Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Marzuki Menahan, Soeharto Melawan

Gugatan Soeharto terhadap Time dan tuntutan praperadilannya ditolak pengadilan. Kenapa kejaksaan tak mempercepat perkara Soeharto dan menyita aset yayasan?


11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGI-lagi Soeharto. Kasus mantan presiden Orde Baru itu seperti tak habis-habisnya menyita energi masyarakat. Bahkan para mahasiswa hampir setiap hari berdemonstrasi ke arah kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta. Mereka menuntut agar Soeharto secepatnya diadili.

Gelombang tuntutan itu bisa jadi semakin deras. Itu lantaran masyarakat menganggap Jaksa Agung Marzuki Darusman bersikap lamban dalam menuntaskan kasus korupsi Soeharto di beberapa yayasan yang diketuainya semasa menjadi presiden.

Meskipun Soeharto telah dikenai tahanan rumah, toh kejaksaan tak bisa memeriksanya secara intensif. Seolah-olah, kejaksaan yang memiliki wewenang memaksa dari negara itu, kalah kuat dibandingkan dengan orang-orang di sekitar Soeharto, termasuk pengacaranya.

Belum lagi bila menilik aksi penyitaan, yang baru sebatas dokumen Yayasan Super Semar. Sedangkan berbagai aset yayasan, terutama dananya yang telah disalahgunakan untuk kepentingan bisnis kerabat dan kroni Soeharto, belum juga disita. Padahal, penyitaan aset dalam kasus korupsi berguna untuk menjamin pengembalian uang negara.

Memang, Marzuki Darusman menyatakan akan mengajukan perkara Soeharto ke pengadilan sebelum 10 Agustus 2000. Janji itu harus segera diwujudkan. Apalagi baru-baru ini ada dua putusan pengadilan yang bisa semakin memperkuat jurus kejaksaan untuk merampungkan perkara tersebut.

Vonis pertama dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu, yang menolak gugatan Soeharto terhadap majalah Time. Semula, Soeharto menganggap gambar sampul dan berita Time edisi 24 Mei 1999 tentang bisnis Soeharto dan keluarga telah mencemarkan nama baik dan memfitnah dirinya.

Menurut majelis hakim yang diketuai Sihol Sitompul, cover dan berita Time dimaksud tidak tergolong penghinaan. Alasannya, selain masih dalam batas-batas kepatutan, berita tersebut juga sebelumnya sudah dilansir oleh media cetak dalam dan luar negeri.

Kalaupun delik penghinaan dikaji lebih lanjut, kata majelis hakim, unsur kesengajaannya menjadi pupus karena berita dimaksud menyangkut kepentingan umum. Dalam hal ini kepentingan umum untuk memberitahukan kasus korupsi kepada masyarakat. Lagi pula, sesuai dengan Ketetapan MPR 13 November 1998 tentang pemerintahan yang bersih dan tuntutan reformasi, kasus Soeharto termasuk masalah yang disorot secara khusus.

Bagi kuasa hukum Time, T. Mulya Lubis, vonis tersebut merupakan tonggak monumental untuk kebebasan pers. Sebaliknya, kuasa hukum Soeharto, Muhamad Assegaf, menganggap putusan itu hanya berdasarkan pertimbangan politik dan kegeraman masyarakat. "Hakim melihat perkara itu dari sisi jurnalistik belaka. Padahal, Time tak bisa membuktikan kebenaran berita itu," kata Assegaf. Ia juga mempersoalkan sikap hakim terhadap tiga saksi ahli, yang bukan diminta pandangan keahliannya secara umum, melainkan digiring pendapatnya tentang cover dan berita Time.

Adapun putusan kedua berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat pekan lalu. Putusan itu diketuk setelah ada gugatan praperadilan dari Soeharto yang mempersoalkan pencabutan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) dan penahanannya. Menurut tim pengacara Soeharto, pencabutan SP3 tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan penahanan Soeharto juga tak sesuai dengan KUHAP, karena Soeharto tak akan melarikan diri ataupun menghilangkan barang bukti.

Namun, Hakim Rusmandani Achmad berpendapat bahwa Soeharto sebagai tersangka tidak berhak mengajukan praperadilan. Sebab, praperadilan hanya diperuntukkan bagi jaksa penuntut umum atau pihak yang berkepentingan—misalnya saksi korban atau pelapor. Dan soal pencabutan SP3, menurut hakim, bukan wewenang hakim praperadilan, melainkan menjadi hak jaksa penyidik korupsi.

Sekali lagi, pengacara Soeharto, Juan Felix Tampubolon, menyatakan tidak puas atas putusan praperadilan itu. "Pertimbangan hakim tidak obyektif," ujar Juan, yang akan menempuh upaya hukum lain untuk memerkarakan kesewenang-wenangan Jaksa Agung terhadap kliennya. Sementara itu, seusai putusan, kejaksaan memperpanjang penahanan rumah terhadap Soeharto selama 30 hari, terhitung sejak 12 Juni sampai 11 Juli 2000.

Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer, dan Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum