Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tiada Gading yang Sempurna

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMPAT dikepung keraguan, akhirnya pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi kelar juga. Bahkan, pada 13 Agustus lalu, rancangan itu telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengesahan ini memungkinkan lembaga baru ini bisa didirikan, termasuk memilih hakim-hakimnya, sebelum 17 Agustus tahun 2003 seperti yang digariskan konstitusi.

Penggodokan rancangan itu sempat molor karena pemerintah agak telat mengirim utusannya ke parlemen. Selain itu, Presiden Megawati juga pernah menyampaikan semacam amanat. Intinya, meminta agar wewenang Mahkamah Konstitusi dilaksanakan secara bertahap.

Hasilnya? Sebagian besar fraksi menolak keinginan itu. Seperti yang tercantum dalam undang-undang itu sekarang, lembaga ini tak cuma menguji undang-undang. Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan Pasal 10, juga wajib memberikan keputusan atas pendapat parlemen bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum.

Soal persyaratan hakim Mahkamah Konstitusi juga sempat menjadi perdebatan. Ada yang menginginkan agar di luar penyandang gelar sarjana hukum bisa dijadikan hakim lembaga ini. Tapi, seperti yang diatur pada Pasal 16, tetap disyaratkan hakim Mahkamah Konstitusi berpendidikan sarjana hukum.

Bukan berarti tidak ada kelemahan dari undang-undang tersebut. Ini menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang. Dalam Pasal 50 dinyatakan undang-undang yang bisa diuji adalah undang-undang yang berlaku setelah amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada 1999. Artinya, undang-undang yang dibuat sebelum amandemen konstitusi tak akan disentuh oleh hakim. "Hanya, undang-undang yang tidak mengacu pada UUD 1945, misalnya produk hukum Belanda, tetap bisa diuji," ujar Zain Badjeber, yang memimpin pembahasan rancangan undang-undang tersebut di parlemen.

Kendati begitu, Firmansyah Arifin dari Ketua Konsorsium untuk Reformasi Hukum Nasional mengaku kecewa. Ia menilai, ada kekhawatiran lembaga tersebut kebanjiran perkara tentang pengujian undang-undang jika tak ada pembatasan. "Seharusnya pembatasan semacam ini diatur saja oleh mahkamah sendiri, tak perlu disebut dalam undang-undang," ia menukas.

Hanya, bagi Jimly Asshidiqie, pembatasan seperti itu tidak ada masalah. Menurut ahli tata negara di Universitas Indonesia ini, semua perkara—termasuk pengujian undang-undang di bawah tahun 1999—bisa diterima oleh Mahkamah Konstitusi. "Nah, mahkamah ini bisa menimbangnya dari segi hukum, tak harus terlalu bergantung pada ketentuan Pasal 50," tuturnya. Selain itu, menurut pengamat hukum Luhut Pangaribuan, evaluasi terhadap undang-undang di bawah 1999 tetap bisa dilakukan lewat jalur politik di parlemen.

Masalah lain yang jadi persoalan adalah tentang "pengkhianatan negara" yang bisa dijadikan alasan untuk memberikan impeachment terhadap presiden. Dalam Pasal 10 dinyatakan masalah itu merujuk pada undang-undang. Tapi, menurut Firmansyah, selama ini pengkhianatan negara diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Pemilihan Presiden. Isinya berbeda. Dalam KUHP, hal itu dirinci sebagai makar atau memberontak untuk menggulingkan negara. Sedangkan Undang-Undang Pemilihan Presiden menyebut gerakan separatis, kekerasan mengubah dasar negara, dan melanggar UUD 1945. Firmansyah menambahkan, "Seharusnya dalam penjelasan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diperjelas yang mana yang dipakai.

Seperti gading, memang tidak ada undang-undang yang sempurna, apalagi jika dibahas dengan terburu-buru.

Agus S. Riyanto


Wewenang Mahkamah Konstitusi

Pasal 10 (ayat 1)

  • Berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
  • Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara.
  • Membubarkan partai politik.
  • Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pasal 10 (ayat 2)

Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Pasal 50

Undang-undang yang bisa diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945.

Pasal 55

Pengujian peraturan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus