Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di Flores Timur, ada mitos tentang sorgum, pangan lokal yang tumbuh subur di sana.
Dulu ada seorang perempuan mengorbankan dirinya agar anggota keluarganya tidak mati kelaparan.
Mitos Tonu Wujo menyebar ke pulau-pulau tetangga Adonara, yakni Lembata dan Solor.
Harum bubur sorgum berpadu dengan kacang hijau menguar dari dapur milik Maria Loretha. Asap mengepul dari mangkuk-mangkuk yang masih panas. Pagi itu, hujan sudah reda setelah mengguyur Pulau Adonara di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Maria Loretha—petani pangan lokal—bersama anaknya, Ily, dan anggota komunitas Sekolah Argo Sorgum Flores tersenyum ramah menyambut kedatangan saya dengan hangat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perut saya keroncongan setelah menempuh perjalanan panjang menggunakan pesawat dari Yogyakarta dan transit di bandar udara di Jakarta, Kupang, hingga Larantuka. Dari kota seribu kapel yang romantis dan sejuk itu, saya menumpang perahu motor yang membelah Selat Larantuka, memisahkan Flores dan Pulau Adonara, selama setengah jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak saya mendarat di Bandara Gewayantana di Larantuka, Jefri—anggota komunitas Sekolah Argo Sorgum Flores—memberi tahu rute penyeberangan yang lebih cepat dari Larantuka, ibu kota Flores Timur, ke Adonara. Saya berbelok menuju Pelabuhan Pante Palo, tak jauh dari Pelabuhan Larantuka.
Lalu saya menyeberang menggunakan kapal motor kecil menuju Pelabuhan Tana Merah dengan waktu tempuh satu jam. Bila bertolak dari Pelabuhan Larantuka, perjalanan laut menuju Pelabuhan Tobilota membutuhkan waktu satu jam. “Supaya tak antre, lewat Pante Palo saja,” kata Jefri, Ahad, 4 Februari 2024.
Jefri menjemput saya di Pelabuhan Tana Merah. Kami menempuh perjalanan darat menggunakan sepeda motor menuju rumah Mama Loretha—sapaan akrab Maria Loretha. Setelah menyandarkan tas punggung, kami bersama-sama menyantap bubur panas sorgum yang baru saja dimasak.
Bubur sorgum di pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 4 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Setelah perut terisi bubur, saya rehat di pondok yang hanya berjarak 400 meter dari bibir pantai. Saya menikmati debur ombak dan semilir angin dengan membuka jendela pondok. Ketika siang tiba, Mama Loretha memanggil saya untuk makan. Tapi perut saya masih kenyang.
Tibalah malam hari dan kami berkumpul kembali untuk makan di pondok utama dekat dapur. Kami menyantap ikan segar, nasi sorgum, tempe, dan sayur daun labu hingga tandas. Semua makanan yang disajikan berasal dari kebun Mama Loretha. Bumbu-bumbu pun ditanam di kebunnya. Ikan dibeli di pasar terdekat yang diambil dari laut Adonara.
Sembari menyantap hidangan sehat dan lezat itu, Mama Loretha mengisahkan mitos tentang sorgum, pangan lokal yang tumbuh subur di Flores Timur yang sebagian tandus dan kering. Kisah ini masih dipengaruhi oleh kepercayaan tertinggi suku Lamaholot, Lera Wulan Tanah Ekan, yang punya arti Tuhan, matahari, bulan, dan bumi. Orang Lamaholot memuja alam dan seisinya. Mereka percaya roh-roh mendiami matahari, bulan, dan bumi. Roh-roh itu ada di pohon, gunung, dan binatang.
Menurut Mama Loretha, pada dahulu kala, konon ada seorang perempuan yang mengorbankan dirinya agar semua anggota keluarganya tidak mati kelaparan saat musim kemarau melanda hingga mendatangkan paceklik. Namanya Tonu Wujo Besipare.
Tonu Wujo merelakan dirinya untuk berkorban agar semua anggota keluarganya selamat dari bencana kelaparan. Sebelum pengorbanan terjadi, Tonu Wujo berpesan, setelah dia mati, akan tumbuh semua jenis tanaman pangan. Kemudian muncullah berbagai tanaman pangan dari tubuhnya yang terbaring di ladang.
Kebun sorgum milik Maria Loretha di Desa Pajinian, Adonara Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 6 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Darahnya menjadi padi. Tulang belulangnya menjadi sorgum atau dalam bahasa Lamaholot disebut Wata Belolong karena tumbuh tinggi seperti tulang-tulang. Ususnya menjadi jawawut dan rambutnya menjadi jagung. Darahnya menjadi padi atau Besi Pare Tonu Wujo. Hingga kini, Besi Pare Tonu Wujo menjadi benih andalan warga Flores Timur. Bagi masyarakat setempat, benih lokal lebih tahan hama dan tahan disimpan dalam waktu yang lama.
Saya mendengarkan cerita itu dengan takzim. Mitos Tonu Wujo menyebar ke pulau-pulau tetangga Adonara, yakni Lembata dan Solor. Mama Loretha kerap mendengar legenda itu dari orang-orang sepuh di pelosok desa pulau-pulau tersebut ketika mendampingi komunitas perempuan petani.
Obrolan kami terhenti menjelang tengah malam. Langit sangat gelap dan terdengar geluduk. Saya bergegas menuju ke pondok untuk tidur. Saya berpisah dengan Mama Loretha, Nona Ily, dan Kak Jefri. Mereka tidur di pondok yang agak jauh dari pondok saya. Pondok mereka berjarak 1 kilometer dari bibir pantai. Rumah Mama Loretha, yang dikitari pohon mete dan kelapa, terisolasi dari perkampungan. Untuk menuju ke kampung terdekat, perlu berjalan menembus sungai dan ladang-ladang mete dengan jarak 3 km.
Hujan turun sangat deras disertai geledek malam itu. Keriyut pohon terdengar karena terpaan angin kencang. Suara debur ombak sangat kuat. Saya lantas teringat badai siklon tropis atau badai Seroja yang meluluhlantakkan permukiman Adonara menjelang Paskah pada 4 April 2021.
Puluhan orang tewas dan hilang, rumah hancur, serta ribuan orang mengungsi karena rumah mereka diterjang banjir bandang. Saat itu air sungai di dekat rumah Mama Loretha meluap. Pohon-pohon besar tumbang dan ombak menyapu kampung. Mama Loretha dan keluarganya selamat dari amukan badai Seroja.
Awan mendung di atas pulau Andora terlihat dari pulau Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara, 7 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Saya berusaha tenang karena sebelumnya rajin memantau prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Intensitas hujan memang diperkirakan tinggi malam itu. Siang hari, saya juga telah mengamati jalur evakuasi dengan papan petunjuk yang dipasang di dekat pondok.
Saat ke kamar mandi, saya terkejut karena tiba-tiba seekor ular berwarna hitam sebesar jempol jari melingkar di dekat batu karang bak kamar mandi. Saya berusaha tidak panik. Tetap buang air kecil dan mengambil air pelan-pelan dengan gayung. Saya lekas meninggalkan kamar mandi yang gelap.
Berbekal pengetahuan dari menonton film dokumenter tentang survival di alam bebas dan membaca sejumlah artikel, saya tahu bahwa ular sangat peka dengan benda-benda berbau menyengat dan sensitif terhadap cahaya lampu. Saya kemudian mengambil jeruk, bekal yang saya bawa dari Yogyakarta.
Potongan kulit jeruk itu saya gosokkan ke pintu bagian bawah dan celah-celahnya untuk menghalau ular masuk. Lampu juga menyala terang. Aroma buah citrus, seperti jeruk, lemon, dan jeruk nipis, tidak disukai ular karena asam dari senyawa limonene yang dikeluarkan. Suara tokek pada langit-langit atap pondok yang setengah terbuka melegakan karena tokek musuh ular.
Menurut Mama Loretha, ular kerap masuk ke pondok saat musim hujan. Loretha bahkan pernah nyaris digigit. Untuk menghalau ular, dia memelihara tujuh kucing dan dua anjing. Di pulau ini, binatang kaki seribu juga bebas berkeliaran, termasuk masuk ke kamar.
Pagi pada hari kedua di Adonara, saya bangun lebih awal karena ingin berlari di pinggir pantai. Rupanya hujan masih terus turun meski tak deras. Saya batal lari. Mama Loretha mengajak saya menyantap pisang goreng lokal yang dipipihkan. Pulau Adonara terkenal sebagai penghasil pisang. Jenisnya pisang kepok. Mendung yang tak segera menyingkir membuat suasana pagi itu sendu. Kami menyeruput kopi Flores sebagai teman makan pisang goreng yang nikmat.
SHINTA MAHARANI (Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo