GIUSEPPINA Barone, seorang ibu muda, dipersilakan ke ruang
tunggu RS Santobono. Di situ melalui sirkuit dekat televisi
ia menyaksikan puterinya, Sara, yang berusia 12 bulan sedang tak
sadar diri dalam suatu ICU, tempat perawatan intensif. Para
dokter melakukan berbagai cara, antara lain dengan memutar tape
yang berisi suara Ny. Barone sedang memanggil lembut: Sara, Sara
. . . Ke telinga si anak dilekatkan alat pendengar guna
merangsang reaksinya.
Banyak orangtua lainnya di Napoli bernasib seperti Ny. Barone
yang diberi kesempatan oleh RS Santobono melongok ke ICU via
layar televisi tadi. Dan anak mereka masing-masing mati secara
perlahan karena penyakit yang tak diketahui bagaimana
menyembuhkannya. Napoli, kota pelabuhan Italia bagian selatan
itu, cuma mengenalnya sebagai "Penyakit Gelap" yang bagaikan
wabah.
Tekanan WHO
Penyakit itu -- apa pun namanya-berjangkit sejak tahun lalu.
Angka kematian, yang mencapai 66 pekan lalu, telah melonjak
bersama dinginnya cuaca. Sampai akhir Januari para dokter di
Napoli mengira penyakit itu mungkin disebabkan oleh vaksinasi
tetanus yang kurang baik, suatu bakteri aneh atau sekedar virus
flu biasa. Mereka tadinya mencoba menangani sendiri. Tapi jumlah
penderita meningkat terus, dan akhirnya bukan saja nasehat dan
bantuan Roma, melainkan juga para ahli dari luar Italia
didatangkan ke Napoli.
Bila terkena wabah itu, si bayi menderita panas sekali,
pernapasan terganggu dan kejang. Dr Giulio Tarro yang mengepalai
bagian virologi di RS Cotugno di Napoli, demikian UPI,
menyalahkan cara rekan-rekan seprofesinya dalam memberikan
diagnosa selama ini. Tarro, salah seorang ahli virus di Italia
yang terkenal, mengaku bahwa dia baru belakangan ini diminta
menelitinya. Namun dia berpendapat bahwa apa yang membunuh
bayi-bayi itu adalah semacam syncytial virus.
Walaupun yakin akan diagnosnya, Tarro pun masih belum menemukan
apa yang bisa menyembuhkan infeksi virus itu, yang biasanya
memukul pada musim dingin. Bayi di bawah usia setahun terutama
sekali gampang terkena, katanya. Dicelanya sikap para pejabat
Italia yang tadinya enggan mengundang bantuan luar ketika bahaya
virus itu diketahui. Usaha mendatangkan para ahli luar negeri
rupanya kemudian dilakukan setelah ada tekanan melalui WHO
(Organisasi Kesehatan Sedunia) di Jenewa.
Antara lain tiba para ahli virus dan epidemi dari Amerika
(Bethesda-Maryland dan Atlanta), Inggeris, Perancis dan
Yugoslavia. Di Bethesda itu sudah dikembangkan suatu vaksin
untuk melawan syncytial virus tapi masih dalam tahap percobaan
binatang.
Kalau begitu, demikian Dr Adolfo Ruggiero, kepala ICU di RS
Santobono, "penyakit ini tak akan segera lenyap. Mungkin ia
berkurang setapak demi setapak bulan depan, dan kita tak akan
terlepas dari gangguannya sampai cuaca hangat kembali."
Memang demikian pengalaman di Inggeris, terutama di bagian timur
laut negeri itu. Virus itu yang pernah berulang tiba di Inggeris
sejak musim dingin 1971 telah menghilang hanya dengan tibanya
musim semi
Karena Miskin
Tapi kasus di Napoli itu bukan hanya karena virus. Suatu
kesimpulan tim WHO pekan lalu menyebut penyakit itu juga
disebabkan oleh kemiskinan, kekurangan gizi dan tempat tinggal
yang padat di Napoli. Tingkat kematian bayi di Napoli memang
terbilang yang tertinggi di scluruh Eropa Barat.
Para orangtua setempat, yang tidak berpendidikan, sering terlalu
lambat membawa anak-anak mereka ke rumahsakit. "Sekali jatuh
pingsan, maka sedikit sekali kesempatan menyelamatkan anak-anak
itu," kata Dr Marguerita Pereira dari London, anggota tim WHO
tadi.
Tapi bagaimana orang miskin bisa cepat mendapat perawatan medis?
Para dokter di sana rupanya segan -- bila dipanggil untuk pergi
ke rumah pasien biasa. Ambulans RS tidak pula mencukupi
jumlahnya. Namun Depkes di Roma berjanji akan mengerahkan
sejumlah ambulans tentara. Jika perlu, kata Menkes Tina Anselmi
pula, "pemerintah akan memakai dokter-dokter tentara dalam
melawan penyakit ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini