HARDI, 28 tahun, adalah pelukis muda yang pernah belajar di
Akademi Seni Rupa Surabaya, kemudian di Sekolah Tinggi Seni Rupa
Indonesia Asri Yogyakarta dan di Akademi Seni Rupa Jan van Eyck
di Maastrich, Negeri Belanda. Ketika masih duduk di Asri dulu
pernah menghasilkan karya non-figuratif: lukisan yang mencoba
menampilkan bentuk sebagai bentuk dan warna. Tapi ini tak
berlangsung lama. Bersama kelompok Seni Rupa Baru Hardi kemudian
menyuguhkan komentar sosial dalam karya-karyanya. Kini, ia
memang dikenal sebagai pelukis komentar sosial yang galak.
Dalam pamerannya di Taman Ismail Marzuki, 14 - 25 Februari ini,
yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, ada sesuatu
yang melejit dari pada sekedar komentar sosial.
Beberapa karya yang merupakan serial foto, ternyata memberikan
kesan lain dari pada kalau foto itu hanya dipasang satu saja.
Bongkar Paksa, misalnya. Foto itu sebetulnya adalah foto seorang
polisi yang melerai aksi penduduk yang memprotes pembongkaran
tempat tinggal mereka. Tapi dengan menyuguhkan foto itu tidak
hanya satu dan diatur rapi berderet ke samping dan ke bawah
tiba-tiba kita tidak lagi melihat foto polisi dan orang-orang.
Tapi yang kita lihat adalah komposisi bentuk dan -- terutama --
warna. Boleh dikatakan keseluruhannya membentuk satu karya
"nonfiguratif".
Tembak
Dan karya-karya yang demikian ini ada beberapa yang memang
berhasil bagus. Artinya, cara menyusun foto-foto itu begitu pas,
sehingga obyek di dalam foto tak penting lagi. Yang tinggal
--sekali lagi -- adalah bentuk dan warna saja. Kecuali Bongkar
Paksa yang telah disebutkan, beberapa lagi: Kompor, Kasih
Sayang, Pak Harto Pidato, Asap Itu lndah.
Dengan demikian, dilihat dari sudut "komentar"nya itu sendiri,
bisa dikatakan karya-karya ini tak berhasil. Soalnya komentar
itu jadi kabur. Asap Itu Indah, misalnya. Jelas, maksuinya ini
protes polusi. Gambarnya: bagian belakang mobil yang knalpotnya
sedang menyemburkan asap. Tapi kemudian yang kita tangkap ialah
satu komposisi yang didominasi warna putih (warna asap),
kemudian biru (warna mobil), hitam dan sedikit merah. Jadi karya
"nonfiguratif".
Dalam pameran seni rupa sekarang ini, rasanya tidaklah lengkap
kalau tidak menyuguhkan karya tiga dimensi yang memasukkan ruang
pameran menjadi unsur karya itu juga. Dalam pameran Hardi ini
ada dua karya yang demikian itu. Pusat Informasi, adalah sebuah
ruang yang dilapis dengan koran, di dalamnya ada telepon (sudah
rusak, tentu) dan sebuah radio yang juga sudah rusak). Maunya,
seperti kata Hardi sendiri, hendak mewujudkan bagaimana ruwetnya
informasi dari media massa sekarang ini. Ada berita-berita yang
tak boleh disiarkan, ada berita-berita yang diputarbalikkan.
Sayang, ide itu tak jelas tampil dalam karya ini. Mungkin
tempelan koran-koran itu kurang menyarankan sesuatu apa. Dan
kaos oblon kuning yang bertulisan "Kalau saran sudah jadi
ancaman," terasa sekali diada-adakan kehadirannya. Padahal,
telepon plus radio yang rusak itu sudah memberikan imaji yang
nekat: sesuatu yang rusak tidak secara wajar.
Karya kedua lebih berhasil. Coca-cula Persahabatan mengambil ide
dari meja sembahyang Cina. Ada sebuah meja bertapelak putih, di
meja itu ada empat lilin merah besar menyala, sebuah tergeletak
mati. Lalu ada tiga botol Coca-Cola yang hanya isi setengah dan
digunakan sebagai vas bunga mawar. Masih ditambah lagi seberkas
dupa Cina. Di depan meja masih ada sebuah lilin merah yang
dinyalakan. Dan menempel dinding, di atas meja, ada tiga gambar
berderet. Yang di tengah, dalam ukuran besar adalah tulisan khas
coca-cola disertai terjemahannya dalam huruf Cina.
Gambar ini berlatar warna oranye.
Di sebelah kanan gambar itu ada gambar Presiden Amerika Serikat
sekarang, Jimmy Carter, dilukis dengan cat poster pada kertas.
Di sebelah kiri gambar coca-cola, ada gambar jenazah Ketua ,Uao.
Ini tentunya direproduksi dari surat kabar atau majalah lewat
cetak saring. Karya ini kecuali komposisi benda-henda itu enak
dilihat ada merah lilin, putih tapelak, hitam coca-cola,
merahnya mawar, asap dupa dan tiga gamL)ar di latar belakang,
ide juga tampil sebuah cerita tentang perkembangan sebuah negeri
lewat karya-karya visual.
Beberapa yang lain adalah karya Hardi yang sudah dipamerkan di
Universitas Indonesia tempo hari: lukisan-lukisan potret para
tokoh Fukuda, Buyung Nasution, Ali Sadikin lalu karya-karya
grafis yang dibuatnya di Negeri Belanda. Potret-potret itu
memang kurang jelas arahnya. Sebagai potret agak susah dikenal
itu potret siapa, kalau mau menampilkan ide juga susah dicari
apa idenya.
Yang santai adalah karya Hardi berjudul Tembak. Ini tiga gambar
koboi yang lagi menembak. Tapi pada gambar pertama wajah koboi
itu sepenuhnya hanya ada gambar bibir merah merangsang, dan.pada
gambar ketiga di wajah itu hanya ada buah dada merangsang, dan
pada gambar ketiga di wajah itu hanya ada pantat merangsang.
Dari bibir, ke dada lantas pantat dan tembak. Jelas bukan?
Agaknya, karya-karya Hardi yang lebih rapi sekarang mungkin bisa
juga karena pengaruh jalan hidupnya. Dia sekarang sudah bekerja
tetap di majalah sastra Horison.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini