Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kian banyak pengusaha batik di Yogyakarta yang menggunakan bahan alami untuk produksinya. Batik Yogyakarta yang ramah lingkungan itu, antara lain, mengusung merek Jolawe dan Marenggo Natural Dyes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batik Yogyakarta berlabel Marenggo Natural Dyes Batik adalah hasil ikhtiar perajin Nuri Ningsih Hidayati. Bahan-bahan dari alam yang dipakai Nuri berderet banyak: daun mangga, daun rambutan, kayu mahoni, kayu nangka, daun marenggo, kesumba, dan kayu jati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu ada juga indigo, kayu tinggi, kayu jolawe, kayu secang, tegeran, jambal, benguk, kulit manggis, dan gambir. Semjua itu menjadi bahan pewarna batik Yogyakarta kreasinya.
Semuanya diperoleh dari sekitar tempat tinggal Nuri di Berbah, Sleman. "Batik pewarna alam sehat di kulit dan warnanya tidak mencolok," kata Nuri suatu saat kepada Tempo.
Hasil dari pewarna alam itu mmeunculkan tekstur kain yang halus ketika disentuh. Motifnya kaya akan karakter flora. Di antaranya daun semanggi dan ranting kecil. Yang istimewa, bahan pewarna yang digunakan ternyata tidak mencemari lingkungan.
Menurut alumnus Jurusan Seni Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, selama ini, batik pewarna alam dikenal punya pangsa pasar tersendiri. Beberapa kalangan yang menggemarinya, antara lain, para wisatawan mancanegara yang sadar akan kelestarian lingkungan.
Pencinta batik jenis ini juga datang dari kalangan kelas menengah ke atas. Pembelinya rata-rata datang dari Jakarta.
Menurut Nuri, pengerjaan batik tulis pewarna alam membutuhkan waktu lebih lama dan memperhatikan detail pola pada kain. Untuk bisa menjadi pewarna, bahan-bahan itu harus melalui proses fermentasi. Itu sebabnya, harga batik jenis ini lebih mahal ketimbang batik pewarna sintetis..
Paguyuban Batik Tulis Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul, juga menyuguhkan batik pewarna alam. Mereka bekerja sama dengan mahasiswa Jurusan Seni Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta. "Dosen kami sering ke desa wisata Giriloyo untuk riset," kata seorang mahasiswi Jurusan Seni Kriya ISI, Sri Utami.
Nur Ahmadi, Ketua Paguyuban Batik Tulis Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul, mengatakan batik pewarna alam ramah lingkungan dan gampang diperoleh di sekitar tempat tinggal perajin. Nur menggunakan campuran bahan pewarna alam dari beragam tumbuhan.
Ada daun krungkungan yang banyak tumbuh di pinggir sungai dan pematang sawah. Tanaman jenis ini punya bunga berwarna ungu. Kunang-kunang suka hinggap pada jenis tanaman ini. Ada juga pewarna dari kulit buah jolawe yang mirip duku, serta daun mangga, indigo, dan mahoni. "Warnanya yang soft menyehatkan kornea mata," kata Nur.
Banyak varian warna pada batik itu. Misalnya, warna biru dihasilkan dari daun indigo atau hijau lumut dari kulit buah jolawe.
Menurut dia, batik pewarna alam punya pasar tersendiri karena harganya yang lebih mahal. Batik jenis ini punya tingkat kerumitan yang lebih ketimbang pewarna sintetis.
Untuk membuatnya, paling tidak perlu waktu sepekan. Sedangkan batik pewarna sintetis hanya perlu waktu 1-2 hari.
Lewat peragaan busana yang dikemas dengan baik dan melibatkan para desainer, Nur berharap batik pewarna alam akan semakin digemari. Di gerai Nur Ahmadi juga terdapat batik tulis pewarna alami dengan motif andalan Bantul, yakni kembang kates..
Selain perajin, ada Batik kreasi siswi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Gedangsari Kabupaten Gunungkidul. Motifnya khas Gedangsari, yakni daun, pohon, dan buah pisang. Gedang dalam bahasa Jawa punya arti pisang.
SHINTA MAHARANI