JAKSA P. Sitinjak SH, awal bulan ini di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, entah mengapa sampai mengucapkan "dengan rasa
berat hati." Ini dikatakannya sebelum menuntut hukuman 8 bulan
penjara bagi rekannya jaksa Mulkan Djamal. Jika benar Mulkan
Djamal (MD), walau rekan korps kejaksaan sekalipun, memang
terbukti melakukan kejahatan korupsi -- apa yang memberatkan
hati Kasus jaksa MD sendiri, dapat dianggap menjadi salah satu
coneoh dari apa yang selama ini ditunjuk orang sebagai "wajah
dewi keadilan masih bopeng" di sini. Semua ini berpautan dengan
perkara berikut.
Mustakim, tertuduh peristiwa pembunuhan atas Yayang, sejak 14
Pebruari tahun lalu, menjadi tahanan kejaksaan. April 1977
perkaranya dibawa oleh penuntut Wira Muda Jaksa MD (37 tahun)
ke muka hakim Setiyono di Pengadilan Negeri Jakarta
Barat-Selatan. Perkara sedang berlangsung ketika Zaidi Ishak,
kakak tertuduh Mustakim, membezuk adiknya di tempat tahanan.
Seperti lazimnya, untuk menjenguk tahanan, Zaidi harus lebih
dulu minta izin dari jaksa MD. Sambil-memberikan izinnya, jaksa
MD juga memberitahu Zaidi, bagaimana caranya dapat menolong
Mustakim. Kurang lebih begini petunjuk sang jaksa: "Untuk
membantu adikmu perlu kamu ketahui: ada tiga hakim dan tiga
jaksa yang mengurusnya."
Entah berlagak pilon, atau memang tak mengerti maksud petunjuk
jaksa, Zaidi minta agar MD bicara lebih terang "Seharusnya kamu
sudah tahu maksud saya -- sesuai dengan alam Jakarta," kata MD
menjelaskan. Oh, ya, Zaidi mengerti. Tapi tak sampai lidahnya
untuk langsung melakukan tawar-menawar. Dia tak tahu berapa
lazimnya tarif untuk urusan begituan. Belum lagi kemampuan
dirinya. Maklum ia hanya pesuruh di kantor Menteri Sumarlin, itu
penjabat yang mengurus penertiban aparatur negara kita.
Tapi justeru Zaidi itu pesuruh Sumarlin, yang tidak diketahui
MD, menunjukkan sebuah bukti lagi tentang ketidak beresan di
dunia peradilan.
Asal Wajar Saja
Paginya, setelah mendapat wejangan MD, dengan polos Zaidi
menceritakan kesulitannya kepada bossnya, Sumarlin. Bagi pak
Menteri gampang saja: Suyono, stafnya, diperintah untuk
menjajaki lebih jauh ke mana maunya MD.
21 April 1977, dengan mengaku sebagai paman Mustakim, Suyono
menghadap jaksa MD di kantor Kejaksaan Negeri di Jalan Rambai,
Kebayoran Baru. Langsung saja ia minta petunjuk, berapa tarif
untuk membebaskan, setidaknya meringankan hukuman Mustakim. Enak
saja MD menetapkan tarifnya Rp 1 juta bagi hakim. Bagi dia
sendiri? Itu gampang, katanya, "tidak ada target sesuai dengan
perintah Kejari (Kepala Kejaksaan Negeri), asal wajar saja."
Beberapa hari setelah pertemuan pertama, Suyono benar-benar
mengangsurkan Rp 1 juta ke tangan MD di kantornya. Dua hari
kemudian, di rumahmakan Lembur Kuring, Senayan (Jakarta),
kembali Suyono menyerahkan Rp 500 ribu. Tapi kali ini MD sudah
benar-benar masuk perangkap. Setiap aksinya, termasuk ketika ia
menerima angsuran uang dari Suyono, dijepret dengan kamera yang
menggunakan lensa jarak jauh. Serangkaian foto itulah yang
kemudian jadi salah satu bukti di pengadilan.
Besoknya, 30 April, jaksa MD membuktikan kehebatan kerjanya.
Hakim Setiyono membuka sidang perkara Mustakim tepat jam 8 pagi
(biasanya, kalau tidak mulur waktunya, masih bagus kalau sidang
bisa dimulai jam 10). Suasana gedung pengadilan masih sepi dari
pengunjung, apalagi mata wartawan. Sehingga Setiyono dengan
bebas mengetukkan vonisnya: Mustakim bebas! Bak menerima
mukjizat, detik itu juga Mustakim sudah boleh pulang ke rumah
sendiri. Bukan main, memang!
Tak Ada Dalam Berkas
Tapi, jaring Menteri PAN seketika turun menjerat MD. Tak sulit
mengorek pengakuan: MD mengaku telah menerima Rp 1,5 juta. Yang
Rp 1 juta, katanya, langsung diserahkan kepada hakim Setiyono,
begitu sidang usai. Tapi hakim, lanjutnya, memberikan setengah
bagiannya kepada MD. Jadi MD dapat bagian dari kanan-kiri
semuanya Rp 1 juta.
Ketika perkara MD diserahkan Menpan ke Kejaksaan Agung, dalam
surat 2 Mei 1977, Sumarlin ada menjelaskan keterlibatan hakim
Setiyono dalam perkara MD. Tapi, hingga jaksa Sitinjak
membacakan tuntutannya, 5 Juni 1978 orang yang ditunjuk Sumarlin
tak muncul. Jangankan sebagai tertuduh di samping MD, sebagai
saksipun tidak.
Hakim Kartini, yang memimpin perkara MD, memang tidak pernah
memanggil Setiyono. "Karena ia tidak ada dalam berkas
pemeriksaan," katanya. Pun, ia juga memang merasa tak perlu
keterangan Setiyono -- walaupun orang itu erat hubungannya
dengan MD dalam mengurus Mustakim tempo hari. Dan bagaimana
dengan jaksa Sitinjak -- apakah ia juga tak memerlukan Setiyono
untuk memperkuat tuduhannya terhadap MD? Sitinjak mengelak. Dia
bilang, bukan jaksa yang memeriksa perkara. Tugasnya hanya
membawa MD ke sidang pengadilan. Itu saja.
Akan hal penjabat di Kejaksaan Agung, seperti Humasnya Tomasouw,
menyatakan belum mengetahui duduk persoalannya. Hanya sumber
TEMPO di kejaksaan menyatakan, memang agak sulit meletakkan
Setiyono baik sebagai saksi maupun tertuduh. "Tidak ada yang
melihatnya menerima uang dan ia sendiri pasti tak akan mengaku."
Apa kesaksian MD, seperti pengakuannya selama ini, tak cukup
berarti? Sudahlah, bukankah ada petugas masing-masing untuk
mengurus setiap persoalan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini