Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Desa Sunyi di Kaki Gunung Fuji

Delapan kolam mata air menjadi daya tarik utama Oshino Hakkai, desa mungil di kaki Gunung Fuji. Perjalanan air dari Gunung Fuji ke kolam-kolam itu dianggap sebagai proses penyucian.

2 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerombolan burung gagak berkoak-koak ketika menyambut saya yang baru turun dari bus di pintu masuk Desa Oshino Hakkai, suatu sore pada awal Januari lalu. Udara dingin langsung menyergap wajah dan bagian tubuh lain yang tak tertutup pakaian. Termometer digital pada ponsel menunjukkan angka 3 derajat Celsius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di emplasemen tempat bus saya berhenti, ada sekitar sepuluh bus lain sudah terparkir rapi. Semuanya bus pariwisata. Saya langsung membayangkan keramaian wisatawan di desa yang menjadi salah satu obyek wisata populer di Prefektur Yamanashi, Jepang, itu. Angan-angan untuk menikmati suasana damai dan ketenangan di kaki Gunung Fuji seketika buyar. "Sepertinya saya datang di waktu yang salah," gumam saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi, begitu kaki melangkah melalui jalan kecil di tengah ladang yang mengering, jembatan kayu di atas sungai berarus tenang dan berair jernih, hingga jalan setapak di pintu masuk desa yang berada sekitar 300 meter dari tempat parkir bus, saya merasa ada yang janggal.

Di jalan utama desa, wisatawan terlihat ramai. Dengan penampilan sama: memakai jaket tebal, syal, dan sarung tangan, mereka menyebar di berbagai titik. Sebagian ada yang berjalan berkelompok sambil berfoto-foto. Ada yang memilih duduk menyepi di pinggir kolam. Salah satu lokasi yang banyak dikerumuni adalah sebuah rumah dengan kincir air di bagian luarnya. Rumah ini merupakan tempat pembuatan adonan moci. Mereka ber-selfie di sana.

Entah karena suhu udara yang dingin, atau memang suasana desa yang mendukung, para wisatawan pada sore itu seolah-olah punya kesepakatan bersama, yakni tak mengeluarkan banyak suara dan berisik. Memang ada beberapa kelompok orang tua yang berfoto ramai-ramai dan tertawa-tawa, tapi suara mereka tak sampai menenggelamkan suara gemericik air yang timbul dari kincir air di rumah pembuatan moci.

"Selamat datang di Oshino Hakkai," kata Hasan, warga negara Indonesia yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Jepang. Dia yang menemani saya dan lima wartawan lain asal Jakarta selama hampir lima hari di Jepang pada awal tahun ini. Sebetulnya, kedatangan kami ke Jepang bertujuan untuk menghadiri perhelatan pameran otomotif Tokyo Auto Salon yang digelar di Chiba. Setelah larut dalam ingar-bingar megapolitan Tokyo dua hari sebelumnya, perjalanan ke Oshino Hakkai jadi semacam "bonus" untuk menikmati sisi kehidupan Jepang yang lebih tenang.

***

Ratusan tahun lalu, area yang kini menjadi Desa Oshino Hakkai masih berupa danau besar. Nama Oshino sendiri diambil dari nama danau yang mengering akibat gempa besar pada masa silam. Ketika mengering, ujar Hasan, area ini menjadi sebuah cekungan. "Lalu muncul sejumlah kolam alamiah yang menjadi sumber mata air." Inilah yang menjadi daya tarik utama Oshino Hakkai sekarang: delapan kolam mata air yang sangat jernih dan segar.

Konon, air di kolam-kolam ini bersumber dari salju di Gunung Fuji yang mencair dan meresap ke dalam tanah. Di bawah permukaan tanah, air mengalir melalui sejumlah lapisan lava yang berfungsi sebagai penyaring kotoran, sehingga air yang memancar di kolam terlihat jernih dan bisa langsung diminum.

Jarak Gunung Fuji ke Oshino Hakkai, jika ditarik garis lurus, tak lebih dari 40 kilometer. Namun perjalanan lelehan salju hingga memancar di kolam mata air desa memerlukan waktu hingga 20 tahun. Tapi proses ini berlangsung terus-menerus. Akibatnya, seluruh mata air di Oshino Hakkai tak pernah kering sepanjang tahun.

Proses perjalanan air ini, kata Hasan, oleh sebagian generasi tua Jepang dianggap sebagai sebuah proses penyucian. "Itu kenapa Oshino Hakkai juga menjadi tempat berziarah, sebagai tempat untuk memurnikan pikiran kotor," ujarnya. Sejak 1934, mata air di sana ditetapkan sebagai warisan alam yang harus dilindungi oleh pemerintah Jepang. Pada 1985, lokasi yang sama dinobatkan sebagai bagian dari 100 kawasan perairan terbaik di Negeri Matahari Terbit. Baru pada 2013, bersama Gunung Fuji, Oshino Hakkai ditetapkan sebagai situs warisan dunia versi UNESCO.

Hal lain yang membuat desa ini semakin layak untuk dikunjungi jika Anda ke Jepang adalah keberadaan rumah-rumah tradisional Jepang. Para pemilik rumah masih mempertahankan desain dan material atap yang terbuat dari anyaman jerami. Di sini, ada juga museum terbuka, Hannoki Bayashi Shiryokan. Di dalamnya terdapat aneka perkakas pertanian, perabotan rumah tangga, pakaian, hingga senjata dari era Samurai. Untuk masuk ke museum, pengunjung harus membayar tiket seharga 300 yen, atau sekitar Rp 30 ribu.

***

Semakin sore, kelompok wisatawan datang bergantian. Hanya kami yang berasal dari Indonesia pada hari itu. Sisanya, kami perkirakan berasal dari Cina, Korea, dan Vietnamterdengar dari bahasa yang mereka gunakan. Di tengah desa, tepatnya di sebuah bangunan toko seukuran tiga kali lapangan bulu tangkis, yang bersisian dengan kolam utama, para wisatawan menyemut. Di sini tersedia keran dan centong bagi wisatawan yang ingin meminum air murni dari sumbernya.

Di bangunan utama, aneka pernak-pernik khas Jepang, makanan kemasan, dan buah-buahan segar dijual. Di bagian depan toko terdapat beberapa meja yang diatur menjadi area makan. Beberapa lapak menjajakan makanan yang dimasak langsung di lokasi. Saya memilih mencicipi buah-buahan yang ditanam langsung di sekitar desa. Untuk camilan, saya mencoba kue moci berisi kacang merah yang dipanggang saat dipesan. Dua buah moci dengan rasa manis ini cukup untuk mengganjal perut.

Primadona jajanan di sana tentu saja stroberi dan apel Fuji yang terkenal renyah dan manis. Ada dua stroberi yang dijual, yakni yang berwarna merah dan putih. Keduanya berukuran besar, bisa dua-tiga kali lipat dari buah stroberi pada umumnya. Harganya 1.500-2.000 yen per kemasan plastik berisi 10 buah stroberi. Baik stroberi merah maupun putih rasanya mirip, manis segar tanpa rasa masam dengan buah yang berair.

Hasan menyarankan agar saya membeli sejumlah pernak-pernik di toko ini. "Karena ada beberapa barang khas yang hanya dijual di sini," kata dia. Beberapa di antaranya hiasan dinding bergambar Gunung Fuji, kaligrafi, gelas-gelas sake, sampai kaus. Namun saya tak terlalu tertarik pada pernak-pernik itu. Saya memilih beberapa lembar tenugui atau sapu tangan berbahan belacu dengan motif khas Jepang. Harganya cukup murah, 1.000 yen atau sekitar Rp 130 ribu per tiga lembar.

Perbedaan tenugui yang dijual di Oshino Hakkai dibanding sapu tangan serupa yang banyak dijual di toko-toko pernak-pernik di Tokyo adalah kualitasnya. Meski sedikit lebih mahal, kain tenugui Oshino lebih halus dan nyaman dipakai.

Agak menyepi dari keramaian di toko, saya lalu berjalan lebih dalam ke area desa untuk mencari kolam-kolam mata air lain. Letak kolam-kolam ini memang tersebar di segala penjuru desa. Salah satunya ada yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon cemara dan semak-semak. Wisatawan lain tampaknya tak terlalu tertarik melihat kolam-kolam ini. Di sini saya merasakan ketenangan Oshino Hakkai yang sesungguhnya.

Pada kolam lain yang ukurannya lebih besar, seorang perempuan tampak duduk-duduk di salah satu bangku sambil membaca buku. Padahal, semakin sore, udara semakin terasa membekukan. Beberapa ekor angsa berwarna hitam dan putih berenang dengan anggun. Saya sebetulnya ingin meniru cara perempuan itu menikmati senja. Tapi, sebagai manusia tropis, tubuh saya tak kuat menahan suhu udara yang tercatat sudah mencapai 1 derajat Celsius. Padahal saya sudah memakai tiga lapis pakaian.

Arloji menunjukkan waktu sudah mencapai pukul 17.00 dan hari semakin gelap. Salah satu keinginan kami, menyaksikan pemandangan Gunung Fuji dari Oshino Hakkai, tak tercapai karena awan cukup tebal. "Gunung Fuji memang dikenal sebagai gunung pemalu, apalagi di musim dingin," kata Hasan. Kami melanjutkan perjalanan untuk menginap di Danau Kawaguchiko. Sekitar 30 menit perjalanan dari Oshino.

***

Destinasi wisata lain yang populer di daerah Gunung Fuji adalah lima danau yang menyebar di sisi utara gunung tertinggi di Jepang ini. Lima danau itu ialah Kawaguchiko, Saiko, Yamanakako, Shojiko, dan Motosuko. Nama pertamalah yang paling populer karena lebih mudah dijangkau wisatawan. Di sekeliling danau juga banyak terdapat hotel dan resor yang dilengkapi pemandian air panas (onsen).

Kawaguchiko menjadi tempat kami bermalam setelah kami bermain salju di Fujiten Ski Resort dan menikmati ketenangan Desa Oshino Hakkai. Kami cukup beruntung. Menurut Hasan, kami datang di saat yang tepat karena pada hari itu pemerintah setempat akan menggelar festival kembang api sebagai penutup musim dingin.

Festival kembang api Kawaguchiko hanya digelar setahun sekali. Durasinya cukup lama, yakni dua jam. Kembang api diluncurkan dari perahu-perahu di tengah danau. Kami semakin beruntung karena hotel tempat kami menginap menghadap langsung ke danau, sehingga kami tak perlu melawan dingin malam hari untuk menonton festival ini.

Tepat pukul 20.00, kembang api pertama meluncur. Sayangnya, kabut yang turun sejak sore tak juga beranjak. Jarak pandang menjadi terbatas. Percikan kembang api yang berwarna-warni jadi kurang terlihat jelas. Bahkan hujan sempat turun, membuat suhu udara semakin rendah. Untuk mengobati kekecewaan karena gagal mengabadikan sosok Gunung Fuji secara jelas dari kejauhan, dan kurang puas melihat pesta kembang api di tengah danau, Hasan menyarankan kami menjajal onsen. "Berendam bersama-sama secara telanjang bulat di kolam air panas adalah pengalaman yang tak boleh Anda lewatkan kalau ke Jepang," kata dia.

PRAGA UTAMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus