Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Waspadai Kelaparan Tersembunyi, Apa Tanda dan Sebabnya?

Kelaparan tersembunyi berbeda dengan rasa lapar yang biasa kita kenal. Pakar menjelaskan penyebabnya.

25 Januari 2021 | 14.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi wanita makan. Freepik.com/Senivpetro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Rendahnya pemenuhan zat gizi mikro bisa berujung hidden hunger atau kelaparan tersembunyi. Data Global Hunger Index pada 2020 menunjukkan Indonesia berada pada posisi 70 dari 107 negara dan sekitar 20-40 persen masyarakat di Indonesia mengalami kekurangan zat gizi mikro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konsumsi buah dan sayur yang kurang menyebabkan rendahnya pemenuhan zat gizi mikro, yakni vitamin dan mineral. Demikian menurut Kepala Seksi Mutu Gizi Kementerian Kesehatan, dr. Hera Nurlita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buah dan sayur mengandung vitamin, mineral, dan serat pangan yang berperan membantu proses metabolisme tubuh, seperti membantu produksi energi, memelihara dan merawat jaringan tubuh, membantu tumbuh kembang anak. Begitu menurut Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Prof. Dodik Briawan. Kekurangan asupan dua bahan pangan ini bisa menempatkan seseorang, baik itu balita maupun dewasa, berada dalam kondisi kelaparan tersembunyi.

"Hidden hunger ini berbeda dengan kelaparan biasa yang biasanya dikenali dengan tubuh kurus, perut buncit (ini kelaparan yang kentara). Ibu-ibu tidak tahu anaknya cepat sakit, tumbuhnya tidak bisa optimal, prestasi akademik tidak bagus, ini ciri hidden hunger," kata Dodik.

Di sisi lain, anemia juga bisa menjadi penyebab munculnya kelaparan tersembunyi. Data menunjukkan anemia defisiensi zat besi di Indonesia mencapai 30 persen dan pada ibu hamil jumlahnya 50 persen.

"Apabila seseorang kekurangan zat besi, vitamin A, dan yodium bisa menurunkan PDB sekitar 5 persen dari PDB nasional. Dampak lainnya, selain ekonomi, IQ lost dan dampak jangka panjang lainnya," tutur Dodik.

Pakar gizi klinik dr. Diana F. Suganda mengatakan orang hanya memerlukan sedikit asupan nutrisi mikro, berbeda dengan nutrisi makro, seperti kabohidrat, protein, dan lemak, yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah relatif lebih besar. Walau sedikit, zat gizi mikro ini seringkali dilupakan, bahkan disepelekan, yang mengakibatkan fungsi tubuh tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Diana merekomendasikan variasi bahan pangan yang tersedia untuk mencegah kekurangan zat gizi.

"Karena tidak ada satu bahan makanan yang mengandung semua zat gizi, campur-campur semua bahan makanan, kita variasikan sesuai komposisi dari Kemenkes, Isi Piringku," tuturnya.

Orang tua sebelumnya perlu membekali diri dengan pengetahuan kebutuhan zat gizi dari berbagai sumber terpercaya, misalnya jurnal ilmiah atau sumber lain, kemudian menerapkan pada keseharian. Penyusunan menu makanan mingguan sesuai panduan Kemenkes "Isi Piringku" bisa menjadi solusi, yakni 1/3 piring berisi karbohidrat, misalnya nasi, kentang, atau jagung, 1/3 piring berikutnya berisi sayuran dengan beragam warna agar mikronutrien semakin banyak, dan 1/3 sisanya untuk lauk pauk, misalnya protein hewani dan nabati, lemak, dan buah.

"Lauk bisa dicampur, misalnya pagi telur, siang ikan, besok diganti lagi dengan ayam, tahu dan tempe. Jadi, komposisi gizi seimbangnya dapat, tidak harus mahal," kata Diana.

Dia menyarankan Anda menyajikan makanan segar setiap hari. Namun, ada beberapa bahan pangan yang bisa disiapkan setengah jadi lalu disimpan di lemari es untuk dikonsumsi 2-3 hari kemudian, seperti ayam yang sudah dibumbui dan sebagainya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus