KESALAHAN fatal Presiden B.J. Habibie dalam kasus Timor Timur mestinya tak terulang. Sebagaimana disesalkan banyak pihak, Habibie telah membuat kesepakatan internasional, bahkan kemudian memutuskan opsi referendum bagi Timor Timur. Akibat keputusan tanpa persetujuan DPR apalagi MPR itu, provinsi ke-27 itu pun lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Kini kekeliruan serupa mudah-mudahan tak akan terjadi lagi. Sebab, segala kesepakatan atau perjanjian internasional (traktat) yang berdampak strategis bagi bangsa dan negara hanya bisa diteken presiden setelah disetujui DPR. Prinsip penting itu tertuang pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Perjanjian Internasional yang sekarang dibahas pemerintah dan DPR.
Sebenarnya, aturan tentang perjanjian internasional tercantum pada satu-satunya pasal dalam UUD 1945, yakni Pasal 11. Tapi rumusan pasal itu amat singkat, sehingga tak jelas bagaimana bentuk persetujuan DPR—apakah harus melalui undang-undang—dan kriteria perjanjian internasional yang harus disetujui DPR. Undang-undang yang mestinya memperjelas ketentuan pokok itu tak jua lahir.
Yang muncul hanyalah surat bernomor 2826, tanggal 22 Agustus 1960, semasa Presiden Sukarno. Menurut surat yang ditujukan kepada DPR tapi tak kunjung dijawab DPR itu, perjanjian internasional yang akan mempengaruhi haluan politik luar negeri Indonesia harus disetujui DPR lewat undang-undang. Di luar jenis perjanjian itu tak perlu disetujui DPR, tapi cukup disahkan pemerintah dengan keputusan presiden (keppres), yang kemudian diberitahukan kepada DPR. Pemerintah yang akan menentukan jenis perjanjian dengan undang-undang dan yang cukup berkeppres.
Meski surat 2826 itu hanya berupa usul presiden, ternyata pada praktek tata negara surat itu menjadi sumber hukum konvensi (kebiasaan). Ironisnya, selama 40 tahun ini presiden mendominasi pengesahan perjanjian internasional. Dengan kata lain, DPR tak dianggap. Walhasil, sebagian besar dari 2.000 perjanjian bilateral dan 100 perjanjian multilateral yang telah dibuat pemerintah hanya dituangkan dengan keppres.
Padahal, pelbagai perjanjian yang tak melalui proses persetujuan DPR itu sangat menentukan nasib Indonesia. Contohnya, perjanjian Timor Timur di atas, perjanjian di bidang keamanan, lingkungan hidup, ataupun hak asasi manusia. Demikian pula perjanjian utang luar negeri, termasuk bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan CGI. Bahkan beberapa perjanjian itu terbukti merugikan Indonesia, misalnya, kontrak karya Freeport.
Sayangnya, kriteria untuk membedakan jenis perjanjian yang harus disetujui DPR dan yang cukup dengan keppres juga tak dirinci secara tegas dalam RUU Perjanjian Internasional. Menurut Direktur Perjanjian Internasional di Departemen Luar Negeri, Harry P. Haryono, perjanjian internasional yang tak perlu berbentuk undang-undang umpamanya perjanjian kerja sama teknis antara satu departemen dan negara lain. Juga perjanjian investasi, penghindaran pajak berganda, dan pelayanan angkutan udara serta pelayaran.
Tentu saja tiadanya kriteria dan contoh konkret itu menimbulkan kekhawatiran, jangan-jangan prakteknya kelak tak berbeda dengan masa konvensi 2826. Selain masalah itu, anggota DPR yang membahas RUU tersebut juga mempersoalkan tak dicakupnya perjanjian utang luar negeri dalam RUU. Begitu juga persetujuan dengan IMF dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang belum lama ini dibuat pemerintah di Swiss.
Bagi dua anggota DPR Aisyah Amini dan Yasril Ananta Baharuddin, perjanjian pinjaman luar negeri terhitung substansi penting yang harus diatur dalam RUU. Dengan demikian, setiap perjanjian utang luar negeri harus disetujui DPR. Bagaimanapun, "Setiap sen uang yang dipinjam akan menjadi beban rakyat," ujar Aisyah.
Argumentasi itu tidaklah berlebihan. Selama ini, pinjaman luar negeri yang tak pernah diketahui DPR ternyata menjadi beban berat. Sampai April 1998, total utang luar negeri Indonesia ditaksir US$ 133,7 miliar—60 persen di antaranya utang swasta. Utang besar itulah yang mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan.
Namun, pemerintah agaknya tak merasa perlu memasukkan perjanjian utang asing dalam RUU. Alasannya, menurut Harry, pemerintah akan membuat RUU tersendiri tentang pinjaman luar negeri. Tapi, "Bisa saja garis besarnya akan disinggung pada RUU Perjanjian Internasional," kata Harry.
Adapun soal perjanjian pemerintah dengan GAM, kata Harry, itu tak termasuk perjanjian internasional, melainkan hanya kesepahaman bersama tentang masalah teknis kemanusiaan di Aceh. Karena itu, cukup diputuskan pemerintah tanpa melalui DPR. Kalau tidak begitu, "Nanti waktu DPR habis hanya untuk mengurusi perjanjian internasional," tambahnya.
Happy S., Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini