KEPALA Dinas Kesehatan Jakarta Raya, dr Herman Susilo, akhir
Pebruari menyatakan dukungannya terhadap kebijaksanaan
rumahsakit untuk memungut uang jaminan, sebagai satu cara untuk
menyehatkan manajemen. Sikap itu datangnya begitu terlambat
dibandingkan dengan tindakan memungut uang jaminan yang sudah
berjalan sejak lama dan mendapat reaksi tajam dari pemakai jasa
rumahsakit. Namun begitu reaksi berupa anggapan uang muka itu
sebagai tidak etis, sering muncul di suratkabar.
Uang jaminan tersebut ditagih oleh rumahsakit karena ketekoran
yang mereka derita akibat banyak pasien yang kabur sebelum
membayar ongkos pengobatan dan perawatan. Bagaimana besarnya
ketekoran itu hanya bisa disebutkan selintas saja oleh para
pimpinan rumahsakit Cipto Mangunkusumo. Direktur Administrasi
dan Tata Usaha rumahsakit tersebut dr Sudarto Pringgoutomo tidak
memberikan perincian tentang berapa kerugian yang dia derita
akibat kaburnya para pasien. Berapa pula yang diakibatkan oleh
para pasien yang hanya sanggup membayar dengan menunjukkan
"surat tak mampu" yang ditandatangani lurah. Sementara Direktur
Rumahsakit "Sumber Waras", dr Lukas Halim menyebutkan: "Untuk
bulan Desember tahun lalu kita rugi Rp 1,8 juta akibat pasien
tak mampu dan mereka yang tak bayar. Diperhitungkan ketekoran
jenis ini mencapai Rp 2 juta lebih saban bulan".
Tak Tertolong
Untuk menolong manajemen rumahsakit, pemerintah DKI sesungguhnya
sudah banyak memberikan kelonggaran, malahan bantuan berupa uang
juga diberikan. Rumahsakit seperti Cipto, Persahabatan,
Fatmawati, Sumber Waras dan Budi Asih saban tahun mendapat
sumbangan Rp 10 juta. Sumber Waras tiap tahun malahan dapat
tambahan Rp 1 juta lagi untuk menutup kerugian akibat pasien tak
mampu. Izin buat rumahsakit-rumahsakit itu untuk mendirikan
ruangan kelas I dan VIP juga diberikan, sebagai cara lain untuk
menutupi kerugian yang disedot oleh kelas rendahan. "Pasien kaya
membantu pasien miskin", kata dr Sudarto.
Persetujuan pemerintah daerah terhadap tagihan uang jaminan ini
nampaknya akan membuat rumahsakit lebih tegas melaksanakannya.
Dan tidak akan pandang bulu lagi apakah keluarga paslen yang
datang mengurus dengan meyakinkan atau tidak, pokoknya bayar.
Minggu lalu seorang pasien yang akan menjalani operasi kecil
untuk penyakit yang tidak gawat, sempat marah dan memendam pedih
perasaannya. Dengan sebuah surat pengantar dari dokter, ia
datang ke Rumahsakit Sumber Waras.
Minta kelas II, tapi ternyata tak ada yang kosong. Kalau mau
masuk juga ada ruang kosong di kelas I. Mendengar keterangan
suster bahwa keesokan harinya di kelas II baru ada tempat maka
si pasien pun bersedia kalau untuk sehari saja dia masuk ke
kelas I. Tapi si pasien hanya bersedia membayar uang-muka untuk
kelas II untuk sepuluh hari yang berjumlah Rp 105.000. Zuster
tetap bersikeras bahwa si pasien harus membayar uangmuka untuk
kelas I yang berjumlah Rp 140.000. Sebab katanya kalau si pasien
akhirnya akan kembali ke kelas II biaya perawatan seluruhnya
bisa diperhitungkan. Uang yang dibawa si pasien tak cukup.
Akhirnya si penderita yang kebetulan tidak menderita penyakit
gawat itu, membatalkan niatnya untuk mendapat pertolongan di
Sumber Waras.
"Saya segera berfikir alangkah malangnya mereka yang lagi parah
dan kebetulan belum bawa uang jaminan yang eukup. Apakah tak ada
kemuliaan yang lebih tinggi di mata rumahsakit Sumber Waras
selain uang?" tanya si pasien.
Ia juga berfikir, apakah uang jaminan itu harus sedemikian
ketatnya sehingga kekurangan yang hanya berapa persen saja dari
yang semestinya menyebabkan dia harus kembali -- sementara
dokter yang akan mengoperasinya sudah siap. Kalau umpamanya
zuster penerima pasien tak bisa memutus, alangkah baiknya
apabila dokter jaga atau dokter ruangan memanggilnya, menanyai
ini itu, dan lainlain sehingga pihak RS bisa mendapat keyakinan
bahwa betul-betul tak ada iktikad jahat pada pasien tersebut.
Sebab toh kabarnya pihak RS tak akan rewel-rewel soal uang
jaminan bila ia tahu identitas sang pasien cukup meyakinkan. Dan
lagi, keluh pasien tersebut, bukankah dia tidak bermaksud
seterusnya di kelas I dan kalaupun terus di situ, toh sisa uang
jaminan yang Rp 35 ribu sudah akan dibawanya besok?
Selang beberapa hari sebelum peristiwa ini seorang pasien dalam
keadaan gawat dibawa ke Sumber Waras juga ditagih uang jaminan.
Uangnya juga kurang. Lantas keluarga yang mengurus pulang dulu
ke rumah. Begitu uang sampai di rumahsakit, ternyata si pasien
orang dewasa itu tak tertolong lagi.
Tak Saling Menunjang
Bagaimanakah sebenarnya kebijaksanaan rumahsakit, apakah aturan
tagihan itu dilaksanakan dengan membabi-buta saja tanpa
kebijaksanaan? "Dalam keadaan cito (meninggal kalau tak segera
ditolong) pasien bisa masuk langsung ke ruangan perawatan di
kelas III, II maupun I, sekalipun mereka tidak membayar uang
jaminan", jawab dr Lukas Halim kepada wartawan TEMPO Martin
Aleida. Tapi gawat atau tidak pertimbangannya agaknya banyak
tergantung pada suasana hati si zuster yang menerima di ruangan
penerima pasien, sebab dialah yang pertama-tama menghadapi
pasien yang datang. Begitu pula amat tergantung apakah dia orang
yang bijaksana atau birokratis atau seorang yang takut bertanya
pada pimpinan rumahsakit untuk memberi kelonggaran bagi mereka
yang datang dengan uang kurang sedikit.
Uang jaminan yang disyahkan oleh pemerintah daerah tersebut oleh
beberapa kalangan dokter dianggap sebagai sikap yang tidak akan
membuat persoalan pelayanan kesehatan membaik. "Semua yang
menyangkut keluhan terhadap rumahsakit dan pelayanan kesehatan
umumnya bersumber pada sistim pelayanan kesehatan yang tidak
jalan", urai dr Soedarso, pimpinan rumahsakit Pelni di
Petamburan dan pengurus Ikatan Rumah Sakit Jakarta.
Uang jaminan tersehut menurut Soedarso adalah akibat daripada
tidak jalannya sistim pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
Memang sudah ada balai pengobatan, puskesmas dan
rumahsakit-rumahsakit di kabupaten dan di pusat. Tetapi secara
keseluruhan fasititas tersebut tidak saling menunjang. Para
pasien bisa memilih rumahsakit semaunya sendiri, karena jika
jenjang tadi mau dilalui, orang bisa puyeng. Mau lewat puskes,
yang katanya obat-obatannya dapat Inpres, ternyata orang harus
membayar sama mahal dengan rumahsakit besar. Sementara tenaga
dokter dan fasilitas pengobatannya minim.
Akibatnya rumahsakit-rumahsakit besar yang digariskan Departemen
Kesehatan sebagai rumahsakit referal terpaksa menerima pasien
dari mana saja dan dalam kwalitas penyakit yang macam-macam.
"Lihatlah Cipto Mangunkusumo yang katanya jadi top referal
system, ternyata dia juga adalah balai pengobatan, puskesmas dan
juga rumahsakit kecil. Pasien-pasien yang sebenarnya hanya dia
peroleh dari rumahsakit yang lebih kecil, ternyata terpaksa
menerima dari mana saja", kata seorang dokter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini