Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Bukan punakawan saja melucu

Lembaga humor indonesia bekerja sama dengan dinas kebudayaan dki mengadakan semacam penataran untuk pelawak. promotornya masih coba-coba. dengan humor dapat mengurangi perasaan tegang. (hb)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRITIK sastra maupun seni sudah ada. Teorinya pun ada. Kalau ada teori, tentu ada ilmunya. Tapi adakah ilmu humor? Ini di negeri Barat sudah bisa dipelajari dan diajarkan orang, meskipun sekolah khususnya belum ada terdengar. Kaum pelawak di sana sudah mempunyai buku yang bisa dipegangnya, antara lain karya James Feibleman (In Praise of Comedy), Sigmund Freud (Jokes and Their Relations to the Unconscious) dan Arthur Koestler (On Creativity). Di Indonesia, ilmu humor ini belum pernah dikembangkan. Kaum pelawak kita masih berupa "pemain alam" yang ada juga lucunya, tapi masih banyak yang dangkal. Berhasrat meningkatkan mutu pelawak kita, Lembaga Humor Indonesia (LHI) rupanya tergerak pula membuat rencana pendidikan. Buat sementara, semacam penataran saja, yang sudah dimulai akhir pekan lalu. LHI dalam hal ini bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DKI. Buat sementara, diharapkannya dua kali sebulan. Selanjutnya bagaimana? "Menunggu perkembangan," jawab Arwah Setiawan, Ketua LHI. Sama sekali masih main coba-coba. Promotornya sendiri belum mengetahui mata pelajaran apa dan bagaimana yang akan diberikan. Pokoknya, ada penceramah -- pelawak atau bukan -- yang boleh menguraikan teori humor, jika dia punya. Penceramah itu boleh juga menguraikan pengalamannya saja, bila ia pelawak. Tak heran kalau pesertanya terbatas. Penyelenggaranya, mungkin karena masih coba-coba terutama mengundang para pemenang lomba lawak yang diselenggarakan di DKI. Teori Pelawak Tak sedikit yang heran -- bahkan dari kalangan perhumoran sendiri. "Apa bisa berjalan?" tanya Muharyo (52 tahun), redaktur majalah Gadis yang pernah menjadi redaktur majalah humor Kampret -- sempat terbit tiga nomor di tahun 50-an. Kenapa sangsi? "Lawak itu bukan sesuatu yang eksak," jawabnya. Dan buru-buru Muharyo menjelaskan, bila humor tulis memang memerlukan ketrampilan menyusun skenario yang baik, diperlukan dalam humor lisan "semacam latihan gimnastik (olahraga) untuk mempertinggi daya reaksi agar sigap menyantap umpan teman bermain lawak." Ateng berpendapat bahwa lawak itu soal bakat saja. "Ilmu lawak tak bisa dipelajari," katanya. Tapi pelawak itu bisa juga berteori: "Seseorang tertawa oleh lawakan sebab dia terkecoh. Karena pelawaknya sengaja membuat kejutan." Ini tidak berarti pelawak atau calon pelawak tidak harus belajar apa-apa. Ateng sendiri mengaku perlu dipelajari psikologi massa dan pengetahuan lain sebanyak mungkin. Berat? Ada yang menduga, bahwa orang terlebih dahulu menghargai ilmu pengetahuan, kemudian kesenian, baru humor. Dalam dunia pewayangan ang boleh melucu hanya punakawan -- boleh dikatakan mereka ini bujangnya para ksatria. Dalam hubungan antara humor dan cabang lain kebudayaan, sering terdengar humor dalam film, dalam teater, dalam sastra dan sebagainya. Jarang orang meneliti, misalnya, berbagai aspek teaternya humor, sastranya humor, psikologisnya humor. Kriteria lucu atau tidaknya humor pertama-tama berdasar selera pribadi. Orang Amerika bahkan suka menyindir humor orang Inggeris itu "kering". Karena itu pula mungkin timbul persoalan bagi orang seperti redaktur Muharyo dan Arief Kartidjo Hardjodipuro (65 tahun) yang lebih dikenal sebagai Mang Cepot. Muharyo menyeleksi naskah humor dulu berdasar selera sendiri saja, dan Mang Cepot menduga-duga skenario yang ditulisnya lucu atau tidak juga berdasar selera sendiri saja. Tapi memangada ukuran lain, ialah orang lain. Maksudnya, naskah atau skenario itu diberikan kepada orang lain -- entah teman atau hanya kenalan -- untuk dibacanya. Kalau orang itu tertawa, pasti lucu. Itulah mungkin kunci sukses Mang Cepot, tukang bikin skenario obrolan atau acara lawak bersama Mang Udel di RRI Jakarta dulu. "Yang penting dalam humor ialah jangan berlebihan," kata Mang Cepot. Maksudnya, bila humor sudah mencapai klimaks, tak perlu dilanjutkan dengan anti-klimaks yang akan membuat kesan lucu jadi berkurang. Tentu saja klimaks itu harus bisa bikin gerrr. Arwah Setiawan yang sering menjadi juri lomba lawak sudah mempunyai pegangan yang agak terperinci. Ada tiga hal baginya yang dijadikan kriteria sebagai juri lawak: penampilan, kreativitas dan bahan. Yang disebutnya pertama mempunyai aspek antara lain gerak, mimik, intonasi, kostum, dan bloking. Tentang kreativitas, bisa pada penampilan atau bahan. Contohnya, grup dari Yogya dalam lomba lawak nasional di TMII tempo hari. Mereka menampilkan pantomim mengetik dengan menggunakan tutup gelas yang dipukul-pukulkan ke lantai untuk menciptakan bunyi mesin tulis, yang memang bikin gerrr dengan kreatif. Di Yogya memang ada pelawak yang sering berpantomim mengetik, dengan suara mesin tulis lewat mulutnya. Soal bahan, kata Arwah, menyangkut struktur dan bobot. Maksudnya, apakah struktur bahan lawakan memang lucu atau biasa saja. Dan tentang bobot itu, kaitannya dengan kehidupan sosial. Dari Skripsi Tapi apa, sih, sebetulnya tertawa, yang menjadi tujuan humor itu? Menurut penelitian fisik, adalah gerak reflek 15 macam otot pada wajah yang diseling gerak bernafas. Dan menurut penelitian biologis, gerak 15 otot itu tanpa manfaat apa pun. Satu-satunya fungsi yang bisa didapat dari gerak tersebut: sedikit mengurangi ketegangan. Hal itu diuraikan juga dalam skripsi Ny. Woro Aryati Prawoto, yang berhasil lulus sarjana lengkap dari Fak. Psikologi UI tahun 1977, berkat humor. Judul skripsinya Studi Literatur Mengenai Humor Antara lain dikatakannya, "dengan kemampuan berhumor seseorang dapat mengurangi perasaan tegang yang dialaminya." Dan nyonya satu itu menutup skripsinya, yang didasarkan atas sekian banyak buku asing, dengan kepercayaan penuh bahwa humor ada manfaatnya. "Humor, sebagaimana cinta, mempunyai motivasi positif yang ikut mewarnai kehidupan manusia. Melalui humor seseorang dapat merasakan hidupnya lebih menyenangkan dan membahagiakan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus