Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Uang Jaminan: Yang Gawat Dan Tidak

Sistem uang jaminan untuk dirawat di rumah sakit mendapat persetujuan dari pemerintah. Reaksi keras datang dari masyarakat. Tampaknya, bantuan pemerintah tak cukup.

19 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPALA Dinas Kesehatan Jakarta Raya, dr Herman Susilo, akhir Pebruari menyatakan dukungannya terhadap kebijaksanaan rumahsakit untuk memungut uang jaminan, sebagai satu cara untuk menyehatkan manajemen. Sikap itu datangnya begitu terlambat dibandingkan dengan tindakan memungut uang jaminan yang sudah berjalan sejak lama dan mendapat reaksi tajam dari pemakai jasa rumahsakit. Namun begitu reaksi berupa anggapan uang muka itu sebagai tidak etis, sering muncul di suratkabar. Uang jaminan tersebut ditagih oleh rumahsakit karena ketekoran yang mereka derita akibat banyak pasien yang kabur sebelum membayar ongkos pengobatan dan perawatan. Bagaimana besarnya ketekoran itu hanya bisa disebutkan selintas saja oleh para pimpinan rumahsakit Cipto Mangunkusumo. Direktur Administrasi dan Tata Usaha rumahsakit tersebut dr Sudarto Pringgoutomo tidak memberikan perincian tentang berapa kerugian yang dia derita akibat kaburnya para pasien. Berapa pula yang diakibatkan oleh para pasien yang hanya sanggup membayar dengan menunjukkan "surat tak mampu" yang ditandatangani lurah. Sementara Direktur Rumahsakit "Sumber Waras", dr Lukas Halim menyebutkan: "Untuk bulan Desember tahun lalu kita rugi Rp 1,8 juta akibat pasien tak mampu dan mereka yang tak bayar. Diperhitungkan ketekoran jenis ini mencapai Rp 2 juta lebih saban bulan". Tak Tertolong Untuk menolong manajemen rumahsakit, pemerintah DKI sesungguhnya sudah banyak memberikan kelonggaran, malahan bantuan berupa uang juga diberikan. Rumahsakit seperti Cipto, Persahabatan, Fatmawati, Sumber Waras dan Budi Asih saban tahun mendapat sumbangan Rp 10 juta. Sumber Waras tiap tahun malahan dapat tambahan Rp 1 juta lagi untuk menutup kerugian akibat pasien tak mampu. Izin buat rumahsakit-rumahsakit itu untuk mendirikan ruangan kelas I dan VIP juga diberikan, sebagai cara lain untuk menutupi kerugian yang disedot oleh kelas rendahan. "Pasien kaya membantu pasien miskin", kata dr Sudarto. Persetujuan pemerintah daerah terhadap tagihan uang jaminan ini nampaknya akan membuat rumahsakit lebih tegas melaksanakannya. Dan tidak akan pandang bulu lagi apakah keluarga paslen yang datang mengurus dengan meyakinkan atau tidak, pokoknya bayar. Minggu lalu seorang pasien yang akan menjalani operasi kecil untuk penyakit yang tidak gawat, sempat marah dan memendam pedih perasaannya. Dengan sebuah surat pengantar dari dokter, ia datang ke Rumahsakit Sumber Waras. Minta kelas II, tapi ternyata tak ada yang kosong. Kalau mau masuk juga ada ruang kosong di kelas I. Mendengar keterangan suster bahwa keesokan harinya di kelas II baru ada tempat maka si pasien pun bersedia kalau untuk sehari saja dia masuk ke kelas I. Tapi si pasien hanya bersedia membayar uang-muka untuk kelas II untuk sepuluh hari yang berjumlah Rp 105.000. Zuster tetap bersikeras bahwa si pasien harus membayar uangmuka untuk kelas I yang berjumlah Rp 140.000. Sebab katanya kalau si pasien akhirnya akan kembali ke kelas II biaya perawatan seluruhnya bisa diperhitungkan. Uang yang dibawa si pasien tak cukup. Akhirnya si penderita yang kebetulan tidak menderita penyakit gawat itu, membatalkan niatnya untuk mendapat pertolongan di Sumber Waras. "Saya segera berfikir alangkah malangnya mereka yang lagi parah dan kebetulan belum bawa uang jaminan yang eukup. Apakah tak ada kemuliaan yang lebih tinggi di mata rumahsakit Sumber Waras selain uang?" tanya si pasien. Ia juga berfikir, apakah uang jaminan itu harus sedemikian ketatnya sehingga kekurangan yang hanya berapa persen saja dari yang semestinya menyebabkan dia harus kembali -- sementara dokter yang akan mengoperasinya sudah siap. Kalau umpamanya zuster penerima pasien tak bisa memutus, alangkah baiknya apabila dokter jaga atau dokter ruangan memanggilnya, menanyai ini itu, dan lainlain sehingga pihak RS bisa mendapat keyakinan bahwa betul-betul tak ada iktikad jahat pada pasien tersebut. Sebab toh kabarnya pihak RS tak akan rewel-rewel soal uang jaminan bila ia tahu identitas sang pasien cukup meyakinkan. Dan lagi, keluh pasien tersebut, bukankah dia tidak bermaksud seterusnya di kelas I dan kalaupun terus di situ, toh sisa uang jaminan yang Rp 35 ribu sudah akan dibawanya besok? Selang beberapa hari sebelum peristiwa ini seorang pasien dalam keadaan gawat dibawa ke Sumber Waras juga ditagih uang jaminan. Uangnya juga kurang. Lantas keluarga yang mengurus pulang dulu ke rumah. Begitu uang sampai di rumahsakit, ternyata si pasien orang dewasa itu tak tertolong lagi. Tak Saling Menunjang Bagaimanakah sebenarnya kebijaksanaan rumahsakit, apakah aturan tagihan itu dilaksanakan dengan membabi-buta saja tanpa kebijaksanaan? "Dalam keadaan cito (meninggal kalau tak segera ditolong) pasien bisa masuk langsung ke ruangan perawatan di kelas III, II maupun I, sekalipun mereka tidak membayar uang jaminan", jawab dr Lukas Halim kepada wartawan TEMPO Martin Aleida. Tapi gawat atau tidak pertimbangannya agaknya banyak tergantung pada suasana hati si zuster yang menerima di ruangan penerima pasien, sebab dialah yang pertama-tama menghadapi pasien yang datang. Begitu pula amat tergantung apakah dia orang yang bijaksana atau birokratis atau seorang yang takut bertanya pada pimpinan rumahsakit untuk memberi kelonggaran bagi mereka yang datang dengan uang kurang sedikit. Uang jaminan yang disyahkan oleh pemerintah daerah tersebut oleh beberapa kalangan dokter dianggap sebagai sikap yang tidak akan membuat persoalan pelayanan kesehatan membaik. "Semua yang menyangkut keluhan terhadap rumahsakit dan pelayanan kesehatan umumnya bersumber pada sistim pelayanan kesehatan yang tidak jalan", urai dr Soedarso, pimpinan rumahsakit Pelni di Petamburan dan pengurus Ikatan Rumah Sakit Jakarta. Uang jaminan tersehut menurut Soedarso adalah akibat daripada tidak jalannya sistim pelayanan kesehatan secara menyeluruh. Memang sudah ada balai pengobatan, puskesmas dan rumahsakit-rumahsakit di kabupaten dan di pusat. Tetapi secara keseluruhan fasititas tersebut tidak saling menunjang. Para pasien bisa memilih rumahsakit semaunya sendiri, karena jika jenjang tadi mau dilalui, orang bisa puyeng. Mau lewat puskes, yang katanya obat-obatannya dapat Inpres, ternyata orang harus membayar sama mahal dengan rumahsakit besar. Sementara tenaga dokter dan fasilitas pengobatannya minim. Akibatnya rumahsakit-rumahsakit besar yang digariskan Departemen Kesehatan sebagai rumahsakit referal terpaksa menerima pasien dari mana saja dan dalam kwalitas penyakit yang macam-macam. "Lihatlah Cipto Mangunkusumo yang katanya jadi top referal system, ternyata dia juga adalah balai pengobatan, puskesmas dan juga rumahsakit kecil. Pasien-pasien yang sebenarnya hanya dia peroleh dari rumahsakit yang lebih kecil, ternyata terpaksa menerima dari mana saja", kata seorang dokter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus