KRITIK sastra maupun seni sudah ada. Teorinya pun ada. Kalau ada
teori, tentu ada ilmunya. Tapi adakah ilmu humor? Ini di negeri
Barat sudah bisa dipelajari dan diajarkan orang, meskipun
sekolah khususnya belum ada terdengar. Kaum pelawak di sana
sudah mempunyai buku yang bisa dipegangnya, antara lain karya
James Feibleman (In Praise of Comedy), Sigmund Freud (Jokes and
Their Relations to the Unconscious) dan Arthur Koestler (On
Creativity).
Di Indonesia, ilmu humor ini belum pernah dikembangkan. Kaum
pelawak kita masih berupa "pemain alam" yang ada juga lucunya,
tapi masih banyak yang dangkal. Berhasrat meningkatkan mutu
pelawak kita, Lembaga Humor Indonesia (LHI) rupanya tergerak
pula membuat rencana pendidikan. Buat sementara, semacam
penataran saja, yang sudah dimulai akhir pekan lalu. LHI dalam
hal ini bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DKI. Buat sementara,
diharapkannya dua kali sebulan. Selanjutnya bagaimana? "Menunggu
perkembangan," jawab Arwah Setiawan, Ketua LHI.
Sama sekali masih main coba-coba. Promotornya sendiri belum
mengetahui mata pelajaran apa dan bagaimana yang akan diberikan.
Pokoknya, ada penceramah -- pelawak atau bukan -- yang boleh
menguraikan teori humor, jika dia punya. Penceramah itu boleh
juga menguraikan pengalamannya saja, bila ia pelawak. Tak heran
kalau pesertanya terbatas. Penyelenggaranya, mungkin karena
masih coba-coba terutama mengundang para pemenang lomba lawak
yang diselenggarakan di DKI.
Teori Pelawak
Tak sedikit yang heran -- bahkan dari kalangan perhumoran
sendiri. "Apa bisa berjalan?" tanya Muharyo (52 tahun), redaktur
majalah Gadis yang pernah menjadi redaktur majalah humor Kampret
-- sempat terbit tiga nomor di tahun 50-an. Kenapa sangsi?
"Lawak itu bukan sesuatu yang eksak," jawabnya. Dan buru-buru
Muharyo menjelaskan, bila humor tulis memang memerlukan
ketrampilan menyusun skenario yang baik, diperlukan dalam humor
lisan "semacam latihan gimnastik (olahraga) untuk mempertinggi
daya reaksi agar sigap menyantap umpan teman bermain lawak."
Ateng berpendapat bahwa lawak itu soal bakat saja. "Ilmu lawak
tak bisa dipelajari," katanya. Tapi pelawak itu bisa juga
berteori: "Seseorang tertawa oleh lawakan sebab dia terkecoh.
Karena pelawaknya sengaja membuat kejutan." Ini tidak berarti
pelawak atau calon pelawak tidak harus belajar apa-apa. Ateng
sendiri mengaku perlu dipelajari psikologi massa dan pengetahuan
lain sebanyak mungkin. Berat?
Ada yang menduga, bahwa orang terlebih dahulu menghargai ilmu
pengetahuan, kemudian kesenian, baru humor. Dalam dunia
pewayangan ang boleh melucu hanya punakawan -- boleh dikatakan
mereka ini bujangnya para ksatria. Dalam hubungan antara humor
dan cabang lain kebudayaan, sering terdengar humor dalam film,
dalam teater, dalam sastra dan sebagainya. Jarang orang
meneliti, misalnya, berbagai aspek teaternya humor, sastranya
humor, psikologisnya humor.
Kriteria lucu atau tidaknya humor pertama-tama berdasar selera
pribadi. Orang Amerika bahkan suka menyindir humor orang
Inggeris itu "kering". Karena itu pula mungkin timbul persoalan
bagi orang seperti redaktur Muharyo dan Arief Kartidjo
Hardjodipuro (65 tahun) yang lebih dikenal sebagai Mang Cepot.
Muharyo menyeleksi naskah humor dulu berdasar selera sendiri
saja, dan Mang Cepot menduga-duga skenario yang ditulisnya lucu
atau tidak juga berdasar selera sendiri saja. Tapi memangada
ukuran lain, ialah orang lain. Maksudnya, naskah atau skenario
itu diberikan kepada orang lain -- entah teman atau hanya
kenalan -- untuk dibacanya. Kalau orang itu tertawa, pasti
lucu. Itulah mungkin kunci sukses Mang Cepot, tukang bikin
skenario obrolan atau acara lawak bersama Mang Udel di RRI
Jakarta dulu. "Yang penting dalam humor ialah jangan
berlebihan," kata Mang Cepot. Maksudnya, bila humor sudah
mencapai klimaks, tak perlu dilanjutkan dengan anti-klimaks yang
akan membuat kesan lucu jadi berkurang. Tentu saja klimaks itu
harus bisa bikin gerrr.
Arwah Setiawan yang sering menjadi juri lomba lawak sudah
mempunyai pegangan yang agak terperinci. Ada tiga hal baginya
yang dijadikan kriteria sebagai juri lawak: penampilan,
kreativitas dan bahan. Yang disebutnya pertama mempunyai aspek
antara lain gerak, mimik, intonasi, kostum, dan bloking. Tentang
kreativitas, bisa pada penampilan atau bahan. Contohnya, grup
dari Yogya dalam lomba lawak nasional di TMII tempo hari. Mereka
menampilkan pantomim mengetik dengan menggunakan tutup gelas
yang dipukul-pukulkan ke lantai untuk menciptakan bunyi mesin
tulis, yang memang bikin gerrr dengan kreatif. Di Yogya memang
ada pelawak yang sering berpantomim mengetik, dengan suara mesin
tulis lewat mulutnya.
Soal bahan, kata Arwah, menyangkut struktur dan bobot.
Maksudnya, apakah struktur bahan lawakan memang lucu atau biasa
saja. Dan tentang bobot itu, kaitannya dengan kehidupan sosial.
Dari Skripsi
Tapi apa, sih, sebetulnya tertawa, yang menjadi tujuan humor
itu? Menurut penelitian fisik, adalah gerak reflek 15 macam otot
pada wajah yang diseling gerak bernafas. Dan menurut penelitian
biologis, gerak 15 otot itu tanpa manfaat apa pun. Satu-satunya
fungsi yang bisa didapat dari gerak tersebut: sedikit mengurangi
ketegangan. Hal itu diuraikan juga dalam skripsi Ny. Woro Aryati
Prawoto, yang berhasil lulus sarjana lengkap dari Fak. Psikologi
UI tahun 1977, berkat humor. Judul skripsinya Studi Literatur
Mengenai Humor Antara lain dikatakannya, "dengan kemampuan
berhumor seseorang dapat mengurangi perasaan tegang yang
dialaminya." Dan nyonya satu itu menutup skripsinya, yang
didasarkan atas sekian banyak buku asing, dengan kepercayaan
penuh bahwa humor ada manfaatnya. "Humor, sebagaimana cinta,
mempunyai motivasi positif yang ikut mewarnai kehidupan manusia.
Melalui humor seseorang dapat merasakan hidupnya lebih
menyenangkan dan membahagiakan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini