Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARI menjelang Lebaran, selarik SMS masuk ke telepon seluler seorang anggota Komisi Yudisial: Mahkamah Agung telah memenangkan perkara Probosutedjo melawan Menteri Kehutanan pada 27 Oktober 2005. ”Kasasi Petun telah memenangkan Probo, Menhut harus membatalkan pencabutan izin HTI thd Probo.”
Awalnya, sang anggota Komisi Yudisial menganggap pengirim pesan hanya iseng. ”Ya, dia tahu bahwa Komisi Yudisial sedang memeriksa kasus suap Probo,” katanya kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu. ”Dia barangkali ingin mempengaruhi kami.”
Menurut penelusuran Tempo, Probo memang diam-diam melayangkan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) Jakarta. Gugatan itu didaftarkan setelah Menteri Kehutanan (waktu itu), Muhammad Prakosa, mencabut izin hak PT Menara Hutan Buana mengelola hutan tanaman industri (HTI).
Pencabutan izin dituangkan dalam surat keputusan menteri pada 24 Oktober 2002, dengan alasan Probo mengalihkan sahamnya di PT Menara Hutan Buana ke perusahaan asing tanpa izin Menteri Kehutanan. Pengalihan saham dituangkan dalam akta nomor 3 pada 8 Januari 2002, serta akta nomor 13 dan nomor 14 pada 13 Februari 2002.
Ketiga akta itu dikeluarkan notaris Benny Kristianto di Jakarta. Namun pemberitahuan pengalihan saham baru dilaporkan ke Menteri Kehutanan enam bulan kemudian. Probo juga diduga tak becus mengelola dana reboisasi Rp 100,9 miliar. Padahal dana itu diberikan sebagai pinjaman tanpa bunga untuk mengurus HTI seluas 268.585 hektare di Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Kalimatan Selatan.
Meski Probo terus membantah, Prakosa tetap pada pendiriannya. Bahkan akhirnya Soeripto, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan waktu itu, melaporkan Probo ke Kejaksaan Agung dengan tuduhan korupsi.
Masalah ini pun bergulir ke jalur tata usaha negara dan pidana. Dalam perjalanan, majelis hakim pengadilan tata usaha negara di tingkat pertama memutuskan memenangkan Probo, pada 13 Juni 2003. Tak lama berselang, majelis hakim pengadilan banding juga berpihak pada Probo. Putusan serupa juga dikeluarkan majelis hakim kasasi pada 9 Juni 2005. Para hakim itu bersuara sama: Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 9876/KPTS-II/2002 dinyatakan batal.
Dalam salinan amar putusan kasasi yang diperoleh Tempo, majelis hakim, yakni Chairani A. Wani, Titi Nurmala Siagian, dan Valerine J.L.K., memutuskan menolak permohonan Menteri Kehutanan agar surat keputusan itu dinyatakan sah. Namun Chairani menolak bicara tentang pertimbangan majelis hakim. ”Perkara itu putus sudah lama,” katanya. ”Saya tidak ingat lagi.”
Menteri Kehutanan M.S. Kaban tak mampu menyembunyikan kekecewaannya atas putusan kasasi tata usaha negara itu. ”Saya akan jalan terus,” katanya kepada Tempo. ”Saya akan menempuh prosedur hukum yang ada.”
Upaya hukum yang ada memang tinggal pengajuan peninjauan kembali, dan itulah yang sedang dipelajari Kaban. Namun ia meminta Probo lebih dulu mengembalikan seluruh dana reboisasi yang telah dipakainya tiga tahun lalu. ”Sebab, dalam keputusan MA itu tidak ada perintah eksekusi. Hanya membatalkan surat pencabutan. Jadi, mereka tetap bayar.”
Menanggapi kekecewaan Kaban, Chairani malah menantang. ”Kalau tidak puas, silakan saja ajukan PK,” kata hakim agung yang pernah dituding menerima suap Rp 3,5 miliar ketika menangani perkara calon Gubernur Lampung dari Partai Golkar, Alzier D. Thabrani itu.
Kaban menilai aneh putusan majelis hakim yang membatalkan surat keputusan Menteri Kehutanan itu. Majelis hakim mestinya tidak semata-mata berfokus pada formalitas administrasi, namun mencermati substansi surat itu. Apalagi memang ada kewenangan menteri mencabut izin jika ditemukan pelanggaran di lapangan. ”Tapi kemudian oleh hakim dibilang ini tidak benar,” kata Kaban. ”Ini kan sangat aneh?”
Sebaliknya, putusan kasasi tata usaha negara ini membuat Probosutedjo lega. Ia semakin percaya kasus pidananya bakal gugur. Soalnya, surat keputusan yang jadi alat bukti perkara pidananya sudah digugurkan oleh pengadilan tata usaha negara. ”Sejak awal Pak Probo sudah mengatakan, ini perkara perdata,” ujar H.A. Boer, pengacara Probosutedjo.
Itu berarti, perkara ini akan dibawa ke masalah ingkar janji (wanprestasi) antara PT Menara Hutan Buana dan Menteri Kehutanan. Dengan keluarnya putusan pengadilan tata usaha negara ini, Probo kembali mendapat izin mengelola HTI. Dalam waktu dekat, kata Boer, kliennya akan menyelesaikan masalah ini secara baik-baik dengan Menteri Kehutanan.
Namun, semudah itukah Probo lolos dari jerat hukum pidana? Menurut Rudy Satrio Mukantardjo, tak segampang itu Probo lolos. Sebab, ada dua hal substansial yang berbeda di pengadilan tata usaha negara dan pengadilan pidana. PTUN hanya mengurus masalah administrasi, sedangkan perkara korupsi tidak berhubungan dengan administrasi kebijakan saja, tapi juga tindakan pidana.
Dengan begitu, putusan PTUN Probo tidak berpengaruh besar dalam perkara korupsinya. ”Kalau toh ada pengaruhnya, hanya menurunkan hukuman saja,” kata pengamat hukum dari Universitas Indonesia itu kepada Muchamad Nafi dari Tempo. ”Tidak akan membebaskan.”
Memang, kata Rudy, putusan ini bisa mengurangi nilai alat bukti pidana Probo. Tapi hakim memiliki kebebasan membuat penilaian berbeda dengan hakim pengadilan tata usaha negara. Pertimbangan lainnya, pengakuan suap Probo kepada majelis hakim dan jaksa yang membuat mereka tentu harus lebih berhati-hati memutus perkara itu.
Kehati-hatian itu sudah lebih dulu dilakukan Ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan, dengan mengganti majelis hakim pidana korupsi. Lima hakim agung ditunjuk menjadi majelis hakim yang baru, yakni Iskandar Kamil (ketua majelis), Harifin H. Tumpa, Regngena Purba, Djoko Sarwoko, dan Atja Sonjaya.
Boer mengakui, putusan kasasi tata usaha negara memang akan dipakai untuk melawan jika nanti putusan kasasi menyatakan Probo bersalah. ”Kami akan menjadikan novum ketika nanti mengajukan PK,” katanya.
Putusan kasasi itu tak urung membikin sejumlah petinggi MA gerah. Sumber Tempo di MA mengatakan, perkara Probo di pengadilan tata usaha negara luput dari pantauan pimpinan lembaga tertinggi di bidang yudisial itu, sehingga ada rencana memeriksa majelis hakimnya. ”Terkait dengan perkara pidananya, lha kok TUN-nya dikalahkan semua,” ujar sumber itu.
Dalam manajemen administrasi perkara di MA, ujarnya, jika satu perkara masuk dan didaftarkan di pidana, perdata, atau tata usaha negara, biasanya pimpinan MA mengatur agar majelis hakimnya berkoordinasi. Dengan demikian bisa diketahui pemetaan masalah secara lengkap.
Untuk dua perkara Probo, hal itu tidak dilakukan—entah mengapa. Bahkan seorang hakim agung yang menangani perkara ini mengaku tidak tahu-menahu kalau perkara TUN Probo terkait dengan perkara pidananya yang juga di tingkat kasasi. Yang pasti, Probo telah memetik satu kemenangan dari proses hukum yang tertutup di MA.
Maria Hasugian, Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo