SAMPAI akhir pekan lalu belum ada kepastian apakah majalah
berita mingguan Newsweek kini dilarang beredar di Indonesia.
Home Service Alf, yang menjadi penyalur tunggal majalah itu --
dan berbagai majalah Amerika dan asing lainnya -- tak bisa
memberi keterangan jelas ketika ditanya soal itu. Kepada TEMPO,
seorang pegawainya hanya mengatakan: "Masih belum ada clearance
dari Kejaksaan Agung kapan Newsweek bisa kembali beredar".
Fihak Kejaksaan Agung yang berwenang dalam soal itu juga tak
bisa memberi keterangan yang pasti apakah Newsweek untuk
selanjutnya distop masuk di sini. Humas Kejaksaan Agung Tomasouw
SH dalam keterangannya liwat telepon Sabtu pagi kemarin
mengatakan: "Belum tahu ada larangan masuk berikutnya". Kata
Tomasouw, "yang saya tahu pasti, memang ada larangan peredaran
Newsweek edisi 8 Nopember lalu". Laporan utama Newsweek 8
Nopember lalu tentang Indonesia -- dengan gambar kulit muka
Presiden Soeharto -- mengundang banyak reaksi, setelah Letjen
Ali Moertopo dan Menlu Adam Malik mengecam isi tulisan yang
mengkritik Indonesia, kepemimpinan Presiden dan pribadi Ny. Tien
Soeharto itu (TEMPO, 20 Nopember).
Sudomo
Beberapa hari setelah itu -- yang menyebabkan majalah itu jadi
laris di Singapura dan beredar pesat di Jakarta secara gelap --
reaksi keras keluar dari Kas Kopkamtib Laksamana Sudomo. Baik
ketika menghadiri HUT Korps Marinir di Cilandak maupun sesaat
sebelum dimulainya sidang stabilisasi, politik dan keamanan
(Polkam) di Bina Graha 16 Nopember lalu, Sudomo dengan tegas
berkata: "Larangan masuk Newsweek ke Indonesia berlaku untuk
waktu yang tidak ditentukan, sampai Newsweek mengambil tindakan
terhadap wartawan yang menulis berita utama itu". Sudomo juga
menyatakan bahwa selain Richard M. Smith, editor regional untuk
Asia yang menulis laporan utama itu dilarang masuk ke Indonesia,
"semua orang asing yang ada hubungannya dengan Newsweek harus
pergi dari Indonesia, kalau benar mereka ada hubungan dengan
majalah tersebut", katanya.
Seusai sidang Dewan Polkam itu Sudomo memang tak lagi banyak
memberi keterangan. Tapi Menlu Adam Malik yang hari itu ikut
sidang, tampak mengajak Sudomo ke suatu sudut di Bina Graha dan
berbincang-bincang sebentar. Tak diketahui apa yang dibicarakan
kedua pejabat tinggi itu. Tapi esoknya Menlu Malik kepada pers
menyatakan "tak setuju Newsweek dilarang beredar seterusnya,
tapi cukup dengan melarang beredar edisi 8 Nopember yang isinya
memang menjelek-jelekkan Pemerintah dan Kepala Negara RI". Adam
Malik juga berpendapat, "tak perlu seluruh wartawannya dilarang
masuk ke Indonesia, tapi cukup terhadap yang bersangkutan saja,
yaitu Richard Smith. Tentang pembantu lepas Newsweek, Judy Bird
Williams di Jakarta, Menlu berpendapat tak ada persoalan.
Menanggapi komentar Adam Malik, Kas Kopkamtib Jum'at lalu
mengatakan, "adalah wajar timbul beda pendapat dalam negara
demokrasi". Mengakui bahwa Menlu mengusulkan kepadanya ketika di
Bina Graha akan Newsweek tak dilarang, beda pendapat itu menurut
Sudomo, "tak berarti di antara pejabat-pejabat pemerintah tak
ada kesatuan bahasa. Tapi pak Adam mungkin melihatnya dari sudut
lain". Penglihatan dari sudut yang lain, agaknya juga keluar
dari Menteri Penerangan Mashuri. Selain mengatakan "wartawannya
di Jakarta sudah diberi peringatan keras" (maksudnya Judy Bird
Williams - Red), Mashuri juga mengatakan "masih dipertimbangkan
untung ruginya" apakah pembantu lepas Newsweek di Indonesia itu
akan diusir.
Keras?
Judy Bird Williams, yang ditemui TEMPO Jumat lalu di rumahnya,
tampaknya tenang-tenang saja. Dia memang sudah menghadap Deppen
dan Kejaksaan Agung, mewakili Richard Smith. "Surat panggilan
dari kedua instansi itu bukan untuk saya, tapi untuk Smith",
katanya. Apakah memang anda mendapat peringatan keras?
"Samasekali tidak bahkan pejabat Deppen dan Kejaksaan Agung yang
saya temui bersikap sopan dan sangat ramah", katanya.
Merasa tak ada sangkut pautnya dengan isi tulisan Smith, Judy
Williams menerangkan memang membantu Smith dalam membuat
perjanjian untuk bertemu dengan para pejabat sesuai dengan yang
ingin ditemui atasannya itu. Smith yang sudah ketiga kalinya
datang di Indonesia, menurut Judy pada mulanya bermaksud menulis
soal-soal yang lebih menyangkut masalah ekonomi: seperti masalah
Pertamina, masalah hutang tanker-tanker Samudra, soal LNG dan
lainlain. "Tapi soalnya rupanya menjadi lain ketika timbul
masalah Sawito dan Fahmi Basya", katanya. "Maka saya pun memberi
tahu Smith yang ketika itu masih di Australia tentang
perkembangan politik di Indonesia".
Smith, yang menurut Menteri Mashuri selalu memenuhi prosedur
Deppen, kali inipun memberitahukan kepada Deppen para pejabat
mana saja yang ingin dihubungi. Maka Judy Williams mengemukakan
lis pejabat yang ingin ditemui Smith: yakni Menteri Ekuin
Widjojo Nitisastro untuk hal-hal yang menyangkut pembangunan
umumnya dalam Pelita II, Menteri Pertambangan Moh. Sadli tentang
negosiasi kembali dengan para kontraktor minyak asing, Menteri
Sumarlin tentang masalah hutang tanker samudra, Menteri Dalam
Negeri Amirmachmud tentang Pemilu nanti dan Menteri Penerangan
Mashuri sendiri. "Bahkan Smith sebulan sebelum masuk Indonesia
minta melalui saya agar bisa menemui Presiden Soeharto" kata
Williams. "Tapi ternyata setelah diusahakan beberapa kali
melalui Sekneg, tak berhasil karena kesibukan dan kesehatan
Presiden yang baru dioperasi ibu jarinya".
Berusaha
Menurut Menteri Mashuri ada beberapa pejabat yang berhasil
ditemui Smith. Tapi baik menteri maupun Judy Williams tak
bersedia menyebutkannya. Selama 9 hari di Jakarta, menurut
Williams, Smith juga berusaha sendiri untuk menemui Letjen Ali
Moertopo.
Tapi bagaimana sampai tulisan Smith itu diangkat menjadi laporan
atama Newsweek? Judy Williams menjelaskan, itu adalah putusan
Editor edisi Internasional. "Sebagai editor regional untuk Asia,
Smith punya kedudukan yang penting dalam Newsweek. Ada
perjanjian bahwa setiap tulisan Smith harus dimuat penuh atau
ditolak samasekali. Kalaupun terpaksa harus dipotong, itupun
berdasarkan pertimbangan ruangan, tapi sebelumnya harus minta
persetujuan dulu pada penulis".
Dari lembaran-lembaran Newsweek diketahui Smith -- yang sudah
membuat lebih dari 20 laporan utama mengenai berbagai negeri
dalam Newsweek adillah lulusan Columbia University. Dia juga
ahli masalah-masalah internasional dan duduk sebagai anggota
sebuah dewan untuk hubungan LN di New York. Karirnya dalam
Newsweek dimulai Oktober 1970 dengan kedudukan sebagai
Associated Editor. Tiga tahun kemudian, dia naik pangkat menjadi
anggota staf General Editor, kemudian menjabat kedudukannya yang
sekarang bermarkas di Hongkong. Kini dia kabarnya berada di
Seoul, ibukota Korea Selatan untuk mempersiapkan tulisan panjang
tentang negeri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini