Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Yang Gila Berburu Lukisan

Generasi baru kolektor lukisan mulai bermunculan. Bermula dari lukisan yang enak dipandang mata.

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Potret Diri terpajang di dinding dekat tangga menuju lantai dua sebuah rumah di Puri Cinere, Depok, Jawa Barat. Goresan warna hijau dipadu biru langit mendominasi lukisan berukuran 140 x 120 sentimeter itu. Wanita dalam lukisan itu berambut pendek dengan kedua mata berwarna hitam, kaki kiri disilangkan ke bawah lutut kanan. ”Menurut saya, nggak kayak diri saya,” kata artis Nurul Arifin, si model lukisan.

Lukisan itu merupakan karya pelukis kenamaan Jeihan. Ia melukis Nurul saat ia bertandang ke rumahnya di Bandung, sembilan tahun lalu. Ketika itu, pemeran Kirana dalam film Naga Bonar itu datang ke sana untuk membeli lukisan. Nurul menyukai goresan sang pelukis yang berciri khas mata obyek lukisannya berwarna hitam.

Kesukaan itu berawal saat syuting film di sebuah rumah di kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat. Nurul melihat lukisan perempuan dengan mata gelap. ”Kayaknya mata itu memanggil saya,” katanya. Ia merasakan ada misteri yang menyedotnya masuk ke dalam dan merasa ada ikatan batin dengan lukisan itu.

Sejak itu Nurul terobsesi untuk memiliki lukisan karya Jeihan kendati harus rela merogoh ratusan juta rupiah dari koceknya. ”Kalau lukisan sudah memanggil jiwa, duit saya poskan buat membelinya,” katanya. Lukisan Jeihan yang pertama dimilikinya merupakan karya tahun 1995, dengan obyek lukisan seorang wanita tetangga si pelukis.

Dalam Potret Diri, Nurul sendiri yang tampil sebagai model. Belakangan, anak pertamanya, Maura, pun dilukis. Kini Nurul sudah mempunyai empat lukisan karya Jeihan. Lukisan lain yang ia koleksi adalah karya pelukis muda seperti Hanafi dengan gaya warna lukisan yang minimalis.

Koleksi lukisan Nurul baru 10 buah. ”Belum banyak,” kata ibu dua anak ini. Semuanya hasil perburuan ke galeri-galeri di dalam negeri. Ia belum sampai pada tahap hunting ke luar negeri. ”Saya belum seekstrem itu,” ujarnya.

Di antara deretan generasi baru kolektor lukisan, Nurul memang belum ”segila” Chris Darmawan, 47 tahun. Pengusaha tembakau ini, bila perlu, mengejar lukisan sampai ke Singapura dan Hong Kong. Awal Oktober lalu, misalnya, ia menyambangi balai lelang Sotheby’s di Negeri Singa. Ketika itu di sana sedang ada lelang lukisan karya pelukis-pelukis besar Indonesia. Salah satunya adalah lukisan Affandi berjudul Potret Diri.

Chris sesungguhnya sangat tertarik pada lukisan itu, namun banyak peserta lelang lain yang sama-sama menginginkannya. Alhasil, harga lukisan melambung hingga Rp 2 miliar. Chris pun akhirnya menyerah. ”Kalau harganya di luar kemampuan, saya lepas,” katanya. Apalagi ia sudah memiliki karya Affandi yang lain, berjudul Chairil Anwar, buatan 1948, dan Car Junk Yard in USA buatan 1962.

Di samping lukisan karya Affandi, Chris juga menyenangi lukisan karya Sudjojono yang berjudul Portrait of A Lady buatan 1950. Bukan cuma nama besar dan ketinggian seni yang membuat Chris memburu sebuah lukisan. Ia juga mengejar lukisan yang dianggap bersejarah. ”Ada nilai lebihnya,” katanya. Ya, lukisan memang juga telah menjadi wahana investasi.

Chairil Anwar karya Affandi, misalnya, dinilai bersejarah karena lima hari setelah pembuatannya penyair besar itu tutup usia. Sementara Portrait of A Lady adalah potret istri pertama Sudjojono. Banyak orang belum mengetahui hal itu karena istri pertama Sudjojono jarang dipublikasi.

Lukisan-lukisan milik Chris ikut dipamerkan dalam acara ”Fashioning Modernity Seven Indonesian Master” di museum Art Retreat Singapore pada Oktober lalu. Ketiga lukisan dipinjam untuk dipamerkan selama enam bulan. Itu merupakan tiga dari sekitar 300-an koleksi lukisan Chris, yang mulai menyukai karya lukis sejak 1992.

Dalam berburu lukisan, Chris tak segan-segan melakukan tukar-tambah. Ia rela menjual koleksi lamanya untuk mendapatkan karya yang lebih bagus. Ia, misalnya, memiliki empat lukisan karya Agus Suwage. Ketika ada lukisan lain dari pelukis yang sama yang lebih bagus, maka ia akan rela melepas lukisan pertama dan kedua yang dimilikinya untuk mendapat lukisan kelima dari pelukis tersebut.

Saat ini Chris masih fokus mengoleksi karya pelukis Indonesia. Baik pelukis old master maupun pelukis muda. Selain karya Affandi dan Sudjojono, lukisan lain yang ia miliki adalah karya pelukis Widayat, Jeihan, dan Hendra Gunawan. Adapun dari kalangan pelukis muda, ia memiliki karya Rudi Mantovani dan Andi Wirman.

Koleksi lukisannya dibeli dengan harga bervariasi, mulai dari jutaan hingga ratusan juta rupiah. Ada juga yang ia peroleh secara gratis. Harga sebuah lukisan, menurut dia, bisa berubah di kemudian hari. Soalnya ada nilai subyektif yang berpengaruh sangat tinggi. ”Nggak bisa ditentukan,” katanya.

Lain lagi dengan Hendra Setiabudi, 47 tahun. Direktur ekspor-impor sebuah perusahaan swasta di Jakarta itu lebih berani mengoleksi lukisan karya aneka pelukis. Mulai dari yang terkenal sampai yang tak terkenal sama sekali. Harganya berkisar mulai dari Rp 1,5 juta sampai Rp 100 juta.

Koleksi termahalnya merupakan karya pelukis Sigit. Lukisan yang dibeli tahun 2000 itu bergambar setengah badan seorang wanita. Hendra mulai mengoleksi lukisan pada awal 1990-an lantaran terpengaruh atasan dan rekan kerja di kantornya. Seusai rapat atau saat makan siang, mereka biasa membahas masalah lukisan. Lama-kelamaan Hendra tertarik ingin ikut mengoleksi.

Mulailah ia mengunjungi galeri-galeri dan menghadiri lelang lukisan mulai di Jakarta sampai Bali. Bahkan, ketika ke luar negeri, seperti ke Vietnam, Myanmar, dan Australia, ia menyempatkan diri berburu lukisan. Hasilnya, sudah 30 lukisan yang dikoleksi, di antaranya karya Nyoman Gunarsa, Nana Bana, Sigit, dan G.M. Sudarta.

Awalnya, Hendra membeli lukisan bergaya naturalis dan enak dipandang mata. Contohnya lukisan Ibu dan Anak karya GM Sudarta dan Penari karya Nyoman Gunarsa. Lambat laun apresiasinya terhadap lukisan makin berkembang. Ia mulai menyukai lukisan ruwet yang semula tak dipahaminya, seperti karya Affandi dan Rahmat Subani.

Pola mengoleksi lukisan seperti itu juga dialami Simon Tan Kian Bing, 35 tahun. Kepala Penjualan Honda Jawa Tengah ini mulanya mengoleksi lukisan yang mudah dipahami. Lukisan pertama yang diperolehnya 11 tahun lalu adalah karya Triyono, berjudul Penari Bali. Harganya Rp 400 ribu. Waktu itu ia tertarik membeli karena lukisan warna-warni seperti itu sedang menjadi tren. ”Bagi saya sebagai pemula, lukisan itu mudah dimengerti,” katanya.

Seiring apresiasinya yang meningkat, kini Simon menetapkan syarat bagi lukisan yang akan dikoleksinya. Lukisan itu harus memiliki keahlian teknis yang tinggi, punya kemampuan estetika yang spesifik, kreatif, dan kecerdasan pelukisnya atau pengalaman batin yang kuat.

Syarat itu dipenuhi beberapa pelukis seperti Sudjojono dan pelukis muda Andi Wirman. ”Itu pelukis favorit saya,” kata Simon. Ia menilai lukisan karya Sudjojono selain memiliki skill yang tinggi, juga kreatif dan cerdas. Lukisannya tidak terbatas pada satu obyek tertentu. Pada masanya, lukisan itu juga cerdas karena mengandung kritik sosial dan pesan filosofis. ”Lukisannya tidak hanya menampilkan keindahan semata,” ujarnya.

Begitu juga lukisan karya Andi Wirman. Simon menilai pelukis muda itu memiliki pendekatan berkarya yang unik dan tema-tema yang sederhana. Yang paling menarik dari karyanya yaitu nilai artistiknya. ”Sense of estheticnya luar biasa,” katanya. Karya Andi Wirman yang dimilikinya antara lain berjudul Buruk dan Duu buatan 1998. Lukisan itu merupakan bagian dari sekitar 100-an koleksinya. Koleksi lainnya, seperti karya Sudjojono, berjudul Orang Indonesia Menelepon, dibuat pada 1978, dan karya Affandi berjudul Kapal buatan 1972. Simon juga mengoleksi lukisan karya pelukis muda Heri Dono dan Ugo Untoro.

Kebanyakan koleksi Simon diperoleh di dalam negeri. Ia biasanya membeli lukisan dari berbagai sumber seperti broker kecil, galeri, atau langsung ke pelukisnya. Kadang-kadang saja ia mengikuti acara lelang lukisan di luar negeri.

Sebelum membeli sebuah lukisan, Simon harus mengenal pelukisnya lebih dulu. Dengan demikian ia tahu sejauh mana konsistensi si seniman dan nilai sebuah karya lukis. Berkat ilmunya, Simon kerap diundang menjadi pembicara dalam acara yang membahas investasi melalui karya seni lukis di berbagai tempat.

Lis Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus