratorium milik pemerintah, memberikan alasan yang lebih kuat lagi bagi pikiran tadi. Salah pasang etiket pada sebuah obat-suntik atau vitamin C yang hampa, yang hanya berisi asam citrat yang disiarkan pers tempo hari, adalah berdasarkan laporan pabrik sendiri. Atau oleh pabrik lain, yang untuk kepentingan perusahaan telah melakukan "kegiatan mata-mata" terhadap pabrik saingannya. "Bagi kami para dokter timbul pertanyaan apakah kwalitas dari obat-obat yang jumlahnya membingungkan ini bisa dipertahankan. Quality control apakah dilaksanakan?", tanya Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia yang baru, Utoyo Sukaton. "Apakah pabrik-pabrik farmasi punya peralatan yang cukup, atau hanya nebeng? Saya cuma mencemaskan hari-hari mendatang, sebab sampai saat ini kwalitas mereka masih cukup baik", sambungnya pula. Peralatan pabrik-pabrik obat itu mungkin ada yang tak perlu dicemaskan dr Utoyo, sebab di antara mereka misalnya ada yang sampai-sampai mampu menyumbang alat pengawas spectrophoto meter kepada Departemen Kesehatan.Tapi dari 243 buah pabrik yang bertebaran di sini -- terutama di Pulau Jawa -- ada juga yang memang mengandalkan pengawasan mutu pada pihak luar, seperti pada Bagian Farmakologi Universitas Indonesia, Jakarta. Soal pengawasan mutu ini, menurut Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, drs Sunarto Prawirosuyanto "diawasi sejak pabrik akan didirikan. Persyaratan bangunan harus sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan dari sini. Dan untuk menjaga supaya produsen benar-benar mau menjaga mutunya, mereka diharuskan memiliki spectro photometer dan mesin untuk mentest tablet. Jika mereka punya niat baik, dengan alat-alat itu obat-obatan yang mereka buat bisa diperiksa secara benar", katanya. Pemerintah sendiri, katanya, melakukan pengawasan melalui laboratorium yang di pusat dan di tujuh kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, Ujungpandang) dengan dibantu oleh laboratorium ukuran kecil di sepuluh daerah. Pemeriksaan dilaksanakan dengan mengumpulkan contoh-contoh obat yang diambil dari pasar atau dari pabrik. Untuk pengawasan mutu obat-obatan yang berjumlah ribuan itu, orang minta pengayoman dari pemerintah. Tetapi bagi mereka yang yakin dengan teori "yang membuat barang buruk akan mati sendiri", harapan khalayak itu dianggap terlalu memberatkan tugas pemerintah. "Saya kira pengawasan yang paling penting terletak pada produsen sendiri. Mereka haruslah mengawasi produksinya mulai dari bahan baku, fasilitas penyimpanan sampai pemasaran. Sedangkan pemeriksaan taraf berikut dikerjakan oleh Departemen Kesehatan. Sebab saya yakin tak semua macam obat bisa diperiksa. Sehingga pemeriksaan pada taraf ini cukup insidentil dan atas dasar laporan-laporan pemakai", ulas dr Iwan Darmansjah, Kepala Bagian Farmakologi Universitas Indonesia. TUGAS pengawasan mutu yang menjadi pelik ini bermula dari kebijaksanaan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (dulu bernama Direktorat Jenderal Farmasi) yang dalam tahun 1972 membuka pintu selebar-lebarnya bagi penanaman modal dalam negeri maupun asing. Seperti yang dikatakan Sunarto Prawirosuyanto, "sejak tahun 1974 Indonesia akan tertutup untuk impor obat-obatan. Waktu itu para pengusaha masih bersikap menunggu terhadap kebijaksanaan tersebut. Tapi mereka yang percaya kepada saya menyambutnya dengan antusias. Dan dengan adanya pula Instruksi Presiden untuk obat-obatan bagi daerah, orang tambah ramai lagi". Sunarto berkisah. Dan berbarengan dengan memuncaknya penanaman di bidang obat-obatan itu pulalah, pada awal tahun 1975 direktorat yang dipimpinnya mengambil kesempatan merapikan pencatatan merek-dagang, sekaligus mengeduk tagihan Rp 10.000 untuk tiap jenis obat produksi dalam negeri dan Rp 100.000 untuk obat asing. "Ketika itu yang dilakukan baru dalam taraf registrasi merek saja, sedangkan penilaian mutu dilaksanakan kemudian", kata Dirjen. Ketika itu terdaftarlah sekitar 7000 merek-dagang yang menggunakan lebihkurang 1700 generic. Dengan jumlah sebanyak itu Indonesia toh belum juga bisa menutup pintu terhadap impor obat-obatan. Sebab sekitar 2 1/2% dari oliat yang beredar di sini masih juga diimpor dari luar, terutama obat obatan yang mahal dan khasiatnya terutama tertuju untuk penyakit yang diderita sebagian kecil dari masyarakat. Seperti obat jantung dan kanker. Yang benar-benar tertutup waktu itu adalah pulau Jawa. Kata Sunarto: "Sejak tahun 1975 Jawa tertutup untuk pabrik baru, mereka yang masih mau tanam modal silakan ke luar Jawa. Tapi kebijaksanaan ini tidak mendapat sambutan. Mungkin karena komunikasi yang sulit. Sedang pasar di luar Jawa kecil sekali". Dasar-dasar untuk menjaga mutu memang sudah dipancangkan oleh Direktorat Jenderal POM. Seperti yang dikatakan Sunarto, itu tampak dalam bentuk pengawasan yang dimulai dari rencana bangunan pabrik dan persyaratan berupa mesin-mesin penguji. Itulah makanya batasan jumlah merek-dagang unluk satu jenis generic tidak dibatasi. Antibiotika untuk penyakit-penyakit infeksi dalam masyarakat seperti Indonesia tentu saja mendapat pasaran yang paling ramai. Dan obat ini boleh dikatakan sebagai sumber penghasilan utama para produsen. Hampir tiap pabrik yang berjumlah lebih dari 200 itu mengeluarkan obat ini dengan merek dagangnya masing-masing. "Malahan ada sebuah pabrik obat yang membuat 2 merek untuk tetracycline", kata seorang dokter Puskesmas di Jakarta. Saingan yang banyak, dokter dan pasien yang terbatas menjadi gelanggang para detailman untuk adu kepintaran membujuk, meyakinkan atau menyogok. Di rumah-sakit rumah-sakit kota besar simpang-siurlah anak-anak-muda tampan-berdasi dengan tas mereka yang khas itu, berbaur dengan para pasien. Tak lupa tempat-tempat praktek pribadi diketuk pula pintunya. "Mereka terasa mengganggu. Itulah makanya saya hanya memberi waktu mereka hari Senin-Kamis saja dan jam jam tertentu", keluh Utoyo Sukaton. Dokter sendiri bisa bingung menghadapi jumlah obat-obatan yang sekarang. Apalagi seorang awam yang barangkali untuk obat kepalanya terpaksa memilih di antara puluhan obat pusing. "Apakah perlu begitu banyak merek", tanya Utoyo Sukaton, spesialis penyakit kencing-manis. "Obat campuran Bl, B6 dan B12 ada enam atau tujuh merek. Padahal tiga saja saya kira sudah cukup", jawabnya sendiri. Sementara itu kata dr. Iwan Darmansyah: "Kompetisi yang bebas menimbulkan kelemahan, berupa sikap pabrik yang hanya mau membuat obat laris. Ini tentu mempersulit pengawasan". Usulnya: "Sebaiknya obat seperti tetracycline dibuat oleh beberapa pabrik saja dengan omset yang besar. Dengan demikian pabrik tidak mengurusi soal-soal tetek-bengek lagi. Ekonomi negara untung dan pengawasan menjadi lebih mudah", begitu tanggapan dr Iwan Darmansyah dari UI. Kalau pun penciutan jumlah sudah masanya, bagaimana cara melaksanakannya? POM sendiri tidak akan mengeluarkan sesuatu keputusan mengenai hal ini. "Saya menolak monopoli-monopolian", kata Sunarto satu ketika, "biarlah mereka yang kalah dalam persaingan mundur sendiri". Dan pimpinan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, drs Edy Lembong pendapatnya selaras benar dengan pikiran drs Sunarto. "Sulit sekali untuk membatasi jumlah merek obat-obatan. Lagi pula tidak perlu dan tidak baik. Apalagi kalau dilaksanakan dengan peraturan pemerintah", kata Lembong. Menurut Lembong, pembatasan obat obatan itu akan berlangsung dengan sendirinya. Ada beberapa mekanisme yang bagi Lembong akan menyederhanakan jumlah merek. Antara lain kesadaran masyarakat akan mutu obat, tahu tentang bio-availability atau adanya khasiat yang berbeda-beda dari jenis obat yang sama karena diolah dengan keahlian dan kemampuan yang berbeda yang diserahkan kepada masyarakat". Dia juga menyebutkan tentang persaingan pasar, daya beli masyarakat yang semakin meningkat, mutu yang distandarkan pemerintah dan kebijaksanaan pemerintah yang selalu membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memakai obat-obat baru. Tentunya dari pihak pemerintah sendiri masyarakat mengharapkan obat yang sama mempunyai efek terapetik yang sama -- bioequivalence. Di kalangan dokter sendiri pendapat tentang perlunya penyederhanaan jumlah merek ini memang agak keras, seperti yang tercermin dalam pikiran Iwan Darmansyah, orang yang juga mengepalai satu usaha monitoring efek-samping obat yang dilaporkan dokter. "Sampai tahun 1975 jumlah merek sudah melebihi 7000, padahal Swedia dan Jerman cuma 2000 merek", katanya. Menurut keterangannya untuk sebuah rumahsakit sebenarnya 150 sampai 200 generic sudah cukup. Sementara itu kepada masyarakat perlu ditekankan bahwa obat tak perlu terlalu banyak. Saya kira 90% dari pasien yang datang kepada praktek seorang dokter hanya membutuhkan 20 macam obat". Sedangkan pengalaman Utoyo Sukaton menunjukkan "paling banyak 15 merek dagang". Menyederhanakan jumlah merek-dagang obat-obatan sebenarnya bukan hanya menjadi impian dokter di sini. Pihak badan kesehatan dunia sendiri -- WHO dalam sebuah pernyataannya yang dikeluarkan tanggal 21 Oktober yang baru lalu menganggap penciutan merek ini sudah waktunya. Sebab persaingan bebas di pasar belum tentu tidak akan berpengaruh terhadap mutu obat-obatan. "Satu proses pemilihan yang dinamis terhadap obat-obatan esensil jika dikombinasikan (dengan sistim informasi yang intensif di tambah pendidikan kesehatan masyarakat akan dapat memperbaiki mutu, manajemen dan penggunaan obat untuk kesehatan", begitu hasil rapat para konsultan WHO baru-baru ini di Jenewa. Pertemuan itu diadakan untuk memilihkan obat-obatan terpenting dalam rangka membantu negara-negara berkembang. Satu daftar yang terdiri dari 150 zat-zat aktif obat telah dipersiapkan oleh para peserta sebagai salah satu contoh obat-obatan yang diperlukan masyarakat. Dan badan kesehatan dunia itu diminta untuk membantu pemerintah-pemerintah yang jadi anggota, dalam memilihkan obat-obat tersebut. Sunarto sendiri, terhadap hal ini hanya mengatakan: "Sulit. Itu sulit dilaksanakan. Bayangkan, pemerintah India saja beranggapan untuk mengobati penyakit yang ada di sana sebenarnya cukup diatasi dengan 116 obat, tapi nyatanya sekarang mereka punya lebih besar dari kita. Mereka punya 15.000 macam. Janganlah berorientasi kepada Swedia, sebab penduduk negara itu kurang dari penduduk Kebayoran", jawabnya. Jika Dirjen POM teguh dengan pendiriannya mengenai "kompetisi bebas" dan penciutan itu akan datang melalui persaingan, untuk melindungi konsumen agaknya dia sudah waktunya bertindak terhadap obat-obatan yang diragukan efek pengobatannya. Seperti kata dr Iwan Darmansyah banyak obat yang menunggangi kemauan yang bukan-bukan dari masyarakat. "Ada obat yang katanya bisa membuat orang lebih pintar . Dan orang memang banyak mencarinya. Sementara pabrik mengatakan bahwa efek obat tersebut akan memakan waktu lama. Obat semacam ini, yang diragukan efek terapetiknya, harus segera dibuang. Malahan vitaminpun tidak perlu terlalu banyak. Jika orang sudah makan cukup tak perlu vitamin lagi. Jangan membuang-buang uang", katanya. Kesehatan masyarakat yang lebih terjamin, inilah yang menjadi latarbelakang pendirian para dokter yang menganggap jumlah merek sekarang sudah terlalu banyak. Sikap pemerintah sendiri telah digambarkan dalam pendapat-pendapat drs Sunarto: ingin melihat pertumbuhan industri obat yang maju mengikuti pertumbuhan produksi di lapangan lain. Tapi dialog langsung dari kedua fihak ini belum pernah terjadi secara terbuka. Badan-badan yang tampaknya bisa memainkan peranan perantara, seperti Panitia Penilai Obat Jadi, kurang efektif. Tetapi pendapat-pendapat yang terus berkembang bagaimana pun akan membantu semua fihak dalam menentukan arah. Siapa tahu dalam Kongres ke Vl Federasi Perkumpulan Ahli-Ahli Farmasi Asia (FAPA) yang dimulai dari tanggal 22 Nopember ini, selama lima hari, akan menelorkan jalan tengah buat Indonesia. Sebab tema kongres ini sendiri memang dekat sekali dengan persoalan yang sedang kita hadapi: Kesehatan Masyarakat Yang Lebih Baik Melalui Obat-Obatan Bermutu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus