Di dalam anjungan seluas sekitar 6 x 3 meter, Muhammad Nurul Yatim, pengajar kelas bahasa tersebut, dengan sabar membimbing Anastahasa mengeja kata-kata itu. Anastahasa juga menjadi peserta paling aktif. Dia antara lain bertanya, kenapa bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa nasional, padahal Nusantara memiliki banyak bahasa.
Anastahasa berkunjung ke Bali tahun lalu, tapi belum memahami bahasa Indonesia. Dalam liburan mendatang, dia berencana berwisata lagi ke Bali. “Kalau bisa berbahasa Indonesia, saya akan mudah berkomunikasi dengan orang Bali. Saya juga ingin lebih lama tinggal di sana. Saya menyukai Bali. Menikah dengan orang Indonesia adalah salah satu keinginan saya, ha-ha-ha...,” ujarnya—tentu dalam bahasa Rusia.
Hari itu, kelas bahasa memasuki hari ketiga atau hari terakhir Festival Indonesia. Setiap hari setidaknya ada 15 warga Rusia yang mengikuti kelas ini, yang terbagi atas tiga sesi, masing-masing dua jam. “Umumnya mereka belajar bahasa Indonesia karena pernah, akan, atau ingin berkunjung ke Indonesia, khususnya Bali, untuk berlibur,” kata Nurul, lulusan Universitas Udayana, Bali, yang sedang mengejar gelar master di Higher School of Economics (HSE), Moskow, kepada Tempo.
Sembari kuliah di HSE, Nurul menjadi pengajar di Dva Vostoka, lembaga kursus bahasa asing di Moskow. Dva Vostoka bekerja sama dengan Kedutaan RI membuka kelas bahasa di Festival Indonesia untuk menarik minat orang Rusia terhadap Indonesia.
“Di Dva Vostoka saat ini ada 25 orang yang mengikuti kursus bahasa Indonesia,” ujar Nurul. Ketertarikan mereka berbeda-beda seusai dengan umur masing-masing. Anak-anak, 5-12 tahun, biasanya mengikuti kursus karena orang tuanya punya hubungan dengan Indonesia, misalnya pernah ke negeri ini, atau memang keturunan orang Indonesia. Remaja umumnya belajar untuk menambah pengetahuan bahasa asing dan menganggap bahasa Indonesia lebih mudah dipelajari ketimbang bahasa Rusia.
Adapun orang dewasa biasanya belajar karena pernah ke Bali dan berencana kembali ke Bali atau mengunjungi Yogya dan tempat wisata lain. Di luar itu, ada yang ingin dapat berbahasa Indonesia untuk mempermudah urusan bisnis atau karena akan bekerja di kedutaan.
Sore itu, suara lantang Anastahasa mengeja kalimat “Ka...mu... ber...ma...in... bo...la” tidak kalah oleh ingar-bingar rangkaian acara penutupan Festival Indonesia di Krasnaya Presnya, taman seluas 16,5 hektare, di pusat Kota Moskow.
Festival yang berlangsung pada 2-4 Agustus lalu itu memang tak pernah sepi oleh pertunjukan musik, wayang, dan tarian Nusantara. Salah satu pertunjukan yang paling ramai oleh antusiasme pengunjung dalam rangkaian acara penutupan adalah penampilan paduan suara Timutiwa (akronim dari Tidak Muda Tidak Tuwa).
Kelas bahasa Indonesia menjadi anjungan yang paling diminati warga Rusia.TEMPO/Uksu
Saat Timutiwa mengakhiri alunan lagu Manuk Dadali dari Jawa Barat di panggung utama—sekitar 30 meter dari anjungan kelas bahasa—tak kurang dari seribu penonton bertepuk tangan selama beberapa menit. Ketika pertunjukan berakhir, banyak penonton, terutama anak-anak, minta bersalaman dan berfoto bersama para penyanyi anggota paduan suara itu.
Ratusan warga Rusia juga membanjiri pelataran di depan panggung utama ketika perwakilan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika mengadakan kuis yang berisi beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan Indonesia. Misalnya, “Apa saja jenis wayang di Indonesia?” dan “Sebutkan dua kopi yang berasal Indonesia.” Para pengunjung beradu cepat mengangkat tangan untuk menjawab. Para pemenang tampak gembira karena memperoleh hadiah, antara lain, angklung dan wayang golek.
“Tujuan kami mengikuti festival ini adalah menunjukkan gaya hidup orang Indonesia, yang antara lain tak bisa dipisahkan dari kopi dan beragam kegiatan kesenian,” tutur Frans Sembiring, yang memimpin perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika, kepada Tempo setelah pemberian hadiah.
Target Kedutaan Besar RI di Rusia bahwa Festival Indonesia IV akan dikunjungi 140 ribu warga Negeri Beruang Merah tampaknya tidak tercapai karena dalam sehari Moskow bisa tiga kali diguyur hujan, dengan suhu naik-turun antara 10 dan 15 derajat Celsius. Tapi misi festival ini, antara lain memperkenalkan seni-budaya Nusantara dan membuat orang Rusia lebih tertarik kepada Indonesia, bisa dibilang berhasil.
“Te...ri...ma... ka...sih.... Sam...pai... jum...pa... di... Indonesia,” kata Anastahasa di ujung sesi kelas bahasa, diiringi senyum para peserta lain. (Uksu)