ZAKAT adalah roh. Pajak adalah badan wadaknya. Itu bukan sepotong puisi tapi pendapat seorang cendekiawan muda Nahdlatul Ulama dalam sebuah seminar Rabu pekan lalu di Institut Pertanian Bogor. Masdar F. Mas'udi, si empunya pendapat itu, sampai pada kesimpulan itu setelah mengkaji sejarah munculnya zakat. Pada masa jahiliah, katanya, pajak dipersepsikan sebagai persembahan rakyat kepada penguasa. Maknanya, penggunaan dana yang terkumpul itu jadinya sama sekali terserah pada diri sang raja. Dengan kata lain, seandainya dana itu habis untuk keperluan raja dan keluarganya tidak akan dipersoalkan. Lalu datanglah Nabi Muhammad saw. dan Islam. Dalam agama ini, salah satu pemikiran dasarnya adalah, segalanya di dunia ini berjalan atas kehendak Allah. Jadi? Kata Nabi, pajak bukan persembahan rakyat kepada sang raja tapi persembahan manusia kepada Tuhan. Bacalah Quran, Surat At Taubat, Ayat 104: "Tidakkah mereka sadari bahwa Allah sajalah yang berhak mengampuni dosa manusia dan yang berhak memungut pajak?" Maka dengan roh baru ini, kata Masdar, raja atau pemerintah tidak lagi sebagai pemilik harta zakat melainkan sebagai pelaksana alias Amil. Sebagai pelaksana, aparat pemerintah hanyalah tangan yang menjalankan amanat Tuhan untuk menyalurkan dana tersebut kepada yang berhak. Inilah cara Islam mencoba mengatasi ketimpangan sosial. Tapi konsep ideal itu, moralitas zakat yang perkasa itu, kata Masdar, hanya tinggal cerita selama kurang lebih 13 abad ini. Itu berawal di pertengahan masa kekuasaan Khalifah Ustman, salah seorang dari Khalifah Ar Rasyidin. Di zaman itu roh zakat dipisahkan secara perlahan-lahan dari lembaga pajak. Lalu kepadanya, kepada zakat itu, diberikan raga yang baru, yakni "sedekah thatthawwu" yang hanya mampu menyentuh kebutuhan perorangan. Maksudnya, berapa pun besar infak seorang muslim kepada seseorang yang patut menerimanya, bila tak lewat otoritas negara, sumbangan itu jatuh sebagai sedekah biasa (tathawwu) yang bersifat ekstra (nafilah) dan tidak bisa menggugurkan kewajibannya membayar pajak. Lalu kembali konsep di zaman jahiliyah ditegakkan. Penafsiran zakat sebagai konsep perpajakan ini hampir setahun dicanangkan oleh Masdar kepada masyarakat lewat bukunya, Agama Keadilan. Juga ia sodorkan lewat berbagai halaqah (kelompok kajian). Tapi kajian yang serius itu tampaknya belum mendapat tanggapan positif dari para ulama. Hampir semua ulama kita, kata Masdar, melihat konsep zakat dan pajak secara terpisah. Ketua Majelis Ulama Indonesia K.H. Hasan Basri, guru besar di Institut Ilmu Alquran K.H. Ali Yafie, dan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Azhar Basyir memandang zakat tidak bisa disatukan dengan pajak karena banyak perbedaannya. "Zakat tidak dapat dijadikan pajak dan pajak tidak dapat dijadikan zakat," kata K.H. Hasan Basri. Yang lebih berargumentasi adalah Azhar Basyir. Zakat diperintahkan lewat wahyu Ilahi, kata Azhar. Sedangkan pajak diperintahkan oleh penguasa. Dan ketaatan pada penguasa itu dianjurkan oleh Surat An Nisa, Ayat 59, yang menyatakan bahwa umat beriman wajib taat kepada Allah, kepada Rasul, dan kepada penguasa atau pengelola negara. Azhar tak berhenti di situ. Ia pun menyebutkan bahwa membayar zakat diwajibkan bagi orang yang memiliki harta yang mencapai senisab, sejumlah tertentu menurut ketentuan para ulama. Pajak tidak demikian. Orang yang mempunyai penghasilan sangat kecil pun diharuskan membayar pajak, meski tak secara langsung. Di Indonesia, umpamanya, seseorang yang membeli rokok pada hakikatnya terkena pajak tak langsung -- tak peduli apakah dia seorang milyuner atau seorang abang becak. Masih ada lagi perbedaan antara zakat dan pajak. Yakni perbedaan kriteria penerimanya. Menurut Azhar Basyir, dalam hal pajak, si wajib pajak bisa ikut menikmati penggunaan pajak. Misalnya, ia ikut juga menggunakan jalan dan jembatan yang dibangun dari dana pajak. Sebaliknya, wajib zakat tidak ikut menikmati penggunaan zakat. Sampai di sini, apa kata Masdar? Azhar memang benar tapi pendapatnya itu tidak bertolak dari pengertian zakat secara bulat. Ia, kata Masdar, bertolak dari pandangan bahwa penerima zakat hanyalah fakir miskin. Padahal penerima zakat juga termasuk fi sabilillah, orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Contoh klasiknya, pada zaman Nabi dana dari zakat juga dibagikan kepada tentara yang berjuang melawan musuh. Dengan kata lain, hasil pungutan zakat pada zaman Nabi diperuntukkan untuk semua golongan. Konsep pemanfaatan zakat untuk semua orang ini kira-kira sama dengan konsep pemanfaatan pajak di masa sekarang. Walhasil, bila pendapat Masdar diterima, yakni waktu membayar pajak diniatkan menunaikan zakat, maka umat Islam juga mempertinggi kesadaran politik dan partisipasi umat Islam -- di samping tidak perlu mengeluarkan dana dua kali. Dengan kata lain, bila pajak menggunakan konsep zakat, masyarakat diharapkan makin kritis terhadap kebijakan pemerintah menggunakan pajak. Soalnya, dalam pandangan Masdar, konsep zakat pada awalnya memang sebagai konsep distribusi ekonomi, yang di dalamnya juga terdapat pertimbangan politik. Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi (Jakarta), dan Mochammad Faried Cahyono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini