Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ada foto, coca cola dan koboi

Pameran lukisan hardi, yang pernah belajar di akademi seni rupa surabaya, asri, dan akademi seni rupa di belanda, dilangsungkan di tim pada tanggal 14-25 februari 1979. (sr)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARDI, 28 tahun, adalah pelukis muda yang pernah belajar di Akademi Seni Rupa Surabaya, kemudian di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Asri Yogyakarta dan di Akademi Seni Rupa Jan van Eyck di Maastrich, Negeri Belanda. Ketika masih duduk di Asri dulu pernah menghasilkan karya non-figuratif: lukisan yang mencoba menampilkan bentuk sebagai bentuk dan warna. Tapi ini tak berlangsung lama. Bersama kelompok Seni Rupa Baru Hardi kemudian menyuguhkan komentar sosial dalam karya-karyanya. Kini, ia memang dikenal sebagai pelukis komentar sosial yang galak. Dalam pamerannya di Taman Ismail Marzuki, 14 - 25 Februari ini, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, ada sesuatu yang melejit dari pada sekedar komentar sosial. Beberapa karya yang merupakan serial foto, ternyata memberikan kesan lain dari pada kalau foto itu hanya dipasang satu saja. Bongkar Paksa, misalnya. Foto itu sebetulnya adalah foto seorang polisi yang melerai aksi penduduk yang memprotes pembongkaran tempat tinggal mereka. Tapi dengan menyuguhkan foto itu tidak hanya satu dan diatur rapi berderet ke samping dan ke bawah tiba-tiba kita tidak lagi melihat foto polisi dan orang-orang. Tapi yang kita lihat adalah komposisi bentuk dan -- terutama -- warna. Boleh dikatakan keseluruhannya membentuk satu karya "nonfiguratif". Tembak Dan karya-karya yang demikian ini ada beberapa yang memang berhasil bagus. Artinya, cara menyusun foto-foto itu begitu pas, sehingga obyek di dalam foto tak penting lagi. Yang tinggal --sekali lagi -- adalah bentuk dan warna saja. Kecuali Bongkar Paksa yang telah disebutkan, beberapa lagi: Kompor, Kasih Sayang, Pak Harto Pidato, Asap Itu lndah. Dengan demikian, dilihat dari sudut "komentar"nya itu sendiri, bisa dikatakan karya-karya ini tak berhasil. Soalnya komentar itu jadi kabur. Asap Itu Indah, misalnya. Jelas, maksuinya ini protes polusi. Gambarnya: bagian belakang mobil yang knalpotnya sedang menyemburkan asap. Tapi kemudian yang kita tangkap ialah satu komposisi yang didominasi warna putih (warna asap), kemudian biru (warna mobil), hitam dan sedikit merah. Jadi karya "nonfiguratif". Dalam pameran seni rupa sekarang ini, rasanya tidaklah lengkap kalau tidak menyuguhkan karya tiga dimensi yang memasukkan ruang pameran menjadi unsur karya itu juga. Dalam pameran Hardi ini ada dua karya yang demikian itu. Pusat Informasi, adalah sebuah ruang yang dilapis dengan koran, di dalamnya ada telepon (sudah rusak, tentu) dan sebuah radio yang juga sudah rusak). Maunya, seperti kata Hardi sendiri, hendak mewujudkan bagaimana ruwetnya informasi dari media massa sekarang ini. Ada berita-berita yang tak boleh disiarkan, ada berita-berita yang diputarbalikkan. Sayang, ide itu tak jelas tampil dalam karya ini. Mungkin tempelan koran-koran itu kurang menyarankan sesuatu apa. Dan kaos oblon kuning yang bertulisan "Kalau saran sudah jadi ancaman," terasa sekali diada-adakan kehadirannya. Padahal, telepon plus radio yang rusak itu sudah memberikan imaji yang nekat: sesuatu yang rusak tidak secara wajar. Karya kedua lebih berhasil. Coca-cula Persahabatan mengambil ide dari meja sembahyang Cina. Ada sebuah meja bertapelak putih, di meja itu ada empat lilin merah besar menyala, sebuah tergeletak mati. Lalu ada tiga botol Coca-Cola yang hanya isi setengah dan digunakan sebagai vas bunga mawar. Masih ditambah lagi seberkas dupa Cina. Di depan meja masih ada sebuah lilin merah yang dinyalakan. Dan menempel dinding, di atas meja, ada tiga gambar berderet. Yang di tengah, dalam ukuran besar adalah tulisan khas coca-cola disertai terjemahannya dalam huruf Cina. Gambar ini berlatar warna oranye. Di sebelah kanan gambar itu ada gambar Presiden Amerika Serikat sekarang, Jimmy Carter, dilukis dengan cat poster pada kertas. Di sebelah kiri gambar coca-cola, ada gambar jenazah Ketua ,Uao. Ini tentunya direproduksi dari surat kabar atau majalah lewat cetak saring. Karya ini kecuali komposisi benda-henda itu enak dilihat ada merah lilin, putih tapelak, hitam coca-cola, merahnya mawar, asap dupa dan tiga gamL)ar di latar belakang, ide juga tampil sebuah cerita tentang perkembangan sebuah negeri lewat karya-karya visual. Beberapa yang lain adalah karya Hardi yang sudah dipamerkan di Universitas Indonesia tempo hari: lukisan-lukisan potret para tokoh Fukuda, Buyung Nasution, Ali Sadikin lalu karya-karya grafis yang dibuatnya di Negeri Belanda. Potret-potret itu memang kurang jelas arahnya. Sebagai potret agak susah dikenal itu potret siapa, kalau mau menampilkan ide juga susah dicari apa idenya. Yang santai adalah karya Hardi berjudul Tembak. Ini tiga gambar koboi yang lagi menembak. Tapi pada gambar pertama wajah koboi itu sepenuhnya hanya ada gambar bibir merah merangsang, dan.pada gambar ketiga di wajah itu hanya ada buah dada merangsang, dan pada gambar ketiga di wajah itu hanya ada pantat merangsang. Dari bibir, ke dada lantas pantat dan tembak. Jelas bukan? Agaknya, karya-karya Hardi yang lebih rapi sekarang mungkin bisa juga karena pengaruh jalan hidupnya. Dia sekarang sudah bekerja tetap di majalah sastra Horison. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus