PARIS semula menginginkan Stadion Utama Senayan, atau setidaknya
Ancol. Maka ketika Usman Ismail, ketua Pekan Raya Jakarta,
didatangi oleh beberapa pejabat Perancis pada bulan Oktober
1975, dia bak mendapat durian runtuh. "Kontan mereka bayar 50%",
katanya. Berapa itu dalam rupiah? "Rahasia perusahaan", katanya
lagi. Pokoknya PRJ mendadak memperoleh dana besar untuk
melaksanakan disain suatu enclave, kantong, tempat pameran murni
layak diselenggarakan.
Untuk membangun enclave itu, sedikitnya 13 paviliun dalam
komplex PRJ diruntuhkan, termasuk kepunyaan Amerika Serikat,
Jerman Barat dan Astra. Sebagai pengganti, kini berdiri 3
paviliun indah dan besar, dengan lantai kokoh yang mampu menahan
berat 15 ton. Di situlah Perancis minggu depan (26 Maret - 3
April) membuka pameran teknik, yang terbesar pernah diadakannya
di Asia Tenggara.
Pemerintah Perancis menyewa keseluruhan areal 23.000 mÿFD,
termasuk 10.000 mÿFD tempat beratap yang dilengkapi AC. Ongkos
sewa berbeda menurut tempat, misalnya daerah terbuka untuk
pameran al~at-alat besar tentu murah. Tapi, menurut Usman Ismail,
rata-rata sewanya ialah $ 45 per mÿFD. Maka ada dugaan orang
bahwa Perancis membi~.yar sewa sampai $ 1 juta, hanya untuk
pameran sepekan. Jean Aurimond, pejabat pameran, menaksir nilai
semua barang yang diangkut dari Perancis sedikitnya $ 10 juta.
Biaya persiapan sejak 1975 bukan sedikit, hingga bisa dibayangkan
betapa beraninya Perancis membuang uang untuk keperluan promosi
dagangnya.
Indonesia, sebagai potensi pasar, difikirkan Perancis hanya
sejak 5 tahun terakhir ini terutama sesudah Presiden Soeharto
berkunjung ke Paris (1972). Menteri Perdagangan Segard pernah
datang ke Jakarta (1975) dan mengusulkan supaya dibentuk
Kelompok Kerja Perancis-Indonesia. Kelompok ini sudah mengadakan
sidangnya yang pertama di Jakarta Nopember lalu. Sementara itu
kontrak penjualan Perancis pada Indonesia meningkat, misalnya
mencapai 1,3 milyar Franc ($ 260 juta) selama 1975 berdasar
kredit saja.
Kegairahan Perancis menjual pada Indonesia terbukti lagi dengan
buyer's credit yang ditawarkannya. Jenis kredit ini, yang
didukung perbankan Perancis, memang lebih disukai di sini,
karena memungkinkan Indonesia menentukan barang apa saja yang
harus diimpor dari Perancis.
Di tahun 1976, menurut Counsellor perniagaan Paul Jacquin dari
kedutaan Perancis, ekspor negerinya ke Indonesia 1,2 milyar
Franc ($ 240 juta). Sayangnya, ekspor dari Indonesia ke Perancis
tidak sampai 450 juta Franc ($ 90 juta) selama periode yang
sama. Alias tambah timpang. Kini Perancis akan memarnerkan aneka
ragam hasil industrinya. Banyak dipilihnya jenis barang yang
kiranya diperlukan untuk pembangunan negara berkembang. Kata
seorang pekerja Perancis di tempat pameran, "anda akan bisa
melihat banyak yang menarik, meskipun tanpa Brigitte Bardot".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini