TAK satu pun dari kelima agama resmi di Indonesia yang menolak pajak. Itu terlihat dengan terbitnya buku panduan dari masing-masing agama tentang pajak. Kelima buku panduan tersebut diserahkan oleh Menteri Keuangan kepada masing-masing pemimpin agama pada awal Maret lalu. Dalam agama Hindu, misalnya, ketentuan mengenai kewajiban membayar pajak ditetapkan oleh Manu di dalam kitab Manawa Dharma Sastra, terutama pada bagian yang membahas kewajiban Catur Varna (empat golongan): Brahmana, Ksatria, Vaisya, dan Sudra. Dalam kitab tersebut diperintahkan bahwa setiap Varna wajib membayar pajak. Namun, kewajiban itu tidak jatuh kepada semua golongan dengan alasan-alasan tertentu, misalnya demi keadilan dan pemerataan. Orang cacat dan orang tidak memiliki sesuatu tidak diwajibkan membayar pajak oleh raja, walau dalam keadaan apa pun, umpamanya kas negara kosong. Membayar pajak ini, dalam konsep Hindu, juga dimaksudkan sebagai balas jasa rakyat kepada raja atas jaminan keamanan yang diberikan. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra disebutkan, "Seorang kesatria (raja atau petugas-petugas pemerintah) yang dalam keadaan susah mengambil seperempat dari hasil panen dinyatakan bebas dari kesalahan kalau ia melindungi rakyatnya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya." Ayat ini menunjukkan bahwa raja atau negara dibenarkan memungut pajak asalkan memberi perlindungan kepada rakyat. Kitab Veda, kitab suci umat Hindu, juga membenarkan dijatuhkannya sanksi terhadap wajib pajak yang berusaha menghindari kewajibannya, misalnya dengan memalsu data-data barang yang harus dikenakai pajak. Sanksi itu dalam bentuk denda beberapa kali lipat dari nilai pajak yang harus dibayarnya. Umat Buddha juga dianjurkan membayar pajak. Dalam kitab Anguttara Nikaya, Buddha bersabda, "Dengan harta kekayaan yang dikumpulkannya dengan semangat, dengan cara sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya, orangtuanya, istri dan anaknya juga bahagia, pelayan dan bawahannya, sahabat dan kenalannya dan orang-orang lain juga bahagia," dengan cara "Membayar pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci untuk mengumpulkan pahala." Dengan demikian, seorang Buddhis yang baik tidak akan menolak membayar pajak kepada pemerintah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam Injil Matius 17 Ayat 24 sampai 27 dikisahkan tentang Yesus sebagai warga negara yang taat membayar pajak. Ketika Yesus dan murid-muridnya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?" Jawabnya: "Memang membayar. "Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahului dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja di dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?" Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi, bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kau pancing tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagiku, dan bagimu juga." Meski sejumlah umat Islam masih mempersoalkan apakah pajak dan zakat bisa dianggap sama, pendapat yang mengatakan pajak adalah ketetapan pemerintah dan zakat adalah ketetapan Ilahiah umum diterima untuk sementara. Dan dalam ketetapan pemerintah, kata Surat An Nisaa ayat 59: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, rasul, dan ulil amri di antara kamu." Ulil amri itulah pemerintah yang Islami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini